Penyalahgunaan Kaidah Fikih Untuk Mengikuti Pemilu
Menjelang Pemilu
Legislatif (Pileg) 9 April 2014 kemarin, berseliweran di pelbagai media
berbagai justifikasi agar umat Islam terlibat dalam Pemilu. Sebagiannya
menggunakan kaidah-kaidah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah). Misalnya kaidah adh-dharurah tubih al-mahzhurat,
yang berarti kondisi darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan.
Maksudnya, keikutsertaan umat dalam Pemilu dalam sistem demokrasi
sekarang, diakui hukum asalnya haram. Pasalnya, Pemilu Legislatif
berarti memilih wakil rakyat yang di parlemen akan melegislasi hukum
kufur, bukan hukum syariah Islam.
Namun kemudian, ada pertimbangan, Pemilu
dalam sistem demokrasi saat ini adalah darurat sehingga akhirnya
dibolehkan. Alasannya, kalau tidak memilih (alias golput) akan
menimbulkan kemadaratan yang lebih besar, yaitu dominasi orang kafir
atau pihak yang tidak menghendaki umat Islam kuat. Sebaliknya, dengan
memilih, kemadaratannya lebih kecil. Menurut mereka, ini sesuai dengan
kaidah fikih yang berbunyi: Yukhtaru ahwanus-syarrayn (dipilih kemadaratan yang paling ringan dari dua kemadaratan yang ada).
Kaidah Fikih dan Rambu-rambunya
Kaidah fikih dalam kitab-kitab ushul
fikih disebut dengan beragam istilah, namun maksudnya secara garis besar
sama. Kadang disebut al-qawa’id al fiqhiyyah, atau al-qawa’id asy-syar’iyyah, atau al-qawa’id al kulliyah. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, kaidah fikih adalah :
اَلْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ الْكُلِّيُّ الْمُنْطَبِقُ عَلىَ جُزْئِيَّاتِهِ
Hukum syar’i yang bersifat menyeluruh (kulli) yang berlaku untuk bagian-bagiannya (juz’iyat) (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/444).
Definisi tersebut menjelaskan bahwa kaidah fikih mempunyai dua sifat utama. Pertama: kaidah fikih sebenarnya adalah hukum syar’i, yang di-istinbath dari dalil-dalil syar’i. Artinya, kaidah fikih sebenarnya bukan dalil syar’i (sumber hukum), melainkan hukum syar’i itu sendiri. Kedua: kaidah fikih merupakan hukum kulli, yakni hukum yang berlaku untuk banyak kasus (juz’iyyat), bukan berlaku untuk satu kasus saja (Taqiyuddin An-Nabhani, Izalah al-Atribah ‘anil Judzur, hlm. 1-2).
Misalkan kaidah fikih yang berbunyi: Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. (Apa yang tak dapat dijangkau semuanya, tidak ditinggalkan semuanya). Kaidah ini di-istinbath dari sejumlah dalil syar’i yang mewajibkan kaum Muslim untuk melaksanakan suatu taklif syariah semaksimal mungkin, di antaranya sabda Rasulullah saw.:
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian (HR Bukhari dan Muslim). (Lihat Iman Abdul Majid Al Hadi, Qa’idah Al-Maysur La Yasquthu bi al-Ma’sur, hlm. 77).
Kaidah ini tak hanya dapat diberlakukan
pada satu kasus, tetapi banyak kasus. Misalnya, jika seseorang punya
utang Rp 10 juta, tetapi hanya mampu membayar Rp 5 juta, maka tak boleh
dia tak membayar utang sama sekali. Dia wajib membayar walau hanya Rp 5
juta. Contoh lain, jika seorang murid/mahasiswa harus menguasai 10 bab
ilmu untuk ujian, sedangkan dia hanya mampu menguasai 7 bab saja, maka
dia wajib menguasai yang 7 bab itu. Tidak boleh dia menyerah dan tidak
menguasai satu bab pun. Demikian seterusnya.
Meskipun kaidah fikih bukan dalil syar’i (sumber hukum), ia dapat diamalkan seperti halnya dalil syar’I;
maksudnya, dapat menjadi dasar bagi penetapan hukum-hukum syariah baru.
Hanya saja hukum-hukum syariah baru ini bukan hukum syariah yang sama
sekali baru, seperti halnya hukum hasil ijtihad, melainkan sekadar
cabang hukum dari hukum pokok yang sudah ada (yaitu kaidah fikih itu
sendiri). Jadi pengamalan kaidah fikih hakikatnya adalah mencabangkan
hukum syariah, yang diistilahkan at-tafrii’ ‘ala al hukm asy-syar’i oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/443).
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani,
pengamalan kaidah fikih ada rambunya, yaitu disyaratkan tidak boleh
bertentangan dengan nash-nash syariah dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jika
pengamalan suatu kaidah fikih bertentangan dengan nash-nash syariah
maka yang diamalkan adalah nas syariah, sedangkan kaidah fikihnya wajib
diabaikan, yakni tidak boleh diamalkan. Hal itu karena pengamalan kaidah
fikih kedudukannya sederajat dengan pengamalan Qiyas. Jika Qiyas
bertentangan dengan nash al-Quran dan as-Sunnah, yang wajib diamalkan
adalah nas al-Quran dan as-Sunnah, sedangkan Qiyasnya dikalahkan dan
tidak boleh diamalkan (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/449).
Penyalahgunaan Kaidah Darurat
Tidak dibenarkan menggunakan kaidah darurat untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam Pemilu Legislatif. Alasannya ada dua. Pertama:
pengamalan kaidah darurat tersebut tidak sah karena bertentangan dengan
nas-nas syariah yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem
demokrasi saat ini. Pemilu Legislatif dimaksudkan untuk memilih anggota
parlemen yang tugas utamanya adalah melakukan legislasi.
Legislasi di parlemen haram karena legislasi ini hakikatnya adalah memberikan hak tasyri’ (penetapan hukum) kepada selain Allah, sesuai prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi. Padahal dalam Islam hak tasyri’ hanyalah milik Allah saja, bukan yang lain (M. Ahmad Mufti, At-Tasyri’ wa Sann al-Qawanin fi ad-Dawlah al-Islamiyyah, hlm. 6 & 38).
Nas-nas syariah dengan tegas membatasi hak tasyri’ sebagai hak milik Allah SWT saja (QS al-An’am [6] : 57).
Karena itu wajar jika orang yang membuat
hukum sendiri tanpa merujuk pada wahyu Allah disebut sebagai
“tuhan-tuhan” selain Allah, karena dia telah menandingi hak Allah
sebagai Pembuat Hukum (Al Musyarri’) (Lihat: QS at-Taubah [9] : 31).
Dengan demikian, jelas penggunaan kaidah darurat
untuk menjustifikasi keterlibatan umat dalam Pemilu adalah batil.
Pasalnya, kaidah darurat merupakan bagian kaidah fikih yang syarat
penerapannya tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah dalam
al-Quran dan as-Sunnah.
Kedua: karena kondisi daruratnya sendiri tidak ada sehingga tidak sah mengamalkan kaidah adh-dharurah tubih al—mahzhurat (kondisi
darurat membolehkan hal-hal yang diharamkan) untuk menjustifikasi
keterlibatan umat dalam pemilu. Darurat menurut Imam Suyuthi adalah
sampainya seseorang pada suatu batas yang jika dia tidak melakukan yang
dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati (misal kehilangan
anggota tubuh seperti tangan, kaki, dsb). Contohnya boleh makan bangkai
atau minum khamer bagi orang yang kalau tidak segera makan/minum dia
akan terancam mati (Imam Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazha’ir,
hlm. 84-85). Definisi darurat Imam Suyuthi itu semakna dengan definisi
darurat menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yaitu keterpaksaan yang
sangat (al-idhthirar al-mulji’) yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kematian (Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah,
III/483). Jadi definisi darurat itu terbatas pada kondisi yang
mengancam jiwa. Inilah definisi darurat yang disepakati ulama empat
mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali (Wahbah Zuhaili,
Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami, X/427).
Dengan demikian, jika kondisi yang ada
tidak sampai mengancam jiwa, misalnya sekadar kehilangan kesempatan
menjadi presiden, anggota DPR, atau anggota kabinet, jelas bukan kondisi
darurat. Kondisi darurat dalam arti terancamnya jiwa sama sekali tidak
terwujud ketika umat Islam tidak memilih dalam Pemilu. Apakah kalau umat
Islam tidak memilih dalam Pemilu lantas terancam jiwanya? Tidak, bukan?
Persoalannya, para masyasyikh muta’akh-khirin
(ulama kontemporer) ternyata cenderung melonggarkan definisi darurat.
Darurat didefinisikan secara luas bukan hanya kondisi yang mengancam
jiwa, tetapi juga mengancam hal-hal selain jiwa, seperti harta, akal,
dan sebagainya (Wahbah Zuhaili, Mawsu’ah al-Fiqh al-Islami,
10/428-429). Jadi seorang pegawai yang terancam dipecat oleh atasannya
dapat dikategorikan dalam kondisi darurat, karena terancam hartanya (tak
lagi gajian). Jika definisi darurat yang longgar seperti ini yang
dipakai, memang logis kalau Pemilu dianggap darurat. Mungkin mereka
menganggap dominasi kaum liberal/sekular dalam parlemen adalah kondisi
darurat jika umat tidak memilih. Dengan tak memilih, umat akan terancam,
meski bukan terancam nyawanya, tetapi mungkin terancam kepentingannya.
Padahal definisi darurat yang longgar
itu tak dapat diterima. Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani definisi itu
justru tidak sesuai dengan nash al-Quran yang menjadi sumber atau dasar
definisi darurat. Misalnya, QS al-Baqarah ayat 173 jelas membatasi
kondisi darurat hanya pada kondisi yang mengancam jiwa, bukan mengancam
hal-hal lain di luar keselamatan jiwa (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, III/483).
Penyalahgunaan Kaidah Akhaffu Dhararayn
Kaidah Akhaffu Dhararayn artinya adalah seorang Muslim boleh memilih bahaya (dharar) yang paling ringan dari dua bahaya yang ada. Kaidah ini pengertiannya sama dengan kaidah Yukhtaru ahwanus-syarrayn yang telah dijelaskan di atas (M. Shidqi al-Burnu, Mawsu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, XII/349).
Kaidah ini biasanya digunakan untuk menyikapi adanya dua bahaya yang diasumsikan akan menimpa umat dalam konteks Pemilu. Pertama: bahaya kecil ketika umat Islam terlibat dalam demokrasi. Kedua:
bahaya besar ketika umat Islam tidak terlibat dalam demokrasi, yaitu
akan adanya dominasi orang kafir di parlemen atau kabinet, yang dapat
mengancam kepentingan atau aspirasi umat Islam.
Penggunaan kaidah Akhaffu Dhararayn ini untuk membolehkan umat ikut Pemilu juga tidak dapat dibenarkan, karena beberapa alasan. Pertama: pengamalan kaidah tersebut secara syar’i
tidak sah karena tidak memenuhi syaratnya, yaitu tidak boleh
bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Sudah dijelaskan
bahwa banyak nas-nas yang mengharamkan fungsi legislasi dalam sistem
demokrasi saat ini.
Kedua: pengguna kaidah tersebut
terjebak pada logika jumlah orang (individu), seraya melupakan aspek
sistem yang ada. Diasumsikan kalau di parlemen mayoritasnya Muslim, akan
baik dan tak berbahaya. Sebaliknya, kalau mayoritasnya non-Muslim akan
tidak baik dan berbahaya. Padahal jumlah Muslim atau non-Muslim tidak
ada efeknya secara signifikan dalam sistem demokrasi. Pasalnya, dalam
sistem demokrasi, UU yang dihasilkan adalah UU kufur, tidak peduli
apakah pendukung UU itu mayoritasnya Muslim atau non-Muslim. Bahkan
kalaupun UU yang akan dilegislasikan adalah syariah Islam dari segi
substansi hukumnya, seperti UU Perkawinan, Zakat, atau Wakaf, tetap saja
prosedur legislasinya batil, yaitu tunduk pada suara mayoritas
(Muhammad Syakir Syarif, Al-Musyarakah fi al-Barlaman, hlm. 91).
Ketiga: pengguna kaidah
tersebut lupa terhadap fakta konkret, bahwa banyak bahaya yang menimpa
umat Islam justru ketika anggota parlemen mayoritasnya Muslim. Sebagai
contoh, UU Migas yang disahkan oleh DPR tahun 2001 yang mayoritasnya
Muslim. UU Migas ini telah menjadi dasar Perpres (Peraturan Presiden)
untuk menetapkan kenaikan BBM yang berkali-kali terjadi. Padahal
kenaikan BBM telah terbukti melonjakkan berbagai harga barang dan jasa
dan sudah terbukti menaikkan jumlah orang miskin di Indonesia.
Penyalahgunaan Kaidah Ma La Yudraku Kulluhu La Yutraku Kulluhu
Kaidah ini berarti apa yang tak dapat
diraih semua, jangan ditinggalkan semua. Maksudnya, umat Islam harus
ikut Pemilu walaupun tidak bisa mayoritas (meraih semua kursi), jangan
sampai tidak ikut memilih sama sekali.
Penggunaan kaidah ini juga tak dapat dibenarkan karena dua alasan. Pertama:
kaidah ini tidak sah untuk diterapkan karena tidak memenuhi syarat
penerapannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan nas-nas syariah
dalam al-Quran dan as-Sunnah. Padahal banyak nas-nas syariah yang telah
mengharamkan fungsi legislasi dalam parlemen saat ini.
Kedua: kaidah tersebut hanya
boleh diterapkan pada perbuatan-perbuatan yang halal, tidak boleh
diterapkan untuk perbuatan yang haram, seperti legislasi di parlemen
saat ini. Hal ini dapat diketahui dari dalil hadis yang mendasari kaidah
ini, yaitu sabda Nabi saw., “Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perkara maka lakukan itu sekuat kemampuan kalian.”
(HR al-Bukhari dan Muslim). Dari hadis ini dapat diketahui bahwa tidak
mungkin Nabi saw. memerintahkan kecuali yang halal menurut syariah.
Karena itu, tidak boleh menerapkan
kaidah tersebut untuk perbuatan yang haram. Misalnya, kalau tidak bisa
korupsi 1 miliar, korupsi 500 juta saja. Demikian pula tidak boleh
menerapkan kaidah tersebut untuk menjustifikasi keikutsertaan dalam
Pemilu Legislatif. Pasalnya, Pemilu ini akan mengantarkan para wakil
rakyat untuk melakukan perbuatan yang haram, yaitu melegislasi UU
kufur. WalLahu a’lam. [] hti press/ syabab indonesia
0 komentar:
Posting Komentar