![]() |
Jubir HTI, Ismail Yusanto saat Muktamar Khilafah 2013 di GBK |
Wawasan Kebangsaan HTI
Oleh: M. Ismail Yusanto
Pada awal bulan Maret lalu saya diundang oleh Wantimpres untuk sebuah diskusi terbatas tentang Peran Ormas Islam Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan
Diskusi diikuti oleh Kelompok Kerja Bidang Keagamaan Wantimpres di
Kantor Wantimpres Jakarta. Dalam kesempatan itu saya menyampaikan
presentasi powerpoint berjudul, “Wawasan Kebangsaan Hizbut Tahrir Indonesia”.
Saya mengawali presentasi dengan
pertanyaaan “Apa Makna Wawasan Kebangsaan?” Pertanyaan awal ini saya
anggap penting karena tanggapan terhadap sebuah istilah akan sangat
bergantung pada apa pengertian dari istilah itu. Dalam situasi seperti
sekarang ini, saat sering sebuah istilah dimaknai secara berbeda-beda,
memberikan batasan pengertian dari sebuah istilah mutlak diperlukan.
Sebelum jelas apa pengertian wawasan kebangsaan itu, kita tidak
bisa mengatakan bahwa seseorang atau sebuah kelompok, termasuk Hizbut
Tahrir Indonesia itu, memiliki atau tidak memiliki wawasan kebangsaan.
Selanjutnya saya katakan, “Bila wawasan
kebangsaan diartikan sebagai bentuk kepedulian dan pembelaan terhadap
negara, maka HTI memang sedang bekerja untuk menjaga negara ini dari
segala bentuk penjajahan. Namun, bila wawasan kebangsaan diartikan
sebagai ketundukan pada sekularisme, maka HTI dengan tegas menolak.”
Pernyataan ini sekaligus untuk menegaskan posisi (standing position) HTI di hadapan istilah wawasan kebangsaan.
Selanjutnya saya nyatakan, “HTI bekerja
untuk menjaga dan membebaskan negara ini dari segala bentuk penjajahan
melalui penegakan syariah. Karena penjajahan yang paling nyata, setelah
penjajahan fisik (militer) berakhir, adalah melalui penerapan sistem
sekular, utamanya di bidang ekonomi dengan penerapan ekonomi kapitalis,
dan di bidang politik penerapan demokrasi yang terbukti telah
menimbulkan berbagai bentuk kerusakan (fasad).”
Melalui pernyataan itu, saya ingin
menegaskan tentang kontekstualisasi perjuangan penerapan syariah, bahwa
itu semua sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian HTI terhadap keadaan
negeri ini dan masa depannya.
Lalu saya katakan, “Dengan semangat kecintaan pada negeri ini, HTI berjuang melalui dakwah fikriyah (menebarkan pemikiran Islam dan membantah ide yang tidak Islami), dakwah siyasiyah (membentuk kesadaran dan perubahan politik) dan la ‘unfiyah (non kekerasan). Inilah juga bentuk syukur yang benar kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan kemerdekaan.”
Penegasan dalam kalimat terakhir ini
penting disampaikan karena sangat sering kita mendengar seruan untuk
bersyukur terhadap kemerdekaan yang telah didapat, tetapi bagaimana
syukur itu harus diwujudkan tidak pernah ditegaskan dan ditunjukkan
dengan jelas. Yang sering terjadi, justru banyak kegiatan untuk
merayakan dan mengisi kemerdekaan yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan Allah SWT.
Selanjutnya, saya menyinggung secara
tidak langsung klaim sementara pihak yang menyatakan negara ini sudah
final dengan menyatakan, “HTI memandang Indonesia adalah negara yang
sedang terus berproses, berkembang dan berubah Ini dibuktikan dengan 4
kali amandemen UUD 45 yang berimplikasi pada banyak sekali aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.”
Logikanya, bila konstitusinya saja terus
diubah, bagaimana bisa negara ini disebut sudah final? Lebih tepat
negara ini disebut sedang terus berproses, berkembang dan berubah.
“Karena itu, HTI ingin menghela
perubahan itu ke arah yang baik, yaitu ke arah Islam; bukan ke arah
sosialisme ataupun kapitalisme yang diatasnamakan Pancasila. Hanya ke
arah Islam sajalah kita bisa berharap terciptanya baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang rahmatan lil alamin. Di situlah relevansi nyata dari usaha penegakan syariah.”
Akhirnya, saya menutup bagian awal dari
presentasi dengan pertanyaan: Jadi mengapa harus diterapkan syariah?
Syariah harus diterapkan karena akan menjadi ‘ilaju al-musykilati al-hayati al-insani (solusi persoalan hidup manusia).
Penerapan syariah juga merupakan konsekuensi dari iman kepada Allah
SWT. Syariah pasti membawa rahmat, bagi Muslim maupun non-Muslim.”
Presentasi kemudian dilanjutkan dengan
penyampaikan lebih rinci mengapa syariah harus diterapkan berikut
contoh-contoh praktis dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang
memakan waktu sekitar 30 menit. Di akhir presentasi, saya mengunci
dengan sebuah kesimpulan, “Jadi, perjuangan penegakan syariah
sesungguhnya adalah bentuk kecintaan amat dalam pada negeri ini untuk
membawa negeri ini kepada penghambaan yang hakiki kepada Allah SWT Yang
yang telah memberikan kemerdekaan dari penjajahan. Indonesia adalah
bagian dari bumi Allah, milik Allah, maka mestinya ditata dengan aturan
Allah (syariah) .
++++
Usai presentasi dari 4 pembicara
yang diundang, yaitu Habib Muhsin (FPI), Yazir ASP (Pusat Studi
Pancasila UGM), Irfwan S. Awwas (MMI) dan saya, dilakukan disksusi. Sesi
diskusi dan tanya-jawab berlangsung hangat. Banyak pertanyaan yang
diajukan kepada saya. Ada satu pertanyaan yang menarik dan menggelitik,
“HTI mengusung ide khilafah, apakah ustadz Ismail merasa ide itu sesuai
dengan peraturan perundangan yang ada?”
Terus terang, saya belum pernah
mendapatkan pertanyaan seperti ini. Pembaca semua tentu tahu arah
pertanyaan ini kemana. Lalu saya jawab kurang lebih begini, “Tentu saja
peraturan perundangan yang ada tidak bisa memuat ide khilafah. Namun,
bukan di situ persoalannya. Sebab, kalau begitu cara berpikir kita, kita
tidak akan bisa menemukan ide-ide baru. Dalam menanggapi sebuah ide,
mestinya kita harus menilai bagaimana ide itu, bagus atau tidak,
menyelesaikan masalah atau tidak, dan seterusnya. Contohnya, dulu pada
masa Orde Baru, gagasan partai lebih dari tiga langsung ditolak karena
tidak sesuai dengan aturan yang ada pada waktu itu. Namun, karena
gagasan itu dipandang baik, maka aturan itu kemudian diubah sehingga
sekarang bisa berdiri banyak parpol. Begitu juga dengan gagasan Uni
Eropa yang dilontarkan pertama kali pada tahun 1953. Bila menggunakan
ukuran peraturan perundangan dari negara-negara di Eropa ketika itu
pasti gagasan Uni Eropa tidak sesuai. Namun, karena ide itu dipandang
bagus untuk menjawab tantangan globalisasi, dan pada gilirannya nanti
akan memberikan kebaikan kepada semua negara anggota, maka peraturan
perundangan di masing-masing negara Uni Eropa, seperti soal moneter,
keimigrasian dan sebagainya, kemudian disesuaikan agar bisa memuat
gagasan yang awalnya tidak sedikit yang menentang.”
Menutup jawaban, saya lalu mengatakan,
“Jadi, supaya terbebas dari kerangkeng pemikiran yang membelenggu, yang
menghambat kita dari menemukan gagasan-gagasan baru, tampaknya tidak
cukup kita mengikuti nasihat think out of the box, kalau perlu think without box. Kita ini sudah sangat lama terperangkap dalam apa yang disebut jebakan politik dan jebakan intelektual (political and intelectual trap)
sehingga kita menjadi gamang setiap menghadapi gagasan-gagasan baru,
seperti ide khilafah. Padahal Khilafah bukanlah ide baru. Dia pernah ada
dalam sejarah sehingga mempunyai basis historis dan empiris yang nyata.
Ide ini juga mempunyai basis teologis yang kokoh karena memiliki dasar
secara normatif dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijmak dan Qiyas.”
Di akhir acara, saya meminta kepada
Wantimpres untuk menghilangkan stigmatisasi yang selama ini terjadi,
khususnya di kalangan birokrat pemerintah dan aparat keamanan, bahwa
kelompok yang berjuang untuk tegaknya syariah sebagai tidak memiliki
wawasan kebangsaan, bahkan anti Pancasila. Semestinya tudingan itu
diarahkan kepada mereka yang menolak syariah, yang mendukung sekularisme
dan menjadi komprador negara Barat, korup serta gemar menjual aset
negara kepada pihak asing, yang semua itu jelas-jelas telah menimbulkan
kerugian besar pada bangsa dan negara ini. [] hti press/ syabab indonesia
0 komentar:
Posting Komentar