Oleh: Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI
Kota Kediri)
Memanas
kembali, Militer Korea Utara (Korut) menembakkan dua
rudal balistik jarak pendek ke lepas pantai Laut Timur atau Laut Jepang
dekat Kota Wonsan, (10/3/2016). Tembakan dua rudal itu menunjukkan tantangan
rezim Kim Jong-un setelah mengumumkan rudal balistiknya mulai dipasangi hulu
ledak nuklir. Militer Korea Selatan (Korsel) yang memantau penembakan rudal
rezim Pyongyang mengatakan, dua rudal balistik Korut melesat sejauh 500 km (30
mil).
Korut
memiliki
cadangan rudal jarak pendek
dalam jumlah melimpah dan terus mengembangkan rudal jarak jauh dan rudal antarbenua. Manuver terbaru rezim Kim
Jong-un ini semakin memanaskan ketegangan di Semenanjung Korea, di mana Amerika
Serikat (AS) dan Korsel menggelar latihan perang besar-besaran dengan
mensimulasikan invasi terhadap Korut.
Pemimpin
Korea Utara Kim Jong Un mengatakan, negaranya akan segera melakukan uji hulu
ledak nuklir dan rudal balistik yang mampu membawa hulu ledak nuklir. Pemerintah Korea Utara (Korut) atau DPRK menyatakan, senjata nuklir
jenis bom hidrogen milik mereka bisa membunuh semua orang di Manhattan,
New York, Amerika Serikat (AS) dan membuat kota itu menjadi abu.
Sebelumnya,
Korea Utara (Korut) memerintahkan militernya untuk siap melakukan serangan
terlebih dahulu dan "membebaskan" Korea Selatan (Korsel). Langkah ini
dilakukan Korut menyikapi latihan militer bersama tahunan Amerika Serikat (AS)
dan Korsel. Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan melalui media pemerintah,
Staf Umum Angkatan Darat Korut mengatakan, unit garis depan siap untuk
menyerang pertama kali. Itu dilakukan jika mereka melihat tanda-tanda bahwa AS
dan Korsel yang terlibat dalam latihan sedang berusaha untuk menyerang Korut,
seperti dikutip dari Washington Post, Sabtu (12/3/2016).
Militer
Korut mengatakan akan melawan AS dan Korsel jika latihan militer itu ditujukan
untuk menyerang Pyongyang. Korut berencana untuk membebaskan seluruh Korsel dan
Seoul. Mereka juga mampu melakukan serangan kilat ultra presisi terhadap
sasaran musuh.
Bom
hidrogen Korut telah dirancang dipasang di rudal-rudal balistik mereka. Klaim
kehebatan bom hidrogen Korut itu dilaporkan kantor berita pemerintah Korut, DPRK
Today, yang mengutip ilmuwan nuklir bernama Cho Hyung Il. ”Bom hidrogen
kami jauh lebih besar daripada yang dikembangkan oleh Uni Soviet,” bunyi laporan media Korut itu, seperti
dikutip TIME, Senin (14/3/2016). “Jika ini H-bomb itu harus dipasang pada rudal balistik antarbenua dan jatuh di Manhattan, di New York City, semua orang di sana akan terbunuh segera dan kota akan terbakar menjadi abu,” lanjut laporan itu.
Langkah ini akan menjadi pelanggaran langsung
terhadap resolusi PBB. Sementara
itu Kementerian Pertahanan Korea Selatan mengatakan, tak ada indikasi kegiatan
di situs uji coba nuklir Korea Utara atau stastiun roket jarak jauhnya. Tapi
menurut Korea Selatan, Korea Utara terus mempersiapkan untuk melakukan uji
nuklir.
Laporan Korea Utara muncul di
tengah ketegangan yang meningkat di semenanjung Korea setelah pengumuman sanksi
baru PBB untuk Korea Utara. Laporan juga muncul saat tentara Korea Selatan dan
Amerika Serikat menggelar latihan militer tahunan bersama terbesar yang pernah
ada. Presiden Korea Selatan Park Geun-hye mengatakan Korea Utara akan
menghancurkan dirinya jika terus melakukan konfrontasi dengan komunitas
internasional.
Kilas Balik
Perhatian
masyarakat internasional saat ini sedang mengarah pada ketegangan di
Semenanjung Korea. Kekuatan nuklir Korut menjadi satu-satunya fokus perhatian
masyarakat internasional kepada negara yang dikuasai oleh seorang pemimpin
berumur 30 tahun, Kim Jong-un. Selama ini, negeri ini lebih dikenal karena
ketidakmampuan pemerintahannya menyediakan bahan pangan yang cukup bagi
rakyatnya. Beberapa kali Korut dilanda kelaparan. Bahkan hotel-hotel besar di
Pyongyang tidak memiliki listrik yang cukup untuk penerangan. Karena itu,
penggunaan nuklir untuk mengancam negara lain menjadi strategi jitu bagi Kim
untuk menegaskan kemampuan militernya.
Ekskalasi ketegangan ini sangat berpotensi memicu
insiden konflik militer di perbatasan Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan
(Korsel). Korut semakin meningkatkan ancaman perang mereka. Ancaman nuklir itu
ternyata tidak hanya ditujukan kepada Korsel, tetapi juga kepada sekutu negeri
Ginseng itu, yaitu Amerika Serikat (AS). Dalam beberapa pekan terakhir Korut
berulangkali mengeluarkan peringatan dengan mengumumkan negara itu masuk
kondisi perang dengan Seoul dan memblokir akses ke kawasan industri Kaesong
yang dikelola bersama dengan Korsel. Korut bahkan telah mempersiapkan ujicoba
nuklir keempat, setelah uji coba nuklir 12 Februari lalu menyebabkan PBB
memberikan sanksi lebih keras dan memicu tanggapan bermusuhan dari Pyongyang.
Konflik Korut dan Korsel sebenarnya merupakan
warisan Perang Dingin. Korut merupakan sekutu terdekat RRC/Cina, sedangkan AS
adalah sekutu utama Korsel. Realisme politik menjadi sangat menonjol dalam
upaya mendamaikan konflik kedua negara bersaudara itu, sehingga perdamaian di
antara kedua negara bersaudara itu terletak di tangan Cina dan AS.
Secara historis, ketegangan berulang kali kepada
cara dimana pihak sekutu yang menang perang menentukan pembagian Semenanjung
Korea. Jepang menduduki Korea pada tahun 1910 dan memerintah di sana sampai
1945. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, PBB membangun
pemerintahan di Korea. PBB membagi Semenanjung Korea menjadi dua zona
pemerintahan: Zona Uni Soviet di bagian Utara dan Zona Amerika Serikat di
bagian Selatan. Korea Utara menolak berpartisipasi dalam pemilu yang diawasi
PBB yang diadakan di selatan pada tahun 1948, yang menyebabkan terciptanya
pemerintah Korea yang terpisah bagi dua zona pendudukan. Baik Korea Utara
maupun Korea Selatan mengklaim kedaulatan atas Semenanjung Korea secara
keseluruhan, yang menyebabkan terjadinya Perang Korea.
Korea Utara menginvasi Selatan, menggunakan
tank-tank dan persenjataan Uni Soviet, China juga bergabung dengan bersekutu
mendukung Komunis Korea Utara, dan ancaman komunis menyebabkan Amerika membela
Korea Selatan dan pada tahun 1953 mengakhiri perang dengan perjanjian gencatan
senjata pada batas negara yang kurang lebih sama, dengan Korea Selatan
mengambil keuntungan teritorial sedikit lebih banyak. Kedua negara tidak pernah
menandatangani perjanjian perdamaian, dan kedua Korea secara teknis masih
berada dalam keadaan perang, karena tidak ada perjanjian damai yang
ditandatangani setelah konflik itu. Pada hari ini, Semenanjung Korea masih
terbagi dua, dan Zona Demiliterisasi Korea berlaku sebagai perbatasan de facto.
Sejak saat itu, ketegangan antara dua Korea masih
tetap ada. Selama perang dingin keduanya menjadi pendukung kekuatan-kekuatan
eksternal, sementara terjadinya pertempuran di perbatasan dan upaya pembunuhan
telah menjadi suatu norma. Korea Utara gagal dalam upaya pembunuhan beberapa
pemimpin Korea Selatan, terutama pada tahun 1968, 1974 dan pemboman Rangoon
pada tahun 1983. Terowongan sering ditemukan di bawah zona de-militerisasi
(DMZ) dan perang hampir meletus pada Insiden Axe Murder di Panmunjeom pada
tahun 1976. Pada akhir 1990-an, dengan Korea Selatan yang menjadi maju lebih
cepat sementara Korea Utara memiliki para penguasa yang kuat dengan cengkraman
yang kokoh pada negaranya, kedua negara mulai melibatkan publik untuk pertama
kalinya, dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Kebijakan Sunshine
(Sunshine Policy).
Setelah itu Korea setelah memulai program pengayaan uranium untuk
memiliki senjata nuklir yang telah memperburuk ketegangan antara Korea Utara
dan Selatan.
Drama Politik AS dan China
AS telah cukup lama diam atas perkembangan nuklir
Pyongyang dibandingkan dengan Iran, sementara China telah mengupayakan
pembicaraan enam pihak dengan mencoba memastikan tidak terjadi peperangan.
Laporan-laporan dari pertemuan tersebut adalah bertentangan dimana China telah
menjadi pesimis tentang kesenjangan pembicaraan pada banyak isu sementara
Amerika terus mengatakannya ‘negosiasi yang sukses’. The New York Times
berkomentar ‘Langkah yang dimulai Amerika dalam proses ini mengeluarkannya
dari jalan buntu yang membuat putus asa, karena posisi ini sebelumnya tidak
bisa berjalan sama sekali sehingga hampir merupakan suatu kasus dengan sikap
berpura-pura. [1]
Amerika selalu menawarkan insentif kepada Korea
Utara untuk menutup kegiatan nuklirnya, namun Amerika tidak pernah mewujudkan
janji-janjinya itu. Inilah sebabnya mengapa Korea Utara selalu memulai kembali
kegiatan-kegiatan nuklirnya. Setelah uji coba bom nuklir pada bulan Oktober
2006, Korea Utara telah berusaha sampai kepada beberapa perjanjian dengan Amerika
mengenai isu keamanan dan perdamaian. Hal ini terjadi saat rakyat Korea Utara
menjadi miskin karena seluruh perekonomian yang diarahkan kepada perang yang
mengakibatkan tidak ada industri bagi konsumen atau perkembangan ekonomi secara
umum. Maka pengujian perangkat nuklir Korut adalah untuk menghangatkan
kesepakatan bersama dengan Amerika Serikat. Amerika tidak pernah lagi
bernegosiasi dengan Korea Utara yang memperpanjang masalah. Kemajuan perjanjian
yang terus lesu dan berlarut atas kehadiran hampir 100.000 tentara Amerka di
wilayah ini sementara Korea Utara terus menguji senjata nuklirnya pada bulan
Oktober 2006 akan menghentikan upayaupaya Cina dan memberikan pembenaran atas
kehadiran Amerika yang berkelanjutan dan substansial di Korea Selatan .
J Rielly menguraikan hal ini dalam suatu makalah
kebijakan: ‘Pasukan Amerika di wilayah tersebut tidak hanya untuk melawan
“kelompok teroris” yang menyebabkan ketidakstabilan lokal, tapi untuk
meningkatkan kontrol militer Amerika atas wilayah Laut Cina Selatan. Daerah ini
strategis dengan luas potensial cadangan minyak berdampingan dengan jalur
pelayaran ke Timur Tengah dan menawarkan akses kepada sebagian besar Asia
Tenggara. Kehadiran Amerika yang diperluas dan aliansi militer baru yang
lahir dengan negara-negara Asia Tenggara memperparah kecemasan Cina dan
menghambat kesepakatan independen antara negara-negara Asia melalui mekanisme
seperti Forum Regional ASEAN. ‘[2]
Cina berbagi
perbatasan terbuka dengan semenanjung Korea, sehingga setiap eskalasi permusuhan
akan membawa militer Amerika secara lebih dekat kepada perbatasan China.
AS berusaha mengendalikan krisis untuk menguatkan
posisi di wilayah ini dan menunjukkan kepemimpinan terutama untuk
menakut-nakuti Cina bahwa AS tidak segan untuk mengobarkan perang di tetangga
dekat dan sekutu Cina seperti Korut kapan saja. Di lain pihak, AS ingin
menggunakan kesempatan untuk memeras Cina supaya mendapatkan kompromi di bidang
ekonomi, perdagangan, dan keuangan juga masalah politik regional sehingga bisa
menunda penyatuan Taiwan ke Cina. Maka Cina bisa dikendalikan dan dibatasi
ruang geraknya pada perbatasannya saja dengan menggunakan alasan program nuklir
dan rudal Korut. Ini tidak aneh dan bisa diprediksi dari sikap AS menempatkan
senjati anti rudal di Polandia dan radar deteksi rudal di Republik Czech untuk
menghadapi Rusia dengan menggunakan Iran dan Korut sebagai alasan.
Mengenai sikap Cina, ini adalah pengulangan dari
sikapnya ketika Korut melaksanakan uji tesnya pertama kali. Cina menyerukan
Korut untuk menahan diri dan memberikan kesempatan untuk negosiasi diplomatis.
Dalam Forum Keamanan Asia di Singapur, Kepala Staff Militer Cina Ma Shao Tian
mengusulkan untuk bersikap tenang dan menggunakan metoda yang tepat dalam
menghadapi Korut. Dia juga menyerukan untuk menghapus semua bentuk kepemilikan
senjata pemusnah massal di wilayah ini.[Al-Jazeerah: 30.05.09].
Ini menunjukkan bahwa Cina tidak siap menghadapi kemungkinan
diserangnya Korut. Sebagaimana AS yang mengeksploitasi isu nuklir, Cina juga
berusaha menggunakan isu ini untuk kepentingannya yaitu dalam menghadapi
masalah Taiwan agar bisa disatukan kembali ke Cina. Tujuan Cina adalah
memberikan tekanan kepada AS agar melepaskan dukungannya kepada Taiwan sehingga
tidak menolak usaha Cina dalam mengambil alih Taiwan. Maka AS dan Cina
sama-sama menggunakan isu Korut untuk Taiwan tapi dalam arah yang berlawanan.
Apakah Meletus Perang?
Merujuk pada strategi
militer AS 2012, yang fokus pada tiga poros utama: pertama, penurunan
jumlah militer Amerika di Eropa. Kedua, pemotongan anggaran belanja
pertahanan dengan tetap mempertahankan keunggulan kualitatif. Ketiga,
fokus pada kawasan Pasifik untuk mencegah pertumbuhan kekuatan China seraya
memberikan nilai penting untuk kawasan Timur Tengah dan Asia. Saat ini
tidak ada bahaya dan ancaman bagi Amerika di Eropa. Karena itu tidak ada
alasan bagi eksistensi tentara Amerika dalam jumlah besar di Eropa sebagai
bagian rencana penurunan belanja militer. Sebab Amerika masih
terhuyung-huyung akibat krisis finansial dan belum bisa keluar dari krisis
tersebut.
Apakah ketegangan ini akan mengarah kepada
tercetusnya perang, atau apakah AS akan menyerang instalasi nuklir Korut adalah
kemungkinan yang sangat kecil, minimal dalam masa dekat. AS tidak menggunakan
aksi militer ketika Korut tidak memiliki nuklir ataupun misil balistik, dan AS
juga sudah mengetahui rencana Korut untuk menguasai teknologi nuklir ini. Maka
bagaimana mungkin AS akan menyerang Korut ketika ia sudah memiliki senjata
nuklir dan memiliki hubungan yang erat dengan Cina?
Peningkatan kekuatan angkatan laut Amerika di
kawasan Asia/Pasifik pada dasarnya diarahkan membendung China dan bahayanya
yang mungkin terhadap pengaruh Amerika di kawasan tersebut. Namun demikian, AS
akan menggunakan insentif dan cara lain untuk membujuk Korut agar mau terlibat
kembali dalam meja perundingan dengan melibatkan Korsel, dan mencari celah
untuk membuka komunikasi dengan beberapa elemen Korut.
Dengan demikian, AS akan berusaha untuk memulai
usaha merubah kepemimpinan Korut agar melahirkan pemimpin yang lebih moderat,
yaitu yang memahami kepentingan AS dan mau menerima insentif yang AS tawarkan. Inilah
cara yang diadopsi AS dengan negara-negara komunis. Korut saat ini menghadapi
krisis ekonomi yang berat akibat isolasi yang ketat. Meskipun hasilnya belum
jelas terlihat, AS akan mengerahkan seluruh kemampuannya.
Perkara yang diperhitungkan oleh Amerika sebagai
sesuatu yang mungkin terjadi itu adalah munculnya kekuatan Islam di kawasan
yaitu berdirinya daulah al-Khilafah. Itulah yang membuat Amerika
memperhitungkan kekuatan Cina dan
kekuatan daulah islamiyah yang diprediksikan akan berdiri. Karena itu
Amerika memperluas pangkalan-pangkalan dan pergerakannya di sepanjang pantai
kawasan Negara-negara muslim. Amerika memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
perubahan yang akan datang pada tahun-tahun mendatang dan pada dekade ke depan
berupa munculnya kekuatan Islam besar di dunia islami, khususnya bahwa setengah
penduduk kaum muslimin itu ada di kawasan Asia/Pasifik dan di utara samudera
Hindia. Dan kawasan itu merupakan perluasan dari kawasan kaum muslimin di
teluk, Timur Tengah dan Afrika.
0 komentar:
Posting Komentar