Oleh:Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy
Karut-marut penegakkan hukum di
negeri ini semakin menyadarkan bahwa sistem politik dan hukum sekular
nyata-nyata gagal mewujudkan kemaslahatan. Selama manusia diberi hak
untuk membuat hukum, hukum hanya menjadi alat untuk mewujudkan
“kepentingan kelompok berkuasa”, bukan untuk mewujudkan apa yang
benar-benar maslahat bagi manusia. Hak untuk mengatur manusia dengan
hukum tertentu mestinya diserahkan kepada pihak yang paling mengerti
jatidiri manusia dan apa yang paling baik bagi dirinya. Itulah Allah
SWT. Dialah Zat Yang menciptakan dan mengatur manusia dan alam semesta.
Menyematkan hak ini kepada selain Allah SWT adalah kesalahan mendasar
dalam pengaturan urusan manusia, dan sumber dari semua mafsadah.
Alam semesta teratur karena berjalan di atas hukum-Nya. Begitu pula
manusia, kehidupannya pasti teratur tatkala aturan yang mengatur
kehidupan mereka adalah hukum Allah SWT.
Penegakan Hukum dalam Islam
Islam telah menggariskan sejumlah aturan untuk menjamin keberhasilan penegakkan hukum antara lain:
- Semua produk hukum harus bersumber dari wahyu.
Seluruh konstitusi dan
perundang-undangan yang diberlakukan dalam Khilafah Islamiyah bersumber
dari wahyu. Ini bisa dipahami karena netralitas hukum hanya bisa
diwujudkan tatkala hak penetapan hukum tidak berada di tangan manusia,
tetapi di tangan Zat Yang menciptakan manusia. Menyerahkan hak ini
kepada manusia—seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi-sekular—sama
artinya telah memberangus “netralitas hukum”.
Dalam sistem Islam, sekuat apapun upaya
untuk mengintervensi hukum pasti akan gagal. Pasalnya, hukum Allah SWT
tidak berubah, tidak akan pernah berubah, dan tidak boleh diubah.
Khalifah dan aparat negara hanya bertugas menjalankan hukum, dan tidak
berwenang membuat atau mengubah hukum. Mereka hanya diberi hak untuk
melakukan ijtihad serta menggali hukum syariah dari al-Quran dan Sunnah
Nabi saw.
- Kesetaraan di depan hukum.
Di mata hukum Islam, semua orang
memiliki kedudukan setara; baik ia Muslim, non-Muslim, pria maupun
wanita. Tidak ada diskriminasi, kekebalan hukum, atau hak istimewa.
Siapa saja yang melakukan tindakan kriminal (jarimah) dihukum
sesuai dengan jenis pelanggarannya. Dituturkan dalam riwayat sahih,
bahwa pernah seorang wanita bangsawan dari Makhzum melakukan pencurian.
Para pembesar mereka meminta kepada Usamah bin Zaid agar membujuk
Rasulullah saw. agar memperingan hukuman. Rasulullah saw. murka seraya
bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ
أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا
سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللهِ لَوْ
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Sesungguhnya yang membinasakan
orang-orang sebelum kalian adalah tatkala ada orang yang terhormat
mencuri, mereka biarkan; jika orang lemah yang mencuri, mereka
menegakkan had atas dirinya. Demi Zat Yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya akan
aku potong tangannya (HR al-Bukhari).
Imam al-Bukhari juga menuturkan sebuah
riwayat dari Rafi’ bin Khudaij, yang berkata, “Serombongan orang Anshar
pergi ke Khaibar. Sesampainya di sana, mereka berpisah-pisah. Lalu
mereka mendapati salah satu anggota rombongan terbunuh. Mereka berkata
kepada orang yang mereka jumpai (Orang-orang Yahudi), ’Sungguh kalian
telah membunuh sahabat kami.’ Orang-orang Yahudi Khaibar itu menjawab,
’Kami tidak mengetahuai pembunuhnya.’ Orang-orang Anshar itu pun
menghadap menghadap Nabi saw., seraya berkata, “Ya Rasulullah, kami
telah pergi ke Khaibar, dan kami mendapati salah satu anggota rombongan
kami terbunuh.’ Nabi saw. bersabda, ’Al-Kubra al-kubra (Sungguh
sangat besar).’ Kemudian Nabi saw bersabda kepada mereka agar mereka
menghadirkan dua orang saksi yang menyaksikan orang yang membunuh
anggota rombongannya. Mereka berkata, ’Kami tidak mempunyai bukti.’
Rasulullah saw. bersabda, ’Mereka (orang-orang Yahudi Khaibar) harus
bersumpah.’ Orang-orang Anshar itu berkata, ’Kami tidak ridha dengan
sumpahnya orang Yahudi.’ Rasulullah saw. menolak untuk membatalkan
darahnya. Lalu Rasulullah saw. membayarkan diyat 100 ekor unta sedekah.”
(HR al-Bukhari).
Saat itu Khaibar menjadi bagian Negara
Islam. Penduduknya didominasi orang Yahudi. Ketika orang Yahudi
bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan, Rasulullah saw. pun tidak
menjatuhkan vonis kepada mereka karena ketiadaan bukti dari kaum Muslim.
Bahkan beliau membayarkan diyat atas peristiwa pembunuhan
tersebut. Hadis ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki kedudukan
setara di mata hukum, tanpa memandang perbedaan agama, ras, dan suku.
- Mekanisme pengadilan efektif dan efisien.
Mekanisme pengadilan dalam sistem hukum Islam efektif dan efisien. Ini bisa dilihat dari beberapa hal berikut ini. Pertama:
keputusan hakim di majelis pengadilan bersifat mengikat dan tidak bisa
dianulir oleh keputusan pengadilan manapun. Kaedah ushul fikih
menyatakan:
اَلْاِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِالْاِجْتِهَادِ
Sebuah ijtihad tidak bisa dianulir dengan ijtihad yang lain.
Keputusan hakim hanya bisa dianulir jika
keputusan tersebut menyalahi nas syariah atau bertentangan dengan
fakta. Keputusan hakim adalah hukum syariah yang harus diterima dengan
kerelaan. Oleh karena itu, pengadilan Islam tidak mengenal adanya
keberatan (i’tiradh), naik banding (al-istinaf) dan kasasi (at- tamyiiz).
Dengan begitu penanganan perkara tidak berlarut-larut dan bertele-tele.
Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. pernah memutuskan hukum musyarakah karena tidak adanya saudara sepupu. Lalu ia menetapkan bagian di antara saudara tersebut dengan musyarakah. Khalifah Umar lalu berkata, “Yang itu sesuai dengan keputusanku, sedangkan yang ini juga sesuai dengan keputusanku.”
Beliau menerapkan dua hukum tersebut
sekalipun keduanya bertentangan. Khalifah Umar juga pernah memutuskan
bagian kakek dengan ketentuan yang berbeda-beda, namun dia tidak
mencabut keputusannya yang pertama (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, ed. IV, 1996, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hlm. 1920).
Para Sahabat ra. menetapkan hukum atas
suatu persoalan yang berbeda dengan keputusan Khalifah sebelumnya, namun
mereka tidak menghapus keputusan-keputusan yang lain.
Kedua: Mekanisme pengadilan
dalam majelis pengadilan mudah dan efisien. Jika seorang pendakwa tidak
memiliki cukup bukti atas sangkaannya, maka qadhi akan meminta
terdakwa untuk bersumpah. Jika terdakwa bersumpah, maka ia dibebaskan
dari tuntutan dan dakwaan pendakwa. Namun, jika ia tidak mau bersumpah
maka terdakwa akan dihukum berdasarkan tuntutan dan dakwaan pendakwa.
Sebab, sumpah (qasam) bisa dijadikan sebagai alat bukti untuk menyelesaikan sengketa. Penghapusan sumpah sebagai salah satu alat bukti (bayyinah) dalam sistem hukum sekuler menjadikan proses pengadilan menjadi rumit dan bertele-tele.
Ketiga: Kasus-kasus yang sudah
kadaluwarsa dipetieskan, dan tidak diungkit kembali, kecuali yang
berkaitan dengan hak-hak harta. Pasalnya, kasus lama yang diajukan ke
sidang pengadilan ditengarai bermotifkan balas dendam.
Keempat: Ketentuan persaksian yang memudahkan qadhi memutuskan sengketa di antaranya adalah:
(1) Seorang baru absah bersaksi atas suatu perkara jika ia menyaksikan sendiri, bukan karena pemberitahuan orang lain;
(2) Syariah menetapkan orang tertentu yang tidak boleh bersaksi, yakni, orang yang tidak adil, orang yang dikenai had dalam kasus qadzaf,
laki-laki maupun wanita pengkhianat, kesaksian dari orang yang memiliki
rasa permusuhan, pelayan yang setia pada tuannya, kesaksian anak
terhadap bapaknya, atau kesaksian bapak terhadap anaknya, kesaksian
seorang wanita terhadap suaminya, atau kesaksian suami terhadap
isterinya;
(3) Adanya batas atas nishab kesaksian, yang memudahkan seorang qadhi dalam menangani perkara.
Kelima: dalam kasus ta’zir, seorang qadhi diberi hak memutuskan berdasarkan ijtihadnya.
- Hukum merupakan bagian integral dari keyakinan.
Seorang Muslim wajib hidup sejalan
dengan syariah. Kewajiban ini hanya bisa diwujudkan tatkala ia sadar
syariah. Penegakkan hukum menjadi lebih mudah, karena setiap Muslim,
baik penguasa maupun rakyat, dituntut oleh agamanya untuk memahami
syariah sebagai wujud keimanan dan ketaatannya kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya.
Seorang Muslim menyadari penuh bahwa ia
wajib hidup sejalan dengan syariah. Kesadaran ini mendorong setiap
Muslim untuk memahami hukum syariah. Sebab, hukum syariah menjadi bagian
tak terpisahkan dari keyakinan dan peribadahan mereka kepada Allah SWT.
Penegakan hukum menjadi lebih mudah karena ia menjadi bagian tak
terpisahkan dari keyakinan kaum Muslim. Berbeda dengan sistem hukum
sekular; hukum yang diterapkan berasal dari manusia yang terus berubah,
bahkan acapkali bertentangan dengan keyakinan penduduknya. Penegakkan
hukum sekular justru mendapat penolakan dari warga negaranya, khususnya
kaum Muslim.
- Lembaga Peradilan Tidak Tumpang Tindih.
Qadhi diangkat oleh Khalifah atau struktur yang diberi kewenangan Khalifah. Qadhi secara umum dibagi menjadi tiga; yakni qadhi khushumat, qadhi hisbah dan qadhi mazhalim. Qadhi khushumat bertugas menyelesaikan persengketaan yang menyangkut kasus ’uqubat dan mu’amalah. Qadhi hisbah bertugas menyelesaikan penyimpangan yang merugikan kepentingan umum. Qadhi mazhalim
bertugas menyelesaikan persengketaan rakyat dengan negara, baik
pegawai, pejabat pemerintahan, maupun Khalifah. Lembaga-lembaga tersebut
memiliki kewenangan dan diskripsi tugas yang tidak memungkinkan
terjadinya tumpang tindih.
Mahkamah peradilan bisa dibentuk berdasarkan teritorial; bisa tingkat pusat, wilayah, maupun imarah. Di tiap wilayah atau imarah bisa dibentuk beberapa mahkamah peradilan. Rasulullah saw. pernah mengangkat ‘Ali bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal sebagai qadhi
di Yaman. Jika ada tarik ulur antara penuntut dan pihak tertuntut, yang
dimenangkan adalah pihak penuntut. Jika penuntut meminta diadili di
Yaman, sedangkan tertuntut minta di Mesir, maka permintaan penuntut yang
dimenangkan. Alasannya, penuntut adalah pihak yang menuntut haknya,
sehingga lebih kuat.
Mahkamah peradilan bisa dibentuk berdasarkan kasus yang ditangani. Misalnya, Mahkamah A untuk menangani kasus hudud dan jinayat saja, tidak berwenang menangani kasus ta’zir,
dan lain sebagainya. Nabi saw. mengangkat Hudzaifah al-Yaman, Saad bin
Muadz, Abu Bakar, ‘Umar, Amr bin al-‘Ash dan lain-lain untuk memutuskan
perkara tertentu, untuk masa tertentu. Ketetapan semacam ini juga pernah
terjadi pada masa Kekhilafahan Islam. Abu ‘Abdillah az-Zubair berkata, “Beberapa waktu yang lalu, para pemimpin di Bashrah pernah mengangkat qadhi yang bertugas menyelesaikan permasalahan hukum di Masjid
Jami’. Mereka menamakannya sebagai qadhi masjid. Ia berwenang
menyelesaikan perkara harta yang nilainya dua ratus dirham dan dua puluh
dinar atau lebih sedikit darinya. Ia juga berwenang menentukan besarnya
nafkah yang harus diberikan (seperti nafkah suami kepada istri). Qadhi
ini tidak boleh menjalankan tugasnya di tempat lain, juga tidak boleh
menangani kasus keuangan yang lebih besar dari apa yang telah ditetapkan
tadi, serta kasus lain yang tidak menjadi wewenangnya.” (Imam al-Mawardi, Ahkam as-Sulthaniyah). Ketentuan ini bisa diberlakukan di pusat, wilayah, maupun imarah.
Dengan ketetapan seperti ini, tumpang-tindih kewenangan bisa dianulir.
- Setiap keputusan hukum ditetapkan di majelis peradilan.
Keputusan qadhi bersifat
mengikat jika dijatuhkan di dalam majelis persidangan. Pembuktian baru
diakui jika diajukan di depan majelis persidangan. Atas dasar itu,
keberadaan majelis persidangan merupakan salah satu syarat absahnya
keputusan seorang qadhi. Yang dimaksud qadhi di sini adalah qadhi khushumat.
Adapun qadhi hisbah dan qadhi mazhalim tidak membutuhkan majelis persidangan khusus. Qadhi hisbah dan mazhalim
bisa memutuskan perkara saat berada di tempat, atau tatkala terjadi
tindak pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, atau ketika terjadi
tindak kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Sebab, perkara-perkara
yang ditangani oleh qadhi hisbah dan qadhi mazhalim tidak mensyaratkan adanya pihak penuntut maupun tertuduh. Qadhi hisbah maupun mazhalim bisa menjatuhkan sanksi begitu terbukti ada pelanggaran.
Tidak Saling Menyandera
Sistem politik Islam (Khilafah) menjamin
penegakan hukum berjalan efektif dan efisien. Sebab, semua kebijakan
hukum dan politik yang dikeluarkan Khalifah harus berdasarkan wahyu
sehingga bebas kepentingan.
Selain itu sistem politik Islam tidak
mengenal adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan seperti dalam sistem
pemerintahan demokrasi (trias politika) sehingga menutup celah
adanya konflik kelembagaan. Adapun dalam sistem pemerintahan demokrasi,
pembagian atau pemisahan kekuasaan telah membuka ruang konflik antar
lembaga negara. Lembaga legislatif acapkali menyandera kebijakan
eksekutif, atau sebaliknya. Pasalnya, setiap lembaga memiliki klaim
kewenangan dan kekuasaan atas lembaganya. Akibatnya, elit
kekuasaan—eksekutif, legislatif dan yudikatif—disibukkan dengan konflik
kelembagaan hingga kepentingan rakyat dikorbankan. Bahkan tidak jarang,
masing-masing lembaga melakukan manuver ke bawah. Konflik pun tidak
hanya terjadi di level elit kekuasaan, tetapi menyebar ke ranah
horisontal. Kekacauan sosial akibat konflik vertikal tidak bisa
dielakkan lagi.
Adapun dalam sistem politik Islam,
Khalifah adalah pemegang kewenangan tertinggi dalam mengatur urusan
rakyat. Khalifah atau orang yang dilimpahi mandat oleh Khalifah
berwenang menyelesaikan sengketa rakyat dengan rakyat, rakyat dengan
negara, maupun sengketa antar lembaga negara. Setiap sengketa pasti bisa
diselesaikan dengan mudah karena kepemimpinan Islam bersifat tunggal.
Pengangkatan dan pencopotan pejabat negara juga menjadi kewenangan
Khalifah. Keputusan Khalifah wajib ditaati. Siapa saja yang membangkang
dikenai sanksi berat.
Islam pun mewajibkan kaum Muslim untuk melaksanakan amar makruf nahi mungkar, baik dilaksanakan secara individu, kelompok (partai politik), maupun kelembagaan negara (mahkamah mazhalim).
Kontrol atas penegakan hukum bukan sekadar menjadi isu politik dan
yuridis, namun juga menjadi isu sosial yang mampu memberi “tekanan” kuat
bagi siapa saja yang berusaha merobohkan sendi-sendi hukum.
Penegakan hukum di sistem demokrasi
sekular hanyalah jargon khayali yang tidak mungkin membumi. Sistem ini
mulai pangkal hingga ujungnya bermasalah. Menaruh harapan pada sistem
ini jelas-jelas kesalahan besar.
Akhirnya, hanya dengan kembali pada
syariah Islam dan sistem Khilafah Islamiyah, manusia akan mendapatkan
apa yang selama ini mereka harapkan. Pasalnya, syariah Islam dan
Khilafah Islamiyah adalah ketentuan yang ditetapkan Allah SWT, Zat Yang
Paling Memahami apa yang paling baik bagi manusia.
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [] hti press
() syabab indonesia
0 komentar:
Posting Komentar