Oleh: Sri Indrianti (Aktivis Muslimah
Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Tulungagung)
Indonesia menjadi
tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Konferensi
Islam (OKI) di Jakarta pada 6-7 Maret 2016. Sekretaris Kabinet Pramono Anung usai
rapat terbatas kabinet di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu,
mengatakan KTT tersebut akan dikuti 56 kepala negara dan pemerintahan, empat
pengamat, antara lain Amerika Serikat, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni
Eropa.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menambahkan, KTT
tersebut dilatarbelakangi situasi dunia terkait masalah Palestina. KTT itu,
kata Menlu, merupakan bentuk komitmen Indonesia dalam perdamaian dunia. KTT diharapkan membantu OKI
dalam menyelesaikan masalah Palestina dan mencoba membuat terobosan perdamaian
di Timur Tengah. "Ini sejalan Presiden yang mengirimkan pesan damai untuk
Timur Tengah," ujar Retno. Ia mengatakan, hasil yang diharapkan
dalam pertemuan itu adalah adanya dukungan politik penyelesaian masalah
Palestina. (republika.co.id, 02/03)
Pada KTT yang diselenggarakan pada tanggal 6-7 Maret ada enam
agenda yang dibahas; Pertama, masalah
perbatasan, di mana hingga wilayah Palestina dari waktu ke waktu semakin
mengecil karena dikuasai oleh Israel. Kedua, masalah pengungsi Palestina yang tidak bisa
kembali ke tempat asalnya. Ketiga, masalah
status Kota Jerusalem yang dianggap Kota Suci oleh tiga agama, yakni Yahudi,
Nasrani dan Islam. Keempat, masalah
pemukiman ilegal Israel yang terus menggerogoti wilayah Palestina juga menjadi
hal yang belum bisa terselesaikan. Kelima, masalah keamanan. Keenam, masalah
distribusi air bersih yang terus menjadi isu konflik yang terjadi di kedua
negara tersebut.
Isu
yang diangkat dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI) ke-5 tentang Palestina dan Al-Quds, dikritik keras pengamat
hubungan internasional Budi Mulyana karena dianggap melupakan persoalan
mendasarnya. Menurutnya, persoalan mendasar Palestina adalah penjajahan oleh entitas
zionis yahudi, penjajahan ini yang harus dienyahkan.
“Sayangnya,
dalam pertemuan ini tidak ada suara untuk mengenyahkan Israel dari
Palestina!” ujarnya kepada mediaumat.com, Ahad (6/3) melalui surat elektronik.
Menurut
Budi, Israel sudah sedemikian mencengkram dan oleh OKI dianggap sebagai
realitas yang tidak bisa diubah. Walhasil dosa sejarah masa lampau tidak
menjadi cermin untuk mendapatkan solusi yang mendasar dari persoalan Palestina
ini. “Lalu apa kekuatan OKI dengan 57 anggotanya?” tanya Budi retorik.(hizbut-tahrir.or.id,
06/03)
KTT OKI merupakan ilusi penyelesaian
Palestina. Terlebih sepanjang sejarah kita bisa
menyaksikan keterlibatan OKI dalam membela kepentingan muslim Palestina justru
amat minim. Benar bahwa negara-negara Teluk anggota OKI kerap mengirimkan
donasi dan bantuan medis kepada penduduk Palestina, akan tetapi mereka berlepas
tangan setiap kali terjadi invasi militer Israel terhadap wilayah pemukiman
warga Palestina.
OKI
lebih banyak mendorong terciptanya ‘dialog perdamaian’ antara Palestina dengan
Israel. Padahal akar konflik Palestina-Israel adalah penjajahan atas tanah
Palestina yang dilakukan oleh Negara Zionis Israel, bukan masalah perdamaian.
Keberadaan Israel di atas tanah Palestina adalah ilegal dan haram baik dalam
logika politik apalagi pandangan hukum Islam.
Apalagi beberapa negara anggota OKI malah menjalin
persahabatan dengan Israel. Yordania, Turki dan Mesir adalah sebagian anggota
OKI yang telah menjalin kerjasama dengan Israel. Presiden Mesir Abdul Fatah
as-Sisi pada September tahun lalu menyerukan negara-negara Arab untuk
bekerjasama dengan Israel dengan dalih untuk memerangi ancaman terorisme.
Selain konflik Palestina-Israel, negara-negara anggota OKI juga
mengalami instabilitas politik dalam negeri seperti Tunisia, Mesir, Suriah, dan
Yaman. Dan selama itu pula OKI tidak
bisa menyelesaikan persoalan tersebut.
Bahkan bergandengan mesra dengan negara-negara barat seperti Amerika, Inggris,
dan Rusia. Kehadiran perwakilan lima negara anggota
tetap DK PBB adalah bukti bahwa OKI dan para pemimpin dunia Islam tidak
independen dalam memutuskan nasib umat. Negara-negara imperialis akan terus
memonitor dan memberikan arahan serta tekanan bila ada gelagat yang tidak
menguntungkan keberadaan mereka di dunia Islam, khususnya kawasan
Timur Tengah.
Sikap para pemimpin negara
anggota OKI yang tidak tegas ini sangat berbeda dengan perlakuan Khalifah pada masa-masa mendekati keruntuhan
Kekhilafahan. Khalifah pada masa itu masih bisa menunjukkan taringnya. Pada tahun 1901, pendiri
gerakan Zionis, Theodor Hertzel, mengunjungi Istanbul dan berupaya menemui
Khalifah, tetapi hanya diterima Ketua Dewan Menteri. Theodor Hertzel menawarkan
bantuan kepada Khilafah Islamiyah sebagai berikut: (1) Membayarkan lunas
utang Khilafah Islamiyah; (2) Membangun Angkatan Laut Khilafah Islamiyah; (3)
Uang 35 juta Lira Emas tanpa bunga untuk kesejahteraan Khilafah Islamiyah. Konsekuensi dari tawaran
tersebut adalah: (1) Mengizinkan orang Yahudi berkunjung ke Palestina sembarang
waktu mereka inginkan dan bermukim selama mereka inginkan “berziarah ke
tempat-tempat suci”; (2) Mengizinkan orang Yahudi membangun pemukiman dan
mereka menginginkan lokasi dekat dengan Yerusalem.
Khalifah menolak tawaran Hertzel tersebut. Beliau
menyuruh Ketua Dewan Menteri untuk menyampaikan pesan Khalifah:
Nasihati Mr. Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak
akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan
milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi
kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi
silakan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Utsmaniyah dimusnahkan pada suatu
hari, mereka boleh mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi,
sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada
melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah.
Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai
pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup. Kaum Yahudi
hanya diizinkan memasuki Palestina untuk melaksanakan ibadah, bukan sebagai
komunitas yang punya ambisi politik (hizbut-tahrir.or.id, 2/9/2014)
Isu Palestina
sesungguhnya akan selalu berkaitan dengan aspek sejarah, politik dan agama.
Karena itu, belum terlambat waktunya bagi kaum Muslim untuk menyadari bahwa
musuh mereka saat ini adalah Zionisme Yahudi dan Imperialisme Barat (terutama
AS). Kaum Muslim harus sadar bahwa akar masalah Palestina adalah keberadaan
negara Israel yang berdiri di atas tanah milik kaum Muslim yang telah mereka
rampok. Jadi solusinya jelas, yaitu memobilisasi tentara negeri-negeri Islam
untuk menghancurkan negara Israel dan mengusir Yahudi dari tanah Palestina.
Sayangnya solusi ini tidak dapat dilakukan selama kaum Muslim terpecah belah
dan dipimpin oleh pemimpin yang tunduk di bawah hegemoni
Barat. Karena itu, kaum Muslim harus bersatu membangun sebuah institusi yang
kuat, yakni sebuah negara yang berbasiskan ideologi Islam. Sebab, ideologi
Barat-yakni Kapitalisme yang melahirkan imperialisme dan zionisme-hanya mungkin
dilawan dengan ideologi Islam. Begitu pula negara semacam AS dan Israel hanya
mungkin dapat dilawan dengan Negara yang menyatukan kaum Muslim, yakni Khilafah
Islam. Wallahu a’lam bi ash showab
0 komentar:
Posting Komentar