Oleh: Umar Syarifudin
(praktisi politik Kota Kediri)
China yang merupakan negara pengklaim
seluruh wilayah perairan Laut hCina Selatan, bersikap semakin keras dan
cenderung menolak akomodatif dalam sengketa Laut China Selatan. Sikap tersebut
ditunjukkan baik pada tataran politik maupun operasional di lapangan. Klaim
sepihak China atas perairan tersebut telah menimbulkan ketegangan dengan
Malaysia, Filipina, Brunei dan Vietnam.
Konflik Laut China Selatan dari tahun ke
tahun terlihat tidak menampakkan titik terang untuk mencapai suatu kesepakatan
yang tetap. Berbagai macam perjanjian dan kesepakatan dibuat diantara
Negara-negara yang terlibat namun tetap saja tidak dapat meredam pertikaian
yang terjadi atas laut China selatan tersebut. China atau yang China yang biasa
dikenal sekarang terlihat sangat gencar dalam menguasai lautan China selatan.
Beralasan atas peninggalan sejarah atas laut China Selatan, China tidak ingin
berkompromi dengan hal ini.
Akhr-akhir ini perkembangan Laut China
Selatan (LCS) cukup memanas. Selain akibat tumpang tindih klaim kedaulatan yang
berlarut-larut antara enam pihak di kawasan, juga kontes kekuatan antara
Amerika Serikat dan China yang bisa berkembang menjadi konflik terbuka.
Ditandai China menyebar sistem rudal dan mengerahkan pesawat-pesawat jet tempur
di pulau sengketa, maka Amerika Serikat (AS) segera mengantisipasi meningkatkan
manuver di kawasan itu dengan dalih menegakkan kebebasan bernavigasi.
Meskipun Presiden Cina Hu Jin Tao
berulang kali mengatakan kebangkitan China tidak mengancam negara manapun,
pembangunan kekuatan militernya dan munculnya konsep Nine Dashed Lines yang
mengakui sepihak sebagian besar LCS sebagai teritori China menjadi kekhawatiran
utama meletusnya konflik terbuka di LCS. Terlebih, dengan kehadiran AS yang
menginginkan kebebasan terbang dan berlayar bagi kekuatan militernya sampai
masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif China.
Krisis finansial telah membuat Amerika
Serikat mengurangi daerah operasi militernya. Kementerian pertahanan AS
Pentagon mengumumkan penurunan besar dalam anggaran pertahanan. Beberapa
program persenjataan telah didrop. Amerika Serikat secara resmi
telah meninggalkan kebijakan terjun ke dua medan perang pada saat yang
bersamaan. Dalam alur ini, Amerika dan sekutunya di kawasan Asia Pasifik
menjadi jauh lebih perhatian dengan kemampuan militer China dibanding
sebelumnya, khususnya terhadap angkatan laut China. Melemahnya hegemoni
militer Amerika di dunia memberikan dorongan kepada China untuk membesarkan otot
militernya.
Bereaksi
atas meningkatnya ekskalasi manuver China, AS melalui pernyataan Menteri
Pertahanan Ashton
Carter, mengeluarkan peringatan bernada ancaman terhadap
China. Menurutnya, militerisasi China di Laut China Selatan akan mendapatkan
konsekuensi tertentu. Militerisasi yang dimaksud Kepala Pentagon itu, salah
satunya pengerahan sistem rudal canggih China di kawasan Laut China Selatan
yang menjadi sengketa. “China tidak harus
mengejar militerisasi di Laut China Selatan,” kata Carter
dalam sebuah di Commonwealth Club di San Francisco. ”Tindakan-tindakan khusus akan memiliki konsekuensi
tertentu,”
katanya lagi, seperti dikutip Reuters, Rabu (2/3/2016).
Motif Politk dan
Ekonomi
Laut Cina Selatan merupakan
bagian dari Samudra Pasifik yang terbentang dari Selat Malaka dan Singapura di
barat daya ke Selat Taiwan di timur laut. Luas perairan Laut Cina Selatan
mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta
Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan China.
Kawasan laut Cina Selatan, bila dilihat dalam
tata lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis dan
strategis. Kawasan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi
geografisnya maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya.Wilayah ini
meliputi lebih dari 200 pulau kecil, karang, dan terumbu karang yang sebagian
besar berada di Paracel dan Spratly. Akibatnya, sampai pada tingkat tertentu
terjadi ketegangan hubungan antar negara-negara yang berkepentingan, baik pada
ranah diplomatik maupun ranah operasional di lapangan.
Lebih dari setengah pelayaran komersial
dunia melewati perairan wilayah Indo-Pasifik. Selat Malaka, khususnya, adalah
salah satu jalur pelayaran paling penting di dunia. Selat itu menghubungkan
Samudra Hindia dan Pasifik dan membawa sekitar 25% dari semua barang-barang
yang diperdagangkan. Selat itu juga membawa sekitar 25% dari semua minyak yang
dibawa melalui laut. Pada titik tersempit selat itu adalah bagian selatan
Singapura, dan Selat Malaka hanyalah berukuran lebar 1,5 mil laut, dan
membuatnya menjadi salah satu titik sumbat yang paling strategis dan paling
penting di dunia.
Sepertiga dari gas alam cair di dunia
melewati Selat Malaka dan ke dalam wilayahh Laut Cina Selatan, dimana sebagian
besarnya berasal dari Teluk Persia. LNG juga mengalir ke wilayah itu dari mulai
Asia Tenggara dan Oseania. Banyak dari LNG yang diimpor dikirim ke Jepang dan
Korea Selatan. Laut Cina
Selatan mengandung cadangan minyak yang telah terbukti dan kemungkinan cadangan
yang signifikan, dan negara-negara di kawasan itu sangat ingin untuk
mengeksplorasinya. Sumber daya alam dalam jumlah besar terletak pada ZEE
dari Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Laut China Timur juga tempat bagi ladang
gas, tetapi seberapa besar cadangan itu masih belum diketahui.
Sejauh ini, China sudah memiliki
kemampuan ekonomi mumpuni dan kemampuan militer yang tak dapat dipandang remeh.
China tumbuh menjadi negara dengan kekuatan ekonomi kedua di dunia dengan
kekuatan militernya terbesar di Asia. Belanja pertahanan China terus meningkat
menjadi 261 miliar dolar AS pada 2015 (SIPRI), nomor dua setelah AS.
Sedangkan Peran perusahaan
energi multinasional, sebagai aktor non-state mempengaruhi pula dinamika
kontemporer di Laut China Selatan. Langkah beberapa perusahaan energi
multinasional seperti Exxon Mobile, Total dan Premier Oil yang bekerjasama
dengan negara-negara pengklaim seperti Vietnam untuk mengeksplorasi dan
mengeksploitasi minyak dan gas bumi di zona ekonomi eksklusif negara mitra di
Laut China Selatan telah memunculkan reaksi keras dari China.
Menurut pandangan China, perusahaan
energi multinasional harus menjauhkan diri kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
di perairan itu sampai sengketa bisa diselesaikan. Sebab kegiatan mereka
dinilai merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan negara itu. Adapun bagi
negara-negara pengklaim seperti Vietnam dan Filipina, kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi tersebut guna memperkuat klaim mereka secara politik. Terlebih lagi
perusahaan-perusahaan multinasional itu berasal dari sejumlah negara maju,
seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris yang selama ini pemerintahannya
dikenal senantiasa melindungi kepentingan bisnis perusahaan perusahaan mereka
di luar negeri.
Bagi
China, Asia merupakan pasar besar. Belum lagi, sebagian besar ekspor dan impor
China, terutama energi, melalui LCS. Rasanya sulit dimengerti bila China dan
negara kawasan serta luar kawasan tidak turut memelihara keselamatan dan
keamanan berlayar di LCS. Saat ini, Asia Timur, terutama China, merupakan
tujuan ekspor penting Indonesia dan negara kawasan lainnya, terutama ASEAN,
dengan telah berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN. AS juga menginginkan
stabilitas di kawasan, mengingat besarnya volume dan nilai barang AS sebesar
tiga triliun dolar melalui LCS.
Anomali Politik
Peran kekuatan ekstra kawasan. Tidak
dapat dipungkiri bahwa kekuatan-kekuatan ekstra kawasan memiliki kepentingan
geopolitik terhadap Laut China Selatan. Walaupun kepentingan mereka yang
senantiasa digaungkan terkait dengan sengketa Laut China Selatan adalah
kebebasan bernavigasi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kepentingan
vital kekuatan ekstra kawasan adalah mewaspadai kebangkitan China, termasuk di
bidang militer. Setidaknya terdapat tiga kekuatan ekstra kawasan yang dewasa
ini bermain di Laut Cina Selatan, yaitu Amerika Serikat, Jepang dan India di
mana ketiga negara itu bersama dengan Australia tergabung dalam Quadrilateral
Initiative.
Amerika juga berupaya meningkatkan
kerjasama perdagangan dengan negara-negara kawasan Asia Pasifik melalui Perjanjian
Kerjasama Strategis Ekonomis Trans-Pasifik (the Trans-Pacific
Strategic Economic Partnership Agreement -TTP) untuk mengikat
negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Australia, Selandia Baru
dan Singapura dengan ikatan ekonomi yang kuat dan membatasi adanya komoditi
China di negara-negara tersebut.
Amerika Serikat pun mendorong India larut
dalam pusaran konflik LCS terus bermanuver di Laut Cina Selatan dalam aspek
politik, ekonomi dan militer. Jepang pun tak ketinggalan melalui inisiatif East
Asia Maritime Forum (EAMF) lewat lobi-lobi ke sejumlah negara kunci di
kawasan, termasuk Indonesia. Dapat diprediksi EAMF nantinya akan menjadi pintu
masuk bagi Jepang khususnya untuk terlibat aktif dalam sengketa Laut Cina
Selatan lewat isu keamanan maritim. Meningkatnya manuver ketiga negara
memunculkan perhatian mendalam dari Cina yang memandang manuver tersebut
ditujukan terhadapnya. Deklarasi Suylands pada agenda US-ASEA Summits yang
diselenggarakan 16-17 Februari 2016 menandakan tahun penting bagi AS untuk
menancapkan taring kekuatannya pada ASEA melalui ‘permainan’ kemitraan
strategis ASEAN-AS dalam menggertak China.
Sesuatu yang memicu alarm Amerika adalah
perkembangan cepat kekuatan militer China dan ambisi Beijing dalam memanfaatkan
kekuatan angkatan lautnya untuk menghalangi sampainya kapal Amerika ke beberapa
wilayah perairan dan pelabuhan. Karenanya Amerika belakangan diminta
untuk memperbarui komitmen keamanannya dengan sejumlah negara di kawasan Asia
Pasifik yang meliputi Jepang, Australia, Indonesia dan Korea Selatan.
Sebagaimana, Amerika Serikat juga berjanji memberikan USD 6,4 miliar sebagai
senjata kepada Taiwan.
Saat ini, China telah mempersiapkan
titik-titik kuat di LCS dengan membangun pangkalan di beberapa tempat yang mereka
duduki. Mereka juga membangun kekuatan yang memungkinkan untuk memproyeksikan
kekuatan militer ke luar dengan beroperasinya kapal induk Liaoning. Alutsista
udara strategis juga diperkuat. China juga memiliki arsenal menakutkan, senjata
nuklir. Penguasaan China terhadap LCS akan memperkuat posisi strategis
pertahanan halaman depan China. Penguasaan wilayah LCS juga memungkinkan Cina
mengeksploitasi kekayaan LCS, baik perikanan, sumber daya laut, maupun mineral
dan energi. Kontestasi yang terus memuncak di LCS bila tidak dikelola, bisa
meletus menjadi perang terbuka. Apalagi, sejarah LCS tidak bebas dari konflik
bersenjata.
Wakil Komandan Armada 7 Angkatan Laut
Amerika Serikat (AS), Joseph Aucoin mengatakan, sistem rudal yang disebar China
di pulau yang disengketakan di Laut China Selatan (LCS) tidak akan membuat
militer AS berhenti terbang di atas wilayah itu. Menurut Aucoin, keberadaan
sistem rudal pertahanan di LCS telah memberikan "efek destabilisasi"
di seluruh wilayah, dan mendesak China untuk transparan tentang niatnya. Namun,
China balik menuduh jika AS yang sebenarnya melakukan militerisasi dengan
melakukan patroli menggunakan kapal perang dan pesawat militer yang memicu
destabilitas daerah.
Sikap-sikap China tersebut merupakan
maifestasi kebijakan luar negeri China menyangkut konflik Laut China Selatan
ini. Kebijakan luar negeri China tersebut semata-mata dipengaruhi oleh politik
domestik atau dalam negeri China, yaitu mewujudkan kepentingan nasionalnya.
Kepentingan nasional (national interest) menurut Daniel S. Papp adalah
bahwa dalam kepentingan nasional terdapat beberapa aspek, seperti ekonomi,
ideologi, kekuatan dan keamanan militer, dan legalitas. Postur militer China
sangat bersifat outward looking. Bahkan, Cina pernah memasukkan peta Natuna dalam
gambar sampul paspor mereka.
Realitasnya kepemilikan Indonesia
terhadap pulau terdepan, termasuk Pulau Natuna serta perairannya, di mana
Indonesia memiliki kepemilikan, yurisdiksi, maupun hak berdaulat adalah sah.
Dari 193 titik pangkal yang didepositkan di PBB sebagai batas wilayah darat dan
dasar penghitungan wilayah Indonesia di laut, tidak satu pun yang disengketakan
negara tetangga. Dalam kondisi polugri yang masih lemah, bergaining power
Indonesia terhadap China tidak memadai.
Terkait
potensi munculnya China sebagai ancaman di kawasan ASEAN bukan tanpa alasan.
China sebagai negara yang tumbuh menjadi kekuatan baru di dalam konstelasi
politik global memiliki catatan-catatan strategi politik dominasi terhadap
ASEAN.
Manifestasi
Konflik AS vs China
Bisa terbaca tentang strategi jangka
menengah AS Terhadap China, Amerika Serikat menurunkan kemampuan China dalam
memainkan peran lebih besar di dalam urusan-urusan kawasan dan global.
Amerika bekerja agar pemerintahan China terus disibukkan oleh berbagai
persoalan dalam negeri dan luar negeri yang terjadi di sekitar China. Dan
berikutnya bisa diekploitasi masalah HAM berkaitan dengan perlakuan China
terhadap Tibet dan Xinjiang untuk menentang Beijing. Amerika juga
memanfaatkan masalah Taiwan, Korea Utara dan keamanan di kawasan Asia Pasifik
untuk menjamin penyerapan tenaga para politisi China dan menyibukkan mereka
dengan berbagai persoalan yang tiada putusnya.
Pada bulan Maret 2009 sejumlah kapal
laut China mengancam kapal survei Amerika Serikat USNS Impeccable di laut China
selatan. Disamping China juga memodernisasi armada kapal perusaknya,
China juga berencana untuk mendapatkan dua kapal pengangkut pesawat dan telah
berinvestasi banyak dalam membangun kelas baru konvensional, penyerang nuklir dan
kapal selam balistik.
Menurut Seth Cropsey, mantan wakil
sekretaris angkatan laut AS, China dapat memiliki kekuatan kapal selam lebih
besar dari yang dimiliki oleh angkatan laut AS yang terdiri dari 75 kapal selam
dalam jangka waktu 15 tahun ke depan. Pada waktu China memodernisasi kekuatan
militernya, maka menjadi sulit bagi Amerika untuk melindungi Taiwan.
Menurut kajian RAND tahun 2009, pada akhir tahun 2020, Amerika Serikat tidak
akan bisa lagi melindungi Taiwan dari serangan China. Disamping China mengkonsentrasikan
kekuatannya pada Taiwan, angkatan laut China juga diproyeksikan menambah
kekuatannya di laut China Selatan yang dianggap sebagai pintu gerbang China ke
Asia Pasifik dan jalur transportasi hidrokarbon dunia. (Robert
Kaplan, “The Geography of Chinese Power“, Foreign Affairs May/June
2010).
China sekarang jauh lebih tegas dalam
masalah laut China Selatan dan masalah perbatasan yang diperselisihkan dengan
Jepang dan Vietnam. China jauh lebih berani dan konfrontatif seputar
permasalahan internasional. Dimana Beijing belakangan bersikap melawan
Amerika Serikat dan Barat di PBB dan memveto resolusi Dewan Keamanan terkait
Suria. Pada saat yang sama, kekuatan militer China belum sanggup
menghadapi Amerika Serikat. Namun kekuatan militer China tetap siap untuk
menghalangi sampainya kapal perang Amerika ke sebagian jalur perairan dan
pelabuhan -awal dari semacam doktrin Monroe untuk China-.
0 komentar:
Posting Komentar