728x90 AdSpace

  • Hot News

    Senin, 21 Maret 2016

    Mengurai Krisis di Semenanjung Korea




    Oleh: Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
    Memanas kembali, Militer Korea Utara (Korut) menembakkan dua rudal balistik jarak pendek ke lepas pantai Laut Timur atau Laut Jepang dekat Kota Wonsan, (10/3/2016). Tembakan dua rudal itu menunjukkan tantangan rezim Kim Jong-un setelah mengumumkan rudal balistiknya mulai dipasangi hulu ledak nuklir. Militer Korea Selatan (Korsel) yang memantau penembakan rudal rezim Pyongyang mengatakan, dua rudal balistik Korut melesat sejauh 500 km (30 mil). 
     Korut memiliki cadangan rudal jarak pendek dalam jumlah melimpah dan terus mengembangkan rudal jarak jauh dan rudal antarbenua. Manuver terbaru rezim Kim Jong-un ini semakin memanaskan ketegangan di Semenanjung Korea, di mana Amerika Serikat (AS) dan Korsel menggelar latihan perang besar-besaran dengan mensimulasikan invasi terhadap Korut.
    Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengatakan, negaranya akan segera melakukan uji hulu ledak nuklir dan rudal balistik yang mampu membawa hulu ledak nuklir. Pemerintah Korea Utara (Korut) atau DPRK menyatakan, senjata nuklir jenis bom hidrogen  milik mereka bisa membunuh semua orang di Manhattan, New York, Amerika Serikat (AS) dan membuat kota itu menjadi abu.
    Sebelumnya, Korea Utara (Korut) memerintahkan militernya untuk siap melakukan serangan terlebih dahulu dan "membebaskan" Korea Selatan (Korsel). Langkah ini dilakukan Korut menyikapi latihan militer bersama tahunan Amerika Serikat (AS) dan Korsel. Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan melalui media pemerintah, Staf Umum Angkatan Darat Korut mengatakan, unit garis depan siap untuk menyerang pertama kali. Itu dilakukan jika mereka melihat tanda-tanda bahwa AS dan Korsel yang terlibat dalam latihan sedang berusaha untuk menyerang Korut, seperti dikutip dari Washington Post, Sabtu (12/3/2016).
    Militer Korut mengatakan akan melawan AS dan Korsel jika latihan militer itu ditujukan untuk menyerang Pyongyang. Korut berencana untuk membebaskan seluruh Korsel dan Seoul. Mereka juga mampu melakukan serangan kilat ultra presisi terhadap sasaran musuh.
    Bom hidrogen Korut telah dirancang dipasang di rudal-rudal balistik mereka. Klaim kehebatan bom hidrogen Korut itu dilaporkan kantor berita pemerintah Korut, DPRK Today, yang mengutip ilmuwan nuklir bernama Cho Hyung Il. ”Bom hidrogen kami jauh lebih besar daripada yang dikembangkan oleh Uni Soviet,” bunyi laporan media Korut itu, seperti dikutip TIME, Senin (14/3/2016). “Jika ini H-bomb itu harus dipasang pada rudal balistik antarbenua dan jatuh di Manhattan, di New York City, semua orang di sana akan terbunuh segera dan kota akan terbakar menjadi abu,” lanjut laporan itu.
     Langkah ini akan menjadi pelanggaran langsung terhadap resolusi PBB. Sementara itu Kementerian Pertahanan Korea Selatan mengatakan, tak ada indikasi kegiatan di situs uji coba nuklir Korea Utara atau stastiun roket jarak jauhnya. Tapi menurut Korea Selatan, Korea Utara terus mempersiapkan untuk melakukan uji nuklir.
    Laporan Korea Utara muncul di tengah ketegangan yang meningkat di semenanjung Korea setelah pengumuman sanksi baru PBB untuk Korea Utara. Laporan juga muncul saat tentara Korea Selatan dan Amerika Serikat menggelar latihan militer tahunan bersama terbesar yang pernah ada. Presiden Korea Selatan Park Geun-hye mengatakan Korea Utara akan menghancurkan dirinya jika terus melakukan konfrontasi dengan komunitas internasional.
    Kilas Balik
    Perhatian masyarakat internasional saat ini sedang mengarah pada ketegangan di Semenanjung Korea. Kekuatan nuklir Korut menjadi satu-satunya fokus perhatian masyarakat internasional kepada negara yang dikuasai oleh seorang pemimpin berumur 30 tahun, Kim Jong-un. Selama ini, negeri ini lebih dikenal karena ketidakmampuan pemerintahannya menyediakan bahan pangan yang cukup bagi rakyatnya. Beberapa kali Korut dilanda kelaparan. Bahkan hotel-hotel besar di Pyongyang tidak memiliki listrik yang cukup untuk penerangan. Karena itu, penggunaan nuklir untuk mengancam negara lain menjadi strategi jitu bagi Kim untuk menegaskan kemampuan militernya.
    Ekskalasi ketegangan ini sangat berpotensi memicu insiden konflik militer di perbatasan Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel). Korut semakin meningkatkan ancaman perang mereka. Ancaman nuklir itu ternyata tidak hanya ditujukan kepada Korsel, tetapi juga kepada sekutu negeri Ginseng itu, yaitu Amerika Serikat (AS). Dalam beberapa pekan terakhir Korut berulangkali mengeluarkan peringatan dengan mengumumkan negara itu masuk kondisi perang dengan Seoul dan memblokir akses ke kawasan industri Kaesong yang dikelola bersama dengan Korsel. Korut bahkan telah mempersiapkan ujicoba nuklir keempat, setelah uji coba nuklir 12 Februari lalu menyebabkan PBB memberikan sanksi lebih keras dan memicu tanggapan bermusuhan dari Pyongyang.
    Konflik Korut dan Korsel sebenarnya merupakan warisan Perang Dingin. Korut merupakan sekutu terdekat RRC/Cina, sedangkan AS adalah sekutu utama Korsel. Realisme politik menjadi sangat menonjol dalam upaya mendamaikan konflik kedua negara bersaudara itu, sehingga perdamaian di antara kedua negara bersaudara itu terletak di tangan Cina dan AS.
    Secara historis, ketegangan berulang kali kepada cara dimana pihak sekutu yang menang perang menentukan pembagian Semenanjung Korea. Jepang menduduki Korea pada tahun 1910 dan memerintah di sana sampai 1945. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, PBB membangun pemerintahan di Korea. PBB membagi Semenanjung Korea menjadi dua zona pemerintahan: Zona Uni Soviet di bagian Utara dan Zona Amerika Serikat di bagian Selatan. Korea Utara menolak berpartisipasi dalam pemilu yang diawasi PBB yang diadakan di selatan pada tahun 1948, yang menyebabkan terciptanya pemerintah Korea yang terpisah bagi dua zona pendudukan. Baik Korea Utara maupun Korea Selatan mengklaim kedaulatan atas Semenanjung Korea secara keseluruhan, yang menyebabkan terjadinya Perang Korea.
    Korea Utara menginvasi Selatan, menggunakan tank-tank dan persenjataan Uni Soviet, China juga bergabung dengan bersekutu mendukung Komunis Korea Utara, dan ancaman komunis menyebabkan Amerika membela Korea Selatan dan pada tahun 1953 mengakhiri perang dengan perjanjian gencatan senjata pada batas negara yang kurang lebih sama, dengan Korea Selatan mengambil keuntungan teritorial sedikit lebih banyak. Kedua negara tidak pernah menandatangani perjanjian perdamaian, dan kedua Korea secara teknis masih berada dalam keadaan perang, karena tidak ada perjanjian damai yang ditandatangani setelah konflik itu. Pada hari ini, Semenanjung Korea masih terbagi dua, dan Zona Demiliterisasi Korea berlaku sebagai perbatasan de facto.
    Sejak saat itu, ketegangan antara dua Korea masih tetap ada. Selama perang dingin keduanya menjadi pendukung kekuatan-kekuatan eksternal, sementara terjadinya pertempuran di perbatasan dan upaya pembunuhan telah menjadi suatu norma. Korea Utara gagal dalam upaya pembunuhan beberapa pemimpin Korea Selatan, terutama pada tahun 1968, 1974 dan pemboman Rangoon pada tahun 1983. Terowongan sering ditemukan di bawah zona de-militerisasi (DMZ) dan perang hampir meletus pada Insiden Axe Murder di Panmunjeom pada tahun 1976. Pada akhir 1990-an, dengan Korea Selatan yang menjadi maju lebih cepat sementara Korea Utara memiliki para penguasa yang kuat dengan cengkraman yang kokoh pada negaranya, kedua negara mulai melibatkan publik untuk pertama kalinya, dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Kebijakan Sunshine (Sunshine Policy).
    Setelah itu Korea setelah memulai program pengayaan uranium untuk memiliki senjata nuklir yang telah memperburuk ketegangan antara Korea Utara dan Selatan.
    Drama Politik AS dan China
    AS telah cukup lama diam atas perkembangan nuklir Pyongyang dibandingkan dengan Iran, sementara China telah mengupayakan pembicaraan enam pihak dengan mencoba memastikan tidak terjadi peperangan. Laporan-laporan dari pertemuan tersebut adalah bertentangan dimana China telah menjadi pesimis tentang kesenjangan pembicaraan pada banyak isu sementara Amerika terus mengatakannya ‘negosiasi yang sukses’. The New York Times berkomentar ‘Langkah yang dimulai Amerika dalam proses ini mengeluarkannya dari jalan buntu yang membuat putus asa, karena posisi ini sebelumnya tidak bisa berjalan sama sekali sehingga hampir merupakan suatu kasus dengan sikap berpura-pura. [1]
    Amerika selalu menawarkan insentif kepada Korea Utara untuk menutup kegiatan nuklirnya, namun Amerika tidak pernah mewujudkan janji-janjinya itu. Inilah sebabnya mengapa Korea Utara selalu memulai kembali kegiatan-kegiatan nuklirnya. Setelah uji coba bom nuklir pada bulan Oktober 2006, Korea Utara telah berusaha sampai kepada beberapa perjanjian dengan Amerika mengenai isu keamanan dan perdamaian. Hal ini terjadi saat rakyat Korea Utara menjadi miskin karena seluruh perekonomian yang diarahkan kepada perang yang mengakibatkan tidak ada industri bagi konsumen atau perkembangan ekonomi secara umum. Maka pengujian perangkat nuklir Korut adalah untuk menghangatkan kesepakatan bersama dengan Amerika Serikat. Amerika tidak pernah lagi bernegosiasi dengan Korea Utara yang memperpanjang masalah. Kemajuan perjanjian yang terus lesu dan berlarut atas kehadiran hampir 100.000 tentara Amerka di wilayah ini sementara Korea Utara terus menguji senjata nuklirnya pada bulan Oktober 2006 akan menghentikan upayaupaya Cina dan memberikan pembenaran atas kehadiran Amerika yang berkelanjutan dan substansial di Korea Selatan .
    J Rielly menguraikan hal ini dalam suatu makalah kebijakan: ‘Pasukan Amerika di wilayah tersebut tidak hanya untuk melawan “kelompok teroris” yang menyebabkan ketidakstabilan lokal, tapi untuk meningkatkan kontrol militer Amerika atas wilayah Laut Cina Selatan. Daerah ini strategis dengan luas potensial cadangan minyak berdampingan dengan jalur pelayaran ke Timur Tengah dan menawarkan akses kepada sebagian besar Asia Tenggara. Kehadiran Amerika yang diperluas dan aliansi militer baru yang lahir dengan negara-negara Asia Tenggara memperparah kecemasan Cina dan menghambat kesepakatan independen antara negara-negara Asia melalui mekanisme seperti Forum Regional ASEAN. ‘[2]
    Cina berbagi perbatasan terbuka dengan semenanjung Korea, sehingga setiap eskalasi permusuhan akan membawa militer Amerika secara lebih dekat kepada perbatasan China.
    AS berusaha mengendalikan krisis untuk menguatkan posisi di wilayah ini dan menunjukkan kepemimpinan terutama untuk menakut-nakuti Cina bahwa AS tidak segan untuk mengobarkan perang di tetangga dekat dan sekutu Cina seperti Korut kapan saja. Di lain pihak, AS ingin menggunakan kesempatan untuk memeras Cina supaya mendapatkan kompromi di bidang ekonomi, perdagangan, dan keuangan juga masalah politik regional sehingga bisa menunda penyatuan Taiwan ke Cina. Maka Cina bisa dikendalikan dan dibatasi ruang geraknya pada perbatasannya saja dengan menggunakan alasan program nuklir dan rudal Korut. Ini tidak aneh dan bisa diprediksi dari sikap AS menempatkan senjati anti rudal di Polandia dan radar deteksi rudal di Republik Czech untuk menghadapi Rusia dengan menggunakan Iran dan Korut sebagai alasan.
    Mengenai sikap Cina, ini adalah pengulangan dari sikapnya ketika Korut melaksanakan uji tesnya pertama kali. Cina menyerukan Korut untuk menahan diri dan memberikan kesempatan untuk negosiasi diplomatis. Dalam Forum Keamanan Asia di Singapur, Kepala Staff Militer Cina Ma Shao Tian mengusulkan untuk bersikap tenang dan menggunakan metoda yang tepat dalam menghadapi Korut. Dia juga menyerukan untuk menghapus semua bentuk kepemilikan senjata pemusnah massal di wilayah ini.[Al-Jazeerah: 30.05.09].
    Ini menunjukkan bahwa Cina tidak siap menghadapi kemungkinan diserangnya Korut. Sebagaimana AS yang mengeksploitasi isu nuklir, Cina juga berusaha menggunakan isu ini untuk kepentingannya yaitu dalam menghadapi masalah Taiwan agar bisa disatukan kembali ke Cina. Tujuan Cina adalah memberikan tekanan kepada AS agar melepaskan dukungannya kepada Taiwan sehingga tidak menolak usaha Cina dalam mengambil alih Taiwan. Maka AS dan Cina sama-sama menggunakan isu Korut untuk Taiwan tapi dalam arah yang berlawanan.
    Apakah Meletus Perang?
                    Merujuk pada strategi militer AS 2012, yang fokus pada tiga poros utama: pertama, penurunan jumlah militer Amerika di Eropa. Kedua, pemotongan anggaran belanja pertahanan dengan tetap mempertahankan keunggulan kualitatif.  Ketiga, fokus pada kawasan Pasifik untuk mencegah pertumbuhan kekuatan China seraya memberikan nilai penting untuk kawasan Timur Tengah dan Asia.  Saat ini tidak ada bahaya dan ancaman bagi Amerika di Eropa.  Karena itu tidak ada alasan bagi eksistensi tentara Amerika dalam jumlah besar di Eropa sebagai bagian rencana penurunan belanja militer.  Sebab Amerika masih terhuyung-huyung akibat krisis finansial dan belum bisa keluar dari krisis tersebut. 
    Apakah ketegangan ini akan mengarah kepada tercetusnya perang, atau apakah AS akan menyerang instalasi nuklir Korut adalah kemungkinan yang sangat kecil, minimal dalam masa dekat. AS tidak menggunakan aksi militer ketika Korut tidak memiliki nuklir ataupun misil balistik, dan AS juga sudah mengetahui rencana Korut untuk menguasai teknologi nuklir ini. Maka bagaimana mungkin AS akan menyerang Korut ketika ia sudah memiliki senjata nuklir dan memiliki hubungan yang erat dengan Cina?
    Peningkatan kekuatan angkatan laut Amerika di kawasan Asia/Pasifik pada dasarnya diarahkan membendung China dan bahayanya yang mungkin terhadap pengaruh Amerika di kawasan tersebut. Namun demikian, AS akan menggunakan insentif dan cara lain untuk membujuk Korut agar mau terlibat kembali dalam meja perundingan dengan melibatkan Korsel, dan mencari celah untuk membuka komunikasi dengan beberapa elemen Korut.
    Dengan demikian, AS akan berusaha untuk memulai usaha merubah kepemimpinan Korut agar melahirkan pemimpin yang lebih moderat, yaitu yang memahami kepentingan AS dan mau menerima insentif yang AS tawarkan. Inilah cara yang diadopsi AS dengan negara-negara komunis. Korut saat ini menghadapi krisis ekonomi yang berat akibat isolasi yang ketat. Meskipun hasilnya belum jelas terlihat, AS akan mengerahkan seluruh kemampuannya.
    Perkara yang diperhitungkan oleh Amerika sebagai sesuatu yang mungkin terjadi itu adalah munculnya kekuatan Islam di kawasan yaitu berdirinya daulah al-Khilafah.  Itulah yang membuat Amerika memperhitungkan kekuatan Cina dan kekuatan daulah islamiyah yang diprediksikan akan berdiri. Karena itu Amerika memperluas pangkalan-pangkalan dan pergerakannya di sepanjang pantai kawasan Negara-negara muslim. Amerika memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan perubahan yang akan datang pada tahun-tahun mendatang dan pada dekade ke depan berupa munculnya kekuatan Islam besar di dunia islami, khususnya bahwa setengah penduduk kaum muslimin itu ada di kawasan Asia/Pasifik dan di utara samudera Hindia.  Dan kawasan itu merupakan perluasan dari kawasan kaum muslimin di teluk, Timur Tengah dan Afrika. 
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Mengurai Krisis di Semenanjung Korea Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top