Bolehkah Maslahat Jadi Dasar Pengambilan Hukum?
Soal:
Sejauh mana batasan maslahat dalam
pandangan Islam? Bolehkah aspek kemaslahatan menjadi dasar untuk
mengambil hukum, termasuk untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam
Pemilu yang haram?
Jawab:
Sebelum menjelaskan beberapa masalah
yang ditanyakan di atas, tampaknya perlu dijelaskan sandaran maslahat,
siapa Imam Mazhab yang diklaim menyatakan pandangan tentang maslahat
ini, termasuk, batasan maslahat itu sendiri.
Pertama: Banyak orang mengklaim, Imam Malik, pendiri Mazhab Malikilah, orang yang menyatakan bahwa maslahat merupakan hujah
(dalil). Namun, klaim seperti ini ditolak oleh al-Amidi, “Hanya saja,
apa yang dinukil dari Imam Malik, bahwa beliau menyatakan maslahat,
padahal para pengikutnya telah mengingkarinya dari beliau.”1
Ibn Hajib juga menyatakan hal yang sama
tentang Mashalih Mursalah, “Itu merupakan sesuatu yang tidak jelas
asalnya. Kebanyakan justru menolak berpegang dengan itu. Ada yang
menisbatkan kepada Imam Malik, padahal sebaliknya. Itu justru jauh dari
(pandangan) beliau.”2
Karena itu menisbatkan Mashalih Mursalah kepada Imam Malik sebagai hujah (dalil) itu jelas mengada-ada.
Kedua: batasan maslahat. Secara bahasa maslahat adalah lawan mafsadat (kerusakan). Bentuk jamaknya mashalih. Secara istilah, maslahat adalah menjaga maksud Asy-Syari’. Ada yang mengatakan, kenikmatan (taladzdzudz) dan sarana (wasilah). Imam as-Syafii dalam kitabnya, Ar-Risalah, menyatakan:
إِنَّمَا الإسْتِحْسَانُ تَلَذُّذ
Sesungguhnya istihsan merupakan bentuk taladzdzudz (mencari kepuasan nafsu dan akal). 3
Istihsan yang dikritik oleh Imam as-Syafii di sini termasuk istishlah, yaitu Mashalih Mursalah. Bukan hanya istihsan saja. Karena itu dalam pernyataannya yang lain, beliau menyatakan:
مَنْ اِسْتَصْلَحَ فَقَدْ شَرَّعَ كَمَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
Siapa saja yang menggunakan maslahat
(sebagai hujah), maka dia benar-benar telah membuat syariah. Sama
dengan orang yang menggunakan istihsan, maka dia benar-benar telah
membuat syariah. 4
Ibn Taimiyyah menambahkan, “Mashalih Mursalah
merupakan bentuk pensyariatan dalam agama (Islam) dengan menggunakan
sesuatu yang tidak dibenarkan (Islam). Ia dalam beberapa aspek sama
dengan istihsan, penilaian baik-buruk dengan menggunakan akal dan pandangan (nalar), dan sejenisnya.”5
Karena itu, sebenarnya pandangan tentang maslahat dalam konteks hukum Islam ini tidak lepas dari dua:
1- Pandangan yang menggunakan akal dan hawa nafsu dalam menarik hukum syariah. Pandangan seperti ini jelas batil.
2- Orang-orang yang menyatakan tentang penggunaannya sebagai hujjah, mereka membangunnya dengan apa yang mereka klaim sebagai dalil (argumen), padahal sejatinya semuanya itu hanya syubhat. Bahkan dengan lancang mereka menisbatkan hal itu kepada Imam Malik, padahal itu tidak pernah beliau nyatakan.
Sebelum menjelaskan tentang penggunaan Mashalih Mursalah dalam konteks Pemilu, mungkin perlu beberapa contoh yang diklaim menggunakan Mashalih Mursalah.
Seperti pengumpulan al-Quran yang dilakukan pada zaman Abu Bakar ra.
atas inisiatif Umar bin al-Khatthab ra. Kasus penyambukan orang yang
meminum khamer dengan 80 kali cambukan yang diterapkan ‘Umar ra.
Penunjukan Umar oleh Abu Bakar ra. sebagai penggantinya menjadi
khalifah. Orang yang terlibat pembunuhan bersama-sama dijatuhi hukuman
yang sama, meski pembunuhnya dan korbannya hanya seorang. Inilah
beberapa contoh, yang sering diklaim sebagai bentuk penggunaan Mashalih Mursalah
dalam menarik hukum yang dilakukan di zaman sahabat. Semua kasus ini
sudah dibahas dan dibantah oleh Muhammad Syuwaiqi dalam kitabnya, Al-Wadhih fi Ibthali al-Mashalih.6 Juga Mahmud ‘Abdul Karim Hasan, dalam kitabnya, Al-Mashalih al-Mursalah: Dirasah Tahliliyyah wa Munaqasyah Fiqhiyyah wa Ushuliyyah ma’a Amtsilah Tathbiqiyyah.7
Dari uraian di atas, jelas bahwa
menggunakan maslahat sebagai dasar untuk menarik hukum syariah adalah
batil; tidak bisa diterima, baik oleh mazhab yang diklaim menggunakannya
sebagai hujjah, maupun oleh mazhab yang jelas-jelas menolaknya sebagai hujjah. Karena itu sebenarnya penggunaan mashalat ini hanyalah dalih (hilah), bukan dalil. Penggunaan dalih (hilah) untuk menarik hukum itu sendiri batil, yang telah dibahas oleh banyak ulama. Sebut saja, Al-Qadhi Abu Ya’la, dalam kitabnya, Ibthal al-Hiyal.
Pertimbangan maslahat juga sering berpatokan pada hasil, sebagaimana dalam kasus Pemilu. Misalnya, “Jika
umat Islam tidak mengikuti Pemilu, maka negeri Muslim terbesar ini akan
dikuasai orang non-Muslim. Jika negeri ini dikuasai orang non-Muslim,
maka sama dengan menjerumuskan negeri ini dalam kekuasaan mereka. Ini
jelas haram.”
Menarik kesimpulan hukum dengan cara seperti ini jelas salah. Lalu di mana letak kesalahannya? Karena tampaknya benar.
Kesalahan logika di atas, bisa dirunut sebagai berikut:
Pertama: Kesimpulan hukum ini bukanlah kesimpulan yang dibangun berdasarkan dalil, istidlal atau istinbat,
tetapi logika mantik. Memang benar, memberi peluang kepada orang kafir
untuk menguasai kaum Muslim, termasuk negerinya, hukumnya haram.
Keharaman ini dinyatakan dengan tegas dalam al-Qur’an (QS an-Nisa’ [4]:
141). Namun, apakah benar, kaum kafir itu bisa menguasai kaum Muslim dan
negerinya karena umat Islam tidak ikut Pemilu? Di sinilah kesalahan
logika itu tampak jelas: (1) Faktanya justru melalui Pemilu, banyak
negeri kaum Muslim dikuasai oleh kaum kafir, sebagaimana Irak pasca
pendudukan AS dan sekutunya. Justru, Pemilu dijadikan sebagai alat untuk
menjustifikasi cengkraman AS. Pemilu juga dijadikan alat untuk mengakui
kekuasaan yang sebenarnya tidak sah, sebagaimana AS dan Inggris
menggunakan keterlibatan HAMAS di Palestina untuk melegalkan “negara
Palestina”. (2) Faktanya, ketika umat Islam menang dalam Pemilu, mereka
juga tidak bisa berkuasa, seperti FIS di Aljazair, Mursi di Mesir,
Hamas di Palestina, dan banyak yang lain. Ini bukti, bahwa logika di
atas adalah salah. Kesalahannya, sangat mudah, dibuktikan cukup melalui
fakta.
Kedua: Kesalahan berikutnya, karena menggunakan Ma’alat al-Af’al
(hasil perbuatan) sebagai pertimbangan hukum. Padahal menggunakan hasil
perbuatan, positif dan negatif, sebagai pertimbangan hukum jelas tidak
boleh. Kita wajib terikat dengan hukum syariah karena perintah dan
larangan Allah, bukan karena pertimbangan hasilnya, positif atau
negatif, menurut akal dan nafsu kita.
Ketiga: Mungkin ada yang menggunakan pertimbangan kaidah berikut ini sebagai argumen:
اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ
Sarana yang bisa mengantarkan pada keharaman hukumnya menjadi haram.
Kaidah ini benar. Namun, untuk digunakan
dalam konteks hukum, harus memenuhi dua syarat: (1) Hukum yang menjadi
tujuannya jelas haram dan keharamannya dinyatakan oleh nas. Dalam hal
ini, keadaan umat Islam dan negeri Muslim dikuasai oleh kaum kafir jelas
haram. Keharamannya juga dinyatakan dalam nas (QS an-Nisa’ [4]: 141.
(2) Sarana tersebut berdasarkan ghalabatu azh-zhann benar-benar
bisa mengantarkan umat Islam dalam cengkeraman kaum kafir. Nah, dalam
kasus Pemilu, kemungkinan umat Islam dicengkeram oleh kaum kafir jika
kalah memang ada. Namun, kemungkinan sebaliknya juga ada, misalnya
ketika mereka menang tidak bisa berkuasa, dan justru kemenangan mereka
digunakan untuk melanggengkan kekuasaan kaum kafir juga ada. Jadi,
Pemilu sebagai wasilah yang mengantarkan pada keharaman itu
tidak pasti. Karena itu kaidah ini tidak bisa digunakan untuk menarik
kesimpulan hukum Pemilu ini.
Kelima: Kesalahan lain juga
bisa dibuktikan melalui fakta, bahwa memang setelah Pemilu, sejumlah
partai Islam atau partai yang berbasis umat Islam itu, jika dikumpulkan,
meraih suara 31%, dan merupakan perolehan terbesar. Namun, mereka
ternyata tidak berpikir untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim, justru
mereka berpikir untuk berkoalisi dengan partai sekular. Ini juga fakta,
bahwa ternyata mengikuti Pemilu dengan memilih partai Islam atau partai
berbasis Islam, justru melanggengkan sekularisme.
Keenam: Orang yang mereka pilih
akan melakukan tugas dan fungsi yang haram, seperti membuat UU dan
peraturan yang tidak bersumber dari hukum Islam. Mereka juga akan
mengangkat dan melantik presiden yang tidak menerapkan sistem Islam.
Padahal, memberikan suara, sebagai bentuk wakalah, kepada orang yang akan melakukan tugas dan fungsi seperti ini jelas haram. Karena merupakan bentuk wakalah fi al-haram, jadi hukumnya juga haram. Lalu dari mana tindakan ini dinyatakan mubah?
Semua ini adalah bukti yang nyata, bagi siapa saja yang masih mempunyai akal sehat dan kewarasan nalar, bahwa argumentasi maslahat agar umat Islam mengikuti Pemilu yang sejatinya haram itu jelas-jelas bentuk iftira’ ‘ala-Llah kadziba (berani berbohong dengan mengatasnamakan Allah). [] hti press/ syabab indonesia
Catatan kaki:
1 Al-‘Allamah Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, IV/216.
2 Al-‘Allamah Ibn Hajib, Muntaha al-Wushul wa al-Amal, hlm. 208.
3 Al-Imam as-Syafii, Ar-Risalah, hlm. 508; Masalah no 1464-1468.
4 Hujjat al-Islam al-Ghazali, Al-Musthasfa fi ‘Ilm al-Ushul, I/245.
5 Mahmud ‘Abdul Karim Hasan, Al-Mashalih al-Mursalah: Dirasah Tahliliyyah wa Munaqasyah Fiqhiyyah wa Ushuliyyah Ma’a Amtsilah Tahbiqiyyah, Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, hlm. 72.
6 Muhammad Syuwaiqi, Al-Wadhih fi Ibthali al-Mashalih, Dar al-Bayariq, Beirut, cet. III, 1998, hlm. 99-103.
7 Mahmud ‘Abdul Karim Hasan, Al-Mashalih al-Mursalah: Dirasah Tahliliyyah wa Munaqasyah Fiqhiyyah wa Ushuliyyah Ma’a Amtsilah Tahbiqiyyah, Dar an-Nahdhah al-Islamiyyah, hlm. 86-102.
0 komentar:
Posting Komentar