Khilafah, Teokrasi, dan
Teo-Demokrasi
Oleh: Yan S. Prasetiadi*
Masalah kepemimpinan politik dan sistem ketatanegaraan
dalam Islam sebenarnya secara konseptual tidak pernah mengalami perdebatan
hebat seperti masa kini, kecuali semenjak Ali Abdur Raziq muncul dan
melontarkan pendapat nyelenehnya tentang Khilafah Islamiyah, dimana pendapatnya
tentang sekularisasi agama yakni pemisahan antara agama dan negara dikutip
mentah-mentah oleh sebagian kaum muslim.
Para ulama sebelum Khilafah runtuh pada
tahun 1924 M, senantiasa menyatakan secara konsisten bahwa sistem pemerintahan
Islam adalah Khilafah. Memang ada yang menyebut dengan Khilafah ada pula dengan
kata-kata sinonim yang semakna dengan Khilafah, seperti Imamah, atau Imamah
al-Uzhma’ dan lain sebagainya. Demikian pula tentang wajibnya umat Islam
mempergunakan sistem pemerintahan Islam tersebut. (lihat: Dr. Sulaiman ad-Dumaiji, al-Imâmah al-‘Uzhmâ’ ‘inda Ahl
as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, Riyadh – Dar at-Thayyibah, 1408 H, hal. 27-35).
Ulama besar sekaliber al-Mawardi
(w. 1058 M) berpendapat bahwa, mengangkat Imamah (khilafah) di tengah-tengah
Umat adalah wajib berdasarkan ijma sahabat. (Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah,
hal. 5).
Demikian pula, Ibnu Khaldun
(w. 1406 M) menyatakan bahwa, mengangkat
seorang Imam (khalifah) adalah wajib, kewajibannya dalam syariat diketahui
berdasarkan ijma' shahabat dan tabi'in. Beliau beralasan, tatkala Rasulullah
saw wafat, para shahabat segera membai'at Abu Bakar ra dan menyerahkan
pertimbangan berbagai macam urusan mereka kepadanya, demikian pula yang
dilakukan kaum Muslim pada setiap masa. Lalu beliau simpulkan, kenyataan
semacam ini merupakan ijma' yang menunjukkan adanya kewajiban mengangkat
seorang Imam (khalifah). (Muqaddimah Ibn Khaldun, hal. 191).
Tak ketinggalan dari kalangan
mazhab syafi’i ada imam an-Nawawi (w. 1278 M) mengutarakan para sahabat berkonsensus
bahwa kaum muslim wajib mengangkat Khalifah. (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim,
12/205). Pernyataan an-Nawawi tersebut di-amini bahkan oleh para ulama pakar
hadits dan syarah, semisal Ibnu Hajar (Fath al-Bâri, Syarh Shahih
Bukhari, 13/208), Badrudin al-Aini (Umdah al-Qâri, Sarh Shahih Bukhari,
24/279), Imam Abadi penulis kitab ‘Aun
al-Ma’bûd Syarh Sunan Abu Dawud (8/112), termasuk imam al-Mubarakfuri penulis
kitab Tuhfah al-Ahwâdz Syarh Jami’ at-Tirmidzi (6/397).
Definisi
Khilafah
Karena
itu tidak benar jika ada opini bahwa Khilafah tidak wajib dan bahwa Islam tidak
punya konsep yang jelas tentang sistem pemerintahan, buktinya, dari berbagai
pendapat ulama dan pengkajian secara serius berbagai dalil yang berkaitan
dengan masalah kepemimpinan dan ketatanegaraan dalam Islam, Dr. Abdul Majid al-Khalidi, akhirnya mampu mendefinisikan
Khilafah, yang bermakna: Kepemimpinan umum
bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam
dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. (Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm: hal. 229-230). Dari definisi Khilafah ini,
dapat dipahami tiga poin penting:
Pertama, bahwa Khilafah itu adalah
suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya
di dunia. Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus, seperti
kepemimpinan seorang gubernur di suatu propinsi. Dapat dipahami juga Khilafah adalah
institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah bersifat
umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas
negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang
ini.
Kedua, fungsi pertama Khilafah
adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik
(pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan
sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri negara Khilafah.
Ketiga, fungsi kedua Khilafah adalah
mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode untuk mengemban
dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi sabilillah
ke negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah yang
menjadi dasar politik luar negeri negara Khilafah. Jihad disini dilakukan jika
dakwah secara hikmah dihalangi dengan kekuatan senjata oleh rezim yang berkuasa
di negeri tersebut.
Maka dari itu dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud
paling tidak 3 (tiga) hal sebagai berikut: (1) persatuan
umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan Islam (QS. Ali ‘Imrân [3]: 103); (2) penerapan syariah Islam secara
menyeluruh, yang telah diwajibkan Islam (QS. Al-Baqarah: 208); (3) penyebarluasan
Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi
karakter agama Islam (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107).
Teokrasi Bukan Khilafah
Istilah teokrasi asalnya dikaitkan dengan
pemerintahan atau negara yang diperintah Tuhan, baik secara langsung maupun
melalui kelas kependetaan. Dalam teokrasi Barat ini, kedaulatan Tuhan
mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah
Tuhan. Lalu Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya kepada Raja atau Paus. Karena
mewakili Tuhan, maka segala perilaku Raja atau Paus selalu terjaga dari
kesalahan atau suci. Konsep ini memang serupa dengan konsep Imamah Syiah.
Pemerintahan teokrasi (yang menjalankan
teori kedaulatan Tuhan) merupakan negara yang dipimpin gerejawan atau raja yang
menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Sehingga,
“apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka
haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit.” Dari uraian ini, teori
kedaulatan Tuhan sungguh tidak dapat dilepaskan dari konsep teokrasi
yang bertentangan dengan Islam. Setidaknya ada tiga poin krusial yang
menunjukkan kontradiksi teori kedaulatan Tuhan (teokrasi) dengan Islam:
Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa adalah wakil
Tuhan di muka bumi, sedangkan dalam Islam, seorang kepala negara (khalifah)
adalah wakil umat dalam urusan kekuasaan dan penerapan syariat Islam. (Abdul
Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, 2002: 49).
Kedua, dalam teori kedaulatan
Tuhan, penguasa bersifat ma‘shûm (suci), sedangkan dalam Islam, seorang
kepala negara bukan orang ma‘shûm; bisa saja dia berbuat dosa dan
kesalahan. Karena itulah, amar makruf nahi munkar disyariatkan. (Abdul Qadim
Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, 2002: 122).
Ketiga, dalam teori kedaulatan
Tuhan, penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal dari
dirinya sendiri tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu Tuhan,
sedangkan dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syariat berdasarkan
ijtihad yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya. (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, 2002:
105-108).
Bagaimana Dengan Teo-demokrasi?
Secara esensial, konsep Teo-demokrasi
bermakna bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi kekuasaan itu
dibatasi norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, teo-demokrasi
adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan.
Seolah-olah manusia boleh membuat hukum, namun hukum itu dibatasi Tuhan
(manusia 50 % dan Tuhan 50 %). Konsep ini pun memiliki kekeliruan dari dua
aspek:
Pertama, aspek
istilah, teo-demokrasi adalah campuran dari teokrasi dan demokrasi. Teokrasi
berdasarkan penjelasan sebelumnya tidak sesuai dengan konsep sistem
pemerintahan Islam, begitupun dengan demokrasi, karena demokrasi secara hakiki adalah
meletakan kedaulatan (otoritas membuat hukum) ditangan manusia dan ini pula yang
menjadi ciri dominan demokrasi, sedang Islam kedaulatan ada di tangan syariah.
Jadi kedua konsep tersebut bertentangan dengan Islam, maka penggabungan kedua
istilah inipun tidak bermakna sama sekali.
Kedua, teo-demokrasi tidak jelas membedakan antara
kedaulatan dan kekuasaan, padahal dalam Islam, kedaulatan (as-siyâdah)
atau kewenangan membuat hukum (legislasi) ada di tangan syariat. Sedangkan
kekuasaan (as-sulthân) yang berwenang menerapkan hukum itu di tangan
rakyat. Artinya Rakyat tidak berhak membuat hukum, sebab yang menjadi pembuat
hukum (al-musyarri’) hanyalah Allah swt. (QS. Al-An‘am [6]: 57). Adapun
kekuasaan (as-sulthân) ada di tangan umat (as-sulthân li al-ummah),
sebab umatlah yang berhak membaiat siapa saja yang dikehendakinya untuk menjadi
khalifah. Dengan pembedaan tegas antara konsep kedaulatan dan kekuasaan ini,
kerancuan berpikir tidak akan terjadi. Ini tentu berbeda dengan teo-demokrasi
yang menggabungkan konsep kedaulatan dan kekuasaan jadi satu sehingga
berpeluang merancukan dan menggelincirkan pemahaman. (M. Shiddiq al-Jawi, Mengkritisi
Konsep Teo-demokrasi, 2011).
Kesimpulan
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Khilafah
bukan Teokrasi dan juga bukan Teo-demokrasi, Khilafah adalah sistem
pemerintahan yang spesifik, berbeda dengan sistem pemerintahan yang ada di
dunia ini. Karena itu penulis sepakat dengan rumusan An-Nabhani, bahwa sistem
pemerintahan Islam ditegakkan diatas empat kaidah: (1) Kedaulatan adalah milik
syara’ bukan milik rakyat; (2) Kekuasaan berada di tangan umat; (3)
Pengangkatan seorang Khalifah adalah fardhu atas seluruh kaum Muslim; (4)
Khalifah mempunyai hak untuk mengadopsi hukum-hukum syara’ dan menyusun
undang-undang dasar dan perundang-undangan. (Muqaddimah ad-Dustur, 2009:
I/109-113). Hilang saja salah satunya maka seketika itu juga sistem
pemerintahan menjadi bukan sistem pemerintahan Islam.
Karena itu mengkaji dan memahami Khilafah harus
melalui pendekatan normatif dan objektif, dan sangat keliru jika mau memahami
Khilafah tapi dalam benak pengkaji sudah ada justifikasi terlebih dahulu dengan
cara mencari cari kemiripan-kemiripan dengan sistem yang ada pada Teokrasi dan
Teo-demokrasi. Wallahu a’lam.
*) Dosen Studi Islam STAI
Darul Ulum Purwakarta, Aktivis HTI
0 komentar:
Posting Komentar