Islamisasi Demokrasi?
Oleh: Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy
Demokrasi Sistem Kufur
Khilafah, demokrasi, teokrasi dan
monarki adalah istilah-istilah khusus untuk mengungkap makna-makna
tertentu. Istilah-istilah tersebut saling bertentangan dan tidak bisa
disepadankan satu sama lain.
Memang, kekuasaan di dalam sistem demokrasi dan Khilafah Islamiyah ada di tangan rakyat. Namun, dalam sistem Khilafah, kafir dzimmi
yang menjadi warga negara Khilafah tidak memiliki hak untuk memilih
calon khalifah atau mengangkat seseorang untuk menduduki tampuk
Kekhilafahan. Dalam sistem Khilafah, hukum mengangkat seorang khalifah (bai’at in’iqad) adalah fardhu kifayah, bukan fardlu ‘ain. Wanita juga tidak boleh dicalonkan menjadi amil, wali maupun khalifah.
Sebaliknya, dalam sistem demokrasi, baik
Muslim maupun kafir, laki-laki dan wanita, memiliki hak yang sama untuk
mencalonkan dan dicalonkan sebagai kepala negara. Di dalam sistem
demokrasi tidak dikenal istilah fardhu kifayah dan fardlu ‘ain dalam konteks pengangkatan seorang kepala negara. Dalam sistem Khilafah seluruh dimensi kulliyah maupun juz’iyyah-nya tegak di atas ‘aqidah islamiyyah,
sedangkan sistem demokrasi tegak di atas akidah kufur. Lalu bagaimana
bisa dinyatakan bahwa sistem Khilafah sepadan dengan sistem demokrasi
dalam hal pandangan keduanya terhadap kekuasaan?
Begitu pula sistem Khilafah dengan teokrasi, tidak ada kesamaan dan kesepadanan pada aspek-aspek kulliyyah maupun juz’iyyah.
Seluruh aturan yang diterapkan dalam sistem Khilafah benar-benar
berasal dari Allah SWT. Adapun aturan yang diklaim sebagai aturan Tuhan
dalam sistem teokrasi, sesungguhnya berasal dari manusia, bukan berasal
dari Tuhan. Negara-negara Kristen Eropa, meskipun mengklaim sebagai
negara teokrasi, kebijakan-kebijakan publiknya tidak mengacu kepada
wahyu Tuhan, tetapi mengacu pada pendapat pribadi Paus atau pendeta;
atau mengacu pada suara mayoritas (demokrasi). Ini bisa dimengerti
karena, Injil yang dianggap sebagai wahyu Tuhan tidak mengatur urusan
manusia secara menyeluruh. Bahkan Injil yang diyakini jutaan kaum
Nasrani nyata-nyata bukan perkataan Yesus, tetapi perkataan orang-orang
yang tidak pernah bertemu dengan Yesus. Adapun jika ditinjau dari sisi
akidah, Tuhan orang-orang Kristen tidak sama dengan Tuhan orang-orang
Muslim. Lalu dari mana bisa dinyatakan bahwa Khilafah sama dengan
teokrasi ditinjau dari aspek ini?
Ini ditinjau dari realitas kekuasaan
dalam sistem demokrasi dan sistem Khilafah serta realitas hukum Tuhan
dalam sistem Khilafah dan teokrasi.
Adapun ditinjau dari sisi hukum mengadopsi istilah-istilah asing, Islam telah menggariskan sejumlah ketentuan. Pertama:
Seorang Muslim dilarang mengadopsi istilah-istilah asing yang maknanya
bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Contohnya dalam QS
al-Baqarah [2] ayat 104. Dalam ayat ini Allah SWT melarang kaum Muslim
menggunakan kata “ra’inaa” karena kata ini di-tawriyyah-kan orang-orang Yahudi dengan makna “ru’uunah” (bebal atau bodoh) untuk melecehkan Nabi saw. Tawriyyah
adalah mengatakan sesuatu yang lahiriahnya bertentangan dengan apa yang
dimaksudkan. Sejak saat itu, kaum Muslim tidak lagi menggunakan kata “ra’inaa”, tetapi menggantinya dengan kata “unzhurnaa”. Padahal secara bahasa, kata “ra’inaa” dan “unzhurnaa” memiliki makna yang sama.
Wajhul-istidlal ayat di atas
adalah, seorang Muslim dilarang mengadopsi kata atau istilah asing yang
maknanya bertentangan dengan akidah dan syariah Islam; atau bisa
dijadikan sarana untuk melecehkan kesucian Islam seperti kata demokrasi,
pluralisme, liberalisme, sekularisme, dan lain sebagainya. Sebab,
makna yang terkandung dalam kata atau istilah ini jelas-jelas
bertentangan dengan akidah Islam.
Adapun kata atau istilah asing yang
memiliki makna umum dan tidak bertentangan dengan Islam, maka mengadopsi
kata-kata tersebut tidaklah dilarang, seperti konstitusi,
yurisprudensi, undang-undang, dan lain sebagainya.
Kedua: Islam melarang kaum Muslim meniru-niru orang-orang kafir (tasyabbuh bi al-kuffar). Mengadopsi kata demokrasi termasuk aktivitas tasyabbuh dengan orang-orang kafir yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Imam Ibnu Katsir rahimahulLah mengetengahkan sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dari shahabat Ibnu ’Umar ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut (HR Ahmad).
Hadis ini mengandung larangan yang
sangat keras serta ancaman bagi siapa saja yang meniru-niru atau
menyerupai orang-orang kafir, baik dalam hal perkataan, perbuatan,
pakaian, hari raya, peribadahan, serta semua perkara yang tidak
disyariatkan bagi kaum Muslim (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 1/149-150).
Hanya saja, larangan mengadopsi sesuatu
dari orang-orang kafir tidaklah bersifat mutlak. Ada perkara-perkara
yang berasal dari non-Mslim yang boleh diambil dan ada pula yang tidak
boleh. Dalam perkara-perkara yang bebas nilai (free of value),
seorang Muslim boleh mengadopsi, meniru maupun mengambil dari
non-Muslim. Contohnya, sains dan teknologi, serta semua hal yang lahir
dari keduanya. Seorang Muslim juga tidak dilarang mengadopsi
istilah-istilah asing, semampang istilah-istilah tersebut tidak memiliki
makna tertentu yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Jika
istilah-istilah asing tersebut memiliki makna khusus yang bertentangan
dengan akidah dan syariah, seorang Muslim dilarang mengadopsi istilah
tersebut. Misalnya, istilah demokrasi, pluralisme, ateisme dan lain
sebagainya. Sebaliknya, istilah-istilah asing yang maknanya tidak
bertentangan dengan akidah dan syariah Islam boleh diadopsi tanpa ada
larangan sedikitpun. Contohnya, istilah konstitusi, yurisprudensi dan lain sebagainya (Lihat Ihsan Samarah, Mafhum al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Fikr al-Islami al-Ma’ashir; 1991. Bandingkan dengan Imam Ibnu al-’Arabiy, Ahkam al-Qur’an, 1/49).
Adapun, hal-hal yang tidak bebas nilai,
kaum Muslim dilarang mengambil dan mengadopsi. Contohnya ilmu-ilmu
sosial maupun ekonomi yang memuat pandangan hidup maupun sistem hidup
kaum sosialis dan kapitalis. Seorang Muslim dilarang mengadopsi dan
memberlakukan sistem ekonomi kapitalistik maupun sosialistik. Seorang
Muslim dilarang mengadopsi pandangan hidup liberalisme dan pluralisme
yang lahir dari kapitalisme. Seorang Muslim dilarang mengadopsi
upacara-upacara maupun ritual-ritual orang Hindu maupun Budha. Seorang
Muslim juga dilarang memakai produk-produk non-Muslim yang menunjukkan
peradaban dan pandangan hidup mereka; misalnya, kalung salib, rumah
berbentuk gereja, pura, dan lain sebagainya.
Sebaliknya, seorang Muslim boleh
mempelajari peradaban maupun pandangan hidup non-Muslim dengan tujuan
untuk menjelaskan kekeliruan dan ketidaksesuaiannya dengan pandangan
hidup Islam. Selain untuk tujuan ini adalah haram.
Islamisasi Demokrasi?
Demokrasi adalah istilah asing yang
maknanya jelas-jelas bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.
Demokrasi adalah jalan hidup, tujuan, idealitas dan pilosofi politik
orang-orang kafir. Duane Swank, Ph.D. menyatakan, “Democracy is a
form of government, a way of life, a goal or ideal, and a political
philosophy. The term also refers to a country that has a democratic form
of government. The word democracy means rule by the people. United
States President Abraham Lincoln described such self-government as
“government of the people, by the people, for the people.”
(Demokrasi adalah bentuk pemerintahan, jalan hidup, tujuan dan idea
serta sebuah fisafat politik. Istilah demokrasi juga berkaitan dengan
negara yang memiliki bentuk pemerintahan demokratik. Kata demokrasi
sendiri bermakna pemerintahan (kekuasaan) rakyat. Presiden AS Abraham
Lincoln mendiskripsikan pemerintahan demokrasi dengan “pemerintahan rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”). (Prof Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu-ilmu Politik).
Demokrasi, baik secara istilah maupun
makna, adalah sistem kufur yang haram untuk diadopsi, dipraktikkan dan
disebarluaskan. Demokrasi adalah thaghut yang harus
dienyahkan. Tidak ada islamisasi demokrasi. Islamisasi demokrasi sama
artinya menyetarakan keimanan dengan kekufuran, atau memaksakan agar
kekufuran menjadi bagian dari ajaran Islam. Islamisasi demokrasi sama
artinya dengan memaksakan agar thaghut menjadi sesembahan orang-orang beriman.
Islam Mustahil Tegak dalam Sistem Demokrasi
Sistem pemerintahan satu-satunya yang
ditetapkan nas-nas syariah untuk menopang penerapan Islam secara
menyeluruh adalah sistem Khilafah. Imam Muslim menuturkan sebuah
riwayat dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ
وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ. قَالُوا
فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ
وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Bani Israel pernah diurus oleh para
nabi. Ketika seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. Yang ada adalah para khalifah
dan jumlahnya banyak.” Para Sahabat bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi saw. menjawab, “Penuhilah
baiat yang pertama, yang pertama saja. Berikanlah kepada mereka
hak-hak mereka. Sesungguhnya Allah SWT menanya-kan kepada mereka atas
pengaturan mereka.” (HR Muslim).
Nabi saw. tidak hanya menyampaikan
risalah Allah SWT semata, namun beliau juga diperintahkan untuk mengatur
urusan umatnya, sebagaimana para nabi yang diutus Allah SWT untuk
mengatur urusan Bani Israel. Hanya saja, sepeninggal Nabi saw. tugas
pengaturan urusan umat tidak diserahkan kepada nabi yang lain (seperti
halnya Bani Israel), namun, diserahkan kepada para khalifah. Sebab,
Nabi Muhammad saw. adalah nabi terakhir, dan tidak ada nabi sepeninggal
beliau.
Hadis di atas menjelaskan kepada kita semua bahwa penguasa yang ditunjuk oleh Asy-Syari’
untuk mengatur urusan umat Islam adalah khalifah, bukan raja, presiden,
kaisar, dan lain sebagainya. Hadis di atas juga menunjukkan bahwa
sistem pemerintahan yang ditetapkan wahyu adalah sistem Khilafah. Para
ulama mu’tabarah dari seluruh mazhab telah menetapkan bahwa kewajiban mengangkat seorang khalifah termasuk perkara yang telah disepakati (mujma’ ‘alayhi). Di dalam Kitab Al-Asybah wa an-Nazha’ir, karya Imam as-Suyuthi disebutkan:
لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ, وَ إِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Tidak diingkari perkara yang masih diperselisihkan (mukhtalaf fiihi) dan yang diingkari hanyalah perkara yang sudah disepakati (mujma’ ‘alayhi)”. (As-Suyuthi, Al-Asybah wa An Nazhair, I/285).
Penerapan Islam dalam sistem
demokrasi, sebagaimana yang diusung beberapa kelompok kaum Muslim,
jelas-jelas telah menyalahi perkara yang telah disepakati. Pasalnya,
presiden, raja, kaisar atau perdana menteri bukanlah pihak yang ditunjuk
oleh syariah untuk mengatur urusan rakyat dengan syariah Islam. Seperti
halnya anak perempuan bukanlah pihak yang ditunjuk oleh syariah untuk
menjadi wali nikah. Jika anak perempuan menikahkan seorang wanita,
pernikahannya tidak sah. Sebab, anak perempuan tidak sah dijadikan
sebagai wali pernikahan. Begitu pula wewenang untuk menerapkan syariah
Islam secara menyeluruh dalam sebuah negara. Wewenang ini diberikan
kepada seorang khalifah dan orang-orang yang ditunjuk oleh Khalifah,
bukan diberikan kepada raja, presiden, perdana menteri, maupun kaisar.
Menegakkan Islam Via Demokrasi?
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, demokrasi adalah sistem kufur dan “najis li dzatihi”.
Oleh karena itu, demokrasi tidak boleh dimanfaatkan, dinikmati, apalagi
diadopsi sebagai jalan untuk menegakkan Islam. Sebab, Islam adalah
agama sempurna yang menjelaskan semua persoalan umat manusia. Tidak ada
satu pun persoalan yang tidak dijelaskan oleh Islam; termasuk di
dalamnya jalan untuk menegakkan kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyah).
Menjadikan demokrasi sebagai alat untuk menegakkan syariah Islam sama
artinya dengan menggunakan kekufuran sebagai alat untuk memperjuangkan
keimanan dan ketaatan; serta menganggap bahwa Islam belum menjelaskan
jalan untuk meraih kekuasaan dan menegakkan Islam. Dua hal ini
sama-sama batilnya.
Selain itu seorang Muslim wajib mengikatkan dirinya dengan jalan (thariqah) yang telah digariskan Rasulullah saw., tanpa bergeser seujung rambut pun. Allah SWT berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih (QS an-Nur [24]: 63).
Tatkala menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa maksud fras ‘an amrihi adalah jalan, manhaj, thariqah,
sunnah dan syariah Nabi saw. Seluruh perkataan dan perbuatan ditimbang
dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Yang sejalan diterima,
sedangkan yang menyelisihi ditolak (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir/QS an-Nur [24]: 63).
Menempuh jalan demokrasi, sejatinya adalah menempuh jalan taghut. Menempuh jalan taghut sama artinya telah menyimpang dari manhaj Rasulullah saw. yang lurus.
Dari sisi fakta, gerakan-gerakan Islam
yang berusaha memperjuangkan Islam melalui demokrasi nyata-nyata telah
kandas dan gagal. Fakta juga menunjukkan, meskipun di antara mereka ada
yang memenangkan Pemilu secara demokratis, mereka tidak berdaya untuk
menerapkan Islam secara kaffah. Bahkan ketika mereka hendak
mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam, keberadaan mereka justru
diberangus oleh musuh-musuh Islam dengan dalih menyelamatkan demokrasi.
Contoh yang paling baik adalah FIS di Aljazair, dan Ikhwanul Muslimin
di Mesir.
Jika bukan dengan jalan demokrasi,
lantas dengan jalan apa? Jawabannya adalah dengan jalan Rasulullah
saw. Beliau menempuh tiga fase dakwah yakni: (1) tatsqif (pembinaan/kaderisasi); (2) tafa’ul ma’a al-ummah (berinteraksi dengan masyarakat) dengan menyampaikan Islam secara terang-terangan; (3) istilam al-hukmi (penerimaan kekuasaan) dengan metode thalabun-nushrah (meminta dukungan dari ahlu al-quwwah). Inilah jalan syar’i yang dicontohkan Nabi saw. untuk memperjuangkan tegaknya Islam secara kaffah. WalLahu a’lam bi ash-shawab. [] hti press/ syabab indonesia
0 komentar:
Posting Komentar