![]() |
Ilustrasi: Pemeran Paman Nabi di Sebuah Film |
Betapa tidak! Charlie Hebdo,
sebuah majalah satir di Prancis, secara berulang memuat karikatur Nabi
Muhammad saw. dalam bentuk yang sangat merendahkan dan menistakan
beliau. Wajar jika sekelompok orang yang tak terima kemudian
melampiaskan kemarahannya dengan melakukan aksi pembunuhan terhadap
sejumlah orang yang dianggap bertanggung jawab atas pemuatan kartun
tersebut. Kasus pembunuhan itu kemudian sepontan menimbulkan reaksi
internasional yang berlebihan, khususnya dari para pemimpin Barat.
Namun demikian, tulisan ini tak hendak membahas lebih jauh seputar kontroversi kasus Charlie Hebdo di atas. Tulisan ini hanya ingin mengajak setiap Muslim merenungkan dua pertanyaan saja: Pertama, jujurkah kita mencintai Baginda Rasulullah saw.? Kedua, tuluskah kita mengekspresikan kesedihan sekaligus kemarahan saat Baginda Rasulullah saw. dihinadinakan dan dinistakan?
*****
Terkait dua pertanyaan di atas, saya ingin mengutip sebuah riwayat dalam Shahih al-Bukhari.
Disebutkan, suatu hari, Senin, Tsuwaibah datang kepada tuannya, Abu
Lahab, seraya menyampaikan kabar tentang kelahiran bayi mungil bernama
Muhammad, keponakan barunya. Mendengar itu Abu Lahab pun bersukacita. Ia
kegirangan seraya meneriakkan kata-kata pujian sepanjang jalan.
Sebagai
bentuk luapan kegembiraan, ia segera mengundang para tetangga dan
kerabat dekatnya untuk merayakan kelahiran keponakan tercintanya ini:
bayi laki-laki yang mungil, lucu dan sempurna. Sebagai penanda
sukacitanya, ia pun berkata kepada budaknya, Tsuwaibah, di hadapan
khalayak ramai yang mendatangi undangan perayaan kelahiran keponakannya,
“Tsuwaibah, sebagai tanda syukurku atas kelahiran keponakanku
(Muhammad), anak dari saudara laki-lakiku, Abdullah, maka kamu menjadi
manusia merdeka mulai hari ini!”
Sayang,
siapapun tahu, kelak Abu Lahab justru tampil menjadi salah satu musuh
utama Nabi Muhammad saw. Ia mengingkari risalah kenabian beliau
sekaligus menentang al-Quran yang beliau bawa. Karena itu sosoknya lalu
dikecam dalam satu surat tersendiri dalam al-Quran, yakni surat Al-Masad.
Namun
demikian, karena ekspresi kegembiraannya menyambut kelahiran Muhammad,
Abu Lahab mendapatkan keringanan siksaan, yakni pada setiap hari Senin.
As-Suyuthi berkata dalam Al-Hawy (I/196-197), “Saya melihat Imamul Qurra`, Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzi, berkata dalam kitab beliau yang berjudul, Urf at-Ta’rif bi al-Mawlid asy-Syarif,
dengan teks sebagai berikut: Telah diperlihatkan Abu Lahab setelah
meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepada dia, “Bagaimana
keadaanmu?” Dia menjawab, “(Aku) di dalam neraka. Hanya saja,
diringankan atas diriku siksaan setiap malam Senin. Hal ini karena aku
memerdekakan Tsuwaibah ketika dia menyampaikan kabar gembira kepadaku
tentang kelahiran Muhammad dan karena dia telah menyusuinya.”
As-Suyuthi
berkata, “Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang telah dicela oleh
al-Quran, diringankan siksaannya dengan sebab kegembiraannya karena
kelahiran Nabi Muhammad saw., maka bagaimana lagi keadaan seorang Muslim
dari kalangan umat beliau yang bertauhid, yang gembira dengan kelahiran
beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau?!
Saya bersumpah, tidak ada balasan dari Allah Yang Maha Pemurah kecuali
Dia akan memasukkannya ke dalam surga.”
Riwayat tentang Abu Lahab ini pun dicantumkan di dalam kitab Al-Barjanji yang terkenal, juga dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam risalahnya, Hawla al-Ihtifal bi al-Mawlid
(hlm. 8). Riwayat ini kemudian dijadikan dalil oleh sebagian ulama
tentang keabsahan merayakan Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.
*****
Tentu
menarik jika riwayat ini dikaitkan dengan realitas umat Islam hari ini.
Banyak dari umat ini yang begitu antusias dengan Perayaan Kelahiran
Nabi Muhammad saw. Namun, saat yang sama, sebagian dari mereka sering
tak berbeda sikapnya dengan Abu Lahab: mengabaikan al-Quran yang dibawa
oleh Nabi saw., mencampakkan syariahnya dan menolak hukum-hukumnya
dengan berbagai alasan. Padahal bukankah demi al-Quran, syariah dan
hukum-hukumnya, Nabi Muhammad saw. dilahirkan dan diutus? Jika demikian,
sekali lagi kita layak bertanya kepada diri sendiri: Jujurkah kita
mencintai Baginda Rasulullah saw.?
Di
sisi lain, kita berduka sekaligus murka saat Baginda Rasulullah saw.
dihinadinakan dan dinistakan. Namun, apakah kita juga berduka dan murka
saat al-Quran sekian lama dicampakkan; saat syariahnya sekian lama tak
dipedulikan; dan saat hukum-hukumnya sekian lama tak diterapkan? Padahal
bukankah demi al-Quran, syariah dan hukum-hukumnya, Nabi Muhammad saw.
rela mengorbankan harta, keluarga, bahkan jiwanya? Jika demikian, kita
pun layak bertanya kepada diri sendiri: Tuluskah ekspresi kesedihan dan
kemarahan kita saat Rasulullah saw. dihinadinakan dan dinistakan?
Faktanya, kita pun telah mengecewakan beliau. Bahkan kita telah
benar-benar menyakiti perasaan beliau hingga beliau menangis dan mengadu
kepada Allah SWT: “Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran ini sebagai perkara yang diabaikan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).
‘Ala kulli hal,
semoga kita tak menjadi bagian dari ‘Generasi Abu Lahab’, yang hanya
bersukacita atas kelahiran Nabi Muhammad saw., tetapi saat yang sama
mengabaikan al-Quran, menolak syariahnya dan enggan diatur dengan
hukum-hukumnya dalam naungan Khilafah ar-Rasyidah yang telah beliau wariskan kepada kita, umatnya.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]
() hti press/syabab indonesia
0 komentar:
Posting Komentar