Koalisi Parpol Islam dan Parpol Sekuler dalam Pandangan Islam
Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi
Pendahuluan
Pemilu legislatif telah digelar 9 April 2009 lalu dan hasilnya sudah diketahui, walau hanya berdasarkan quick count
atau hasil rekapitulasi sementara KPU. Hasil pemilu ini lalu dijadikan
dasar untuk membentuk koalisi antar parpol menuju Pemilu Presiden, baik
koalisi sesama parpol sekuler maupun antara parpol sekuler dengan parpol
Islam.
Koalisi
sesama parpol sekuler mungkin bukan hal aneh. Tapi menjadi tidak wajar
jika ada parpol Islam berkoalisi dengan partai sekuler. Misalnya saja,
koalisi PKS dengan Partai Demokrat, yang telah diresmikan Ahad lalu
(26/04/09) (Koran Tempo, 27/04/09). Sebelumnya, Prof. Dr.
Iberamsjah, Guru Besar Ilmu Politik UI, telah mengkritik tajam rencana
koalisi PKS-Demokrat yang disebutnya aneh ini. Iberamsjah mempertanyakan
dengan kritis,”PKS mewakili aspirasi umat Islam yang fanatik mendukung
perjuangan rakyat Palestina dan sangat anti Zionis. Tiba-tiba berpelukan
dengan Partai Demokrat yang sangat pro Amerika yang melindungi Zionis
Yahudi. Bagaimana bisa?” (Sabili, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009, hal. 28).
Maka
dari itu, sangat relevan umat Islam memahami dengan baik norma-norma
ajaran Islam terkait dengan koalisi parpol seperti ini. Tulisan ini
bertujuan untuk menjelaskan hukum syara’ tentang koalisi antar parpol
Islam dengan parpol sekuler.
Pengertian dan Fakta Koalisi
Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121).
Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka
koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau
beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat
diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk
mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).
Dalam bahasa Arab, koalisi politik disebut dengan istilah at-tahaaluf as-siyasi. At-tahaluf, berasal dari kata hilfun yang berarti perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aqadah). Literatur yang sering ditunjuk untuk membahas tema koalisi politik dalam Islam antara lain kitab berjudul At-Tahaaluf As-Siyasi fi Al-Islam, karya Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban (ulama Ikhwanul Muslimin).
Adapun
koalisi yang dimaksud dalam tulisan ini, dibatasi pada koalisi antar
parpol Islam dan parpol sekuler. Dengan mengamati realitas politik
praktis, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler dapat didefinisikan
secara umum sebagai penggabungan atau kerjasama parpol Islam dan parpol sekuler untuk mempengaruhi proses-proses politik,
seperti misalnya : (1) menentukan calon presiden dan calon wakil
presiden, (2) menentukan menteri-menteri di kabinet, (3) menentukan
strategi untuk menyusun parlemen yang mendukung pemerintah, (4)
menentukan platform dan arah kebijakan, dan lain-lain.
Koalisi
parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia sudah lama terjadi. Fakta
ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada
koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (partai sekuler)
dan PPP (partai Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4.
Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi.
Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai
parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet
Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen
Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi
Masyumi – PSI, tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan dan tahun 1952-1953
(Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi – PNI. (Alfian, 1981;
Ricklefs, 2005; Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).
Pada
masa kini, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga sering terjadi,
seperti dalam berbagai Pilkada. Di Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan
tahun 2007, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar (Jurdi, 2009). Bahkan di
Papua, PKS berkoalisi dengan PDS (partai Kristen).
Koalisi
pragmatis model PKS itu mengingatkan orang pada koalisi Ikhwanul
Muslimin dengan beberapa partai sekuler di Mesir. Ikhwanul Muslimin di
Mesir pernah berkoalisi dengan Partai Wafd, yang merupakan gabungan
partai komunis dan partai sekuler di Mesir. Ikhwan juga pernah
berkoalisi dengan Partai Asy-Sya’ab, yaitu partai buruh dalam pemilu
anggota legislatif. Gerakan Islam Syiria juga pernah berkoalisi dengan
unsur kekuatan nasionalis Syiria untuk beroposisi dengan penguasa dan
dalam rangka berupaya menggantikannya. Gerakan
dakwah Yaman juga pernah berkoalisi dengan partai berkuasa dan kemudian
membentuk lembaga kepresidenan untuk menjalankan pemerintahan. Gerakan
dakwah Islam di Sudan juga pernah berkoalisi dengan tentara untuk
menjalankan urusan kenegaraan. (Anonim, 2004).
Inilah sekilas pengertian dan fakta koalisi parpol Islam dan parpol sekuler.
Hukum Koalisi Parpol Islam & Parpol Sekuler
Dengan meneliti fakta (manath)
koalisi partai Islam dan partai sekuler yang ada, dapat diketahui bahwa
tujuan utama koalisi tersebut secara garis besar ada 3 (tiga); Pertama, untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Kedua, untuk menentukan menteri-menteri dalam kabinet. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik dalam parlemen.
Faktanya,
dalam menjalankan sistem pemerintahan sekuler sekarang (republik),
semua lembaga politik seperti presiden, menteri, dan parlemen, tidak
menggunakan Syariah Islam sebagai hukum positif (yang berlaku),
melainkan menggunakan hukum-hukum buatan manusia (hukum kufur/thaghut/jahiliyah).
Presiden
dan para menteri, misalnya, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif bukanlah menjalankan Syariah Islam, melainkan menjalankan UU
buatan manusia (produk lembaga legislatif). Parlemen, tugas utamanya
sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah melakukan legislasi UU yang
tidak merujuk kepada wahyu sebagai sumber hukumnya, melainkan
menjadikan manusia sebagai sumber hukumnya. Kalau ada legislasi atau
penerapan Syariah, hanyalah sedikit atau parsial saja, dan merupakan perkecualian.
Padahal,
Islam di satu sisi telah mewajibkan umatnya untuk menerapkan Syariah
Islam, secara menyeluruh/kaffah dan bukan secara parsial. (Lihat QS
An-Nisaa : 58; QS Al-Maaidah : 48-49; QS Al-Baqarah : 208; QS Al-Baqarah
: 85).
Di sisi lain Islam telah mengharamkan umatnya untuk menerapkan hukum kufur, yaitu hukum selain Syariah Islam. (Lihat QS Al-Maaidah : 44, 45, 47; QS Al-Maaidah : 50; QS An-Nisaa` : 60; QS An-Nisaa` : 65). Firman Allah SWT :
Maka
dari itu, mempertimbangkan tujuan-tujuan koalisi yang telah disebutkan
di atas, dan pertentangannya yang nyata dengan syara’, maka koalisi
parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram secara syar’i.
Dalil-dalil keharamannya adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan qaidah syar’iyah. Rinciannya sebagai berikut :
Pertama, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler merupakan tolong menolong dalam perkara yang haram,
yaitu tolong menolong yang mengarah kepada penerapan hukum-hukum kufur
(bukan Syariah Islam), baik dalam kekuasaan eksekutif (presiden dan
menteri) maupun legislatif (parlemen). Tolong menolong semacam ini telah
dilarang oleh Allah SWT dengan firman-Nya :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maaidah [5] : 2)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas :
يأمر
تعالى عباده المؤمنين بالمعاونة على فعل الخيرات، وهو البر، وترك المنكرات
وهو التقوى، وينهاهم عن التناصر على الباطل. والتعاون على المآثم
والمحارم…
“Allah
SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tolong
menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (al-taqwa). Allah SWT juga melarang mereka untuk tolong menolong dalam kebatilan (al-bathil), dalam dosa (al-ma-atsim), dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-maharim).” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/12-13).
Berdasarkan keumuman ayat di atas, yaitu adanya larangan untuk tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim),
maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler adalah haram, karena
koalisi ini mengarah pada penerapan hukum kufur yang jelas-jelas haram.
Kedua, koalisi
parpol Islam dengan parpol sekuler akan menimbulkan kecenderungan
(sikap rela/setuju) dari aktivis parpol Islam kepada aktivis parpol
sekuler yang zalim. Padahal sikap cenderung ini dilarang oleh Allah SWT :
وَلا
تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ
مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ
“Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan
kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang
penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi
pertolongan.” (QS Huud [11] : 113)
Kalimat “janganlah kamu cenderung” (wa laa tarkanuu), ada beberapa penafsiran. Kata Qatadah, bahwa maksudnya adalah janganlah kamu mencintai (laa tawadduuhum) dan janganlah kamu mentaati mereka (laa tuthii’uuhum). Kata Ibnu Juraij, maksudnya janganlah kamu condong kepada mereka (laa tumiilu ilaihim). Kata Abul ‘Aliyah, maksudnya janganlah kamu rela dengan perbuatan mereka (laa tardhou a’maalahum). Mengomentari beberapa penafsiran ini, Imam Qurthubi menyimpulkan,”Semua penafsiran ini hampir sama maknanya.” (Kulluha mutaqaaribah). (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).
Imam Al-Qurthubi selanjutnya menerangkan :
وأنها دالة على هجران أهل الكفر والمعاصي من أهل البدع وغيرهم، فإن صحبتهم كفر أو معصية، إذ الصحبة لا تكون إلا عن مودة…
“Ayat
ini menunjukkan [keharusan] menjauhi orang kafir atau para pelaku
maksiat dari kalangan ahlul bid’ah dan yang lainnya, karena bersahabat
dengan mereka adalah suatu kekufuran atau kemaksiatan, mengingat
persahabatan tak mungkin ada kecuali karena kecintaan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).
Berdasarkan
penafsiran ini, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler haram
hukumnya. Sebab para aktivis parpol sekuler hakikatnya adalah
orang-orang zalim atau para pelaku maksiat (ahlul ma’ashi),
karena tidak menjadikan ajaran Islam sebagai asas dan pedoman dalam
berparpol. Orang-orang sekuler ini mestinya dijauhi, bukan didekati atau
malah diajak koalisi. Karena itu, berkoalisi dengan mereka, berarti
melanggar perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu perintah untuk
menjauhi para pelaku maksiat dengan cara tidak berkawan atau bersahabat
dengan mereka.
Ketiga, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokasi-sekuler sekarang.
Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar bersegera –bukan
berlambat-lambat– dalam meninggalkan kebatilan dan melaksanakan
ketaatan. Allah SWT berfirman :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 133).
Kata saari’uu (bersegaralah) artinya baadiruu (bercepat-cepatlah) atau saabiquu (berlomba-lombalah). (Tafsir Al-Baghawi, 2/103). Maka koalisi antar parpol
Islam dengan parpol sekuler haram karena bertentangan dengan perintah
Allah ini, sebab koalisi seperti itu justru akan memperlama eksistensi
sistem sekuler dan menunda semakin lama penerapan Syaraiah Islam yang
menyeluruh.
Keempat, koalisi
parpol Islam dengan parpol sekuler akan mengantarkan orang-orang mereka
dalam jabatan-jabatan pemerintahan dalam sistem sekuler. Padahal
telah ada hadis sahih yang melarang menduduki jabatan-jabatan
pemerintahan (penguasa) dalam sebuah pemerintahan yang menyalahi
Syariah, seperti sistem demokrasi-sekuler sekarang. Sabda Nabi SAW :
ليأتين على الناس زمان يكون عليكم أمراء سفهاء يقدمون
شرار الناس ، ويظهرون بخيارهم ، ويؤخرون الصلاة عن مواقيتها ، فمن أدرك
ذلك منكم ، فلا يكونن عريفا ولا شرطيا ولا جابيا ولا خازنا
“Sungguh
akan datang pada manusia suatu zaman, dimana yang ada atas kalian
adalah pemimpi-pemimpin yang bodoh (umara sufaha) yang mengutamakan
manusia-manusia yang jahat dan mengalahkan orang-orang yang baik di
antara mereka, dan mereka suka menunda-nunda sholat keluar dari
waktu-waktunya. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati
pemimpin-pemimpin seperti itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pejabat
(‘ariif), atau menjadi polisi, atau menjadi pemungut [harta], atau
menjadi penyimpan [harta].” (Musnad Abu Ya’la, 3/121; Ibnu Hibban no 4669; Kata Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah hadis no 360,”Hadis ini isnadnya sahih dan para perawinya tsiqat.”).
Terdapat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas, misalnya sabda Nabi SAW :
يَكُونُ
فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ،
وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ
ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا
شُرْطِيًّا
“Akan
ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik,
para hakim yang khianat, dan para fuqaha yang pendusta. Maka
barangsiapa di antara kamu yang mendapati zaman itu, janganlah
sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, atau menjadi pejabat
mereka, atau menjadi polisi mereka.” (HR Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadis no 156, 19/67).
Muhammad Syakir Al-Syarif menjelaskan pengertian kata “ariif” dan “jaabi” dalam hadis di atas sebagai berikut :
العريف : القيم الذي يتولى مسئولية جماعة من الناس…والجابي : الذي يتولى جباية الإموال من الناس كالمكوس ونحوها
“Yang
dimaksud “ariif” adalah orang yang memegang tanggung jawab masyarakat
umum [pejabat pemerintahan], sedang “jaabi” adalah orang yang bertugas
memungut harta masyarakat seperti bea cukai dan yang semisalnya [petugas
pajak].” (Muhammad Syakir Al-Syarif, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah, hlm. 181).
Berdasarkan
hadis di atas, jelas koalisi parpol Islam dan parpol sekuler haram
hukumnya. Karena koalisi ini di antaranya tujuannya adalah menempatkan
kader-kader mereka untuk menjadi para pejabat publik, seperti presiden
dan menteri, dalam sistem sekarang yang tidak menjalankan Syariah Islam.
Posisi jabatan publik dalam sistem kufur seperti ini dilarang berdasarkan hadis di atas.
Kelima, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :
لا حِلْفَ فِي الإِسْلام
“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).
Kata “hilfun” dalam bahasa Arab arti asalnya adalah perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq) untuk saling memperkuat (at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud). (Catatan kaki dalam Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Al-Hakim, 6/497).
Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan berkata :
فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ
“Yang
dimaksud dengan “hilfun” yang dilarang dalam hadis di atas adalah
perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi
orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW] dan
perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syara’.” (Imam Nawawi,
Syarah Muslim, 3/302).
Maka
dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler adalah haram,
karena koalisi ini hakikatnya merupakan perjanjian yang dilarang oleh
syara’, karena bertujuan untuk menempatkan para kader mereka sebagai
presiden dan/atau menteri (yang akan menjalankan hukum-hukum kufur).
Keenam, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian batil karena mengandung syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’. Nabi SAW telah bersabda :
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).
Ibnu Hajar Al-’Asqalani dalam Fathul Bari berkata :
أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ
“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).
Jadi,
hadis di atas melarang setiap syarat yang bertentangan dengan syara’.
Padahal suatu perjanjian termasuk koalisi antar parpol tidak akan
terlepas dari syarat-syarat yang diajukan kedua belah pihak. Misalnya
siapa yang akan menjadi calon presiden, siapa yang akan menduduki
kementerian tertentu, dan sebagainya. Padahal syarat-syarat koalisi ini
terkait dengan kekuasaan dalam sistem sekuler yang tidak menjalankan
hukum Syariah Islam.
Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler hukumnya haram, karena koalisi ini merupakan suatu perjanjian
dengan syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’, yaitu memperoleh
kedudukan dalam kekuasaan yang tidak menjalankan Syariah Islam.
Ketujuh, koalisi
parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan perantaraan (wasilah)
kepada sesuatu yang haram, yaitu duduknya para kader mereka sebagai
pejabat publik (seperti presiden dan menteri) dalam sistem
demokrasi-sekuler, yang akan menjalankan hukum-hukum kufur. Kaidah syara’ dalam masalah ini menetapkan :
الْوَسِيلَةُ إلى الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ
“Segala perantaraan yang akan membawa kepada yang haram, hukumnya haram.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 3/46)
Berdasarkan
ketujuh dalil yang telah diuraikan di atas, maka hukum koalisi parpol
Islam dan parpol sekuler hukumnya adalah haram secara syar’i.
Kesimpulan
Berdasarkan
seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koalisi antara parpol
Islam dan parpol sekuler hukumnya haram. Karena koalisi seperti ini
mengarah pada legislasi dan/atau penerapan hukum kufur, baik oleh
eksekutif (Presiden dan para menteri) maupun oleh legislatif (parlemen).
Wallahu a’lam. [ ] hti press/ syabab indonesia
**Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, 1981, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).
Al-Ja’bah, Abdul Hamid, Al-Ahzab fi Al-Islam,
Al-Mahmud, Ahmad, 1995, Ad-Da’wah ila Al-Islam, (Beirut : Darul Ummah)
Al-Qaradhawi, Yusuf, 2000, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al-Qur`an dan Sunnah (Min Fiqh Al-Daulah fi Al-Islam), Penerjemah Kathur Suhardi, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar)
Al-Syarif, Muhammad Syakir, 1411 H, Haqiqah Al-Dimuqrathiyyah, (Tanpa tempat penerbit : tanpa penerbit)
———-, 1428 H, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah : ‘Ardh wa Naqd, (Riyadh : tanpa penerbit).
Anonim, 2004, Era Koalisi, mhttp://nurdpcpkssapeken.blogspot.com/2009/01/era-koalisi.html
Echols, John M. & Hassan Shadily, 1983, Cetakan XII, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia).
Hilal, Iyad, 2002, Perjanjian-Perjanjian Internasional dalam Pandangan Islam (Al-Mu’ahadat al-Dauliyah fi al-Syariah al-Islamiyah), Penerjemah Mahbubah, (Bogor : Pustaka Thariqul Izzah).
Jurdi, Fajlurahman, 2009, Aib Politik Islam : Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan, (Yogyakarta : Antonylib).
Kiswanto, Heri, 2008, Gagalnya Peran Politik Kyai Dalam Mengatasi Krisis Multi Dimensional, (Yogyakarta : Nawesea Press).
Mashad, Dhurorudin, 2008, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar).
Mufti, Muhammad Ahmad, 2002, Naqdh Al-Judzur Al-Fikriyah li Al-Dimuqrathiyah Al-Gharbiyah, (Tanpa tempat penerbit : Maktabah Al-Malik Fahad).
Murdiati, Dini, 1999, Faktor Determinan Koalisi Partai Politik, http://kampusciamis.com/content/view/71/1/
Poerwadarminta, W.J.S., 1982, Kamus Umum Bahasa Indinesia, (Jakarta : PN Balai Pustaka).
Ricklefs, M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004 (A History of Modern Indonesia Sinve 1200), (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta).
Sabili, “KPU Makin Tidak Cerdas”, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009
Thabib, Hamd Fahmi, Al-Mu’ahadat fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, (t.p : Baitul Maqdis), 2002
Zallum, Abdul Qadim, 1990, Al-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, (Tanpa tempat penerbit : Hizbut Tahrir).
0 komentar:
Posting Komentar