Allah SWT Melaknat Mereka yang Menyakiti Kaum Mukmin
Oleh: Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.
(Tafsir QS al-Buruj [85]: 8-10)
وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلا
أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ * الَّذِي لَهُ مُلْكُ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ * إِنَّ
الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا
فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Mereka tidak menyiksa
orang-orang Mukmin itu melainkan karena orang-orang Mukmin itu beriman
kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai
kerajaan langit dan bumi. Allah Maha menyaksikan segala sesuatu.
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang
Mukmin laki-laki dan perempuan, kemudian mereka tidak bertobat, maka
bagi mereka azab Jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar (QS al-Buruj [85]: 8-10).
Tafsir
Allah SWT berfirman: Wamâ naqamû minhum illâ an yu‘minû bil-Lâh al-‘Azîz al-Hamîd (Mereka
tidak menyiksa orang-orang Mukmin itu melainkan karena orang-orang
Mukmin itu beriman kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji).
Ayat ini masih menerangkan tentang kisah dua kaum yang diberitakan dalam
ayat sebelumnya. Dhamîr wâwu al-jamâ’ah (kata ganti orang ketiga jamak) pada kata naqamû menunjuk kepada ash-hâb al-ukhdûd (para penggali parit) yang melakukan penyiksaan terhadap kaum Mukmin. Adapun dhamîr hum (kata ganti orang ketiga jamak) pada kata minhum menunjuk kepada al-mu‘minîn (kaum Mukmin) yang disiksa oleh para penggali itu.
Diberitakan dalam ayat ini, satu-satunya
alasan yang membuat mereka bertindak kejam dan biadab itu adalah karena
keimanan orang-orang Mukmin itu kepada Allah SWT. Tidak ada alasan lain
selain itu. Kesimpulan ini dengan jelas dapat dari ayat ini. Dalam
bagian pertama ayat ini disebutkan kata yang menegasikan, yakni: Wamâ naqamû minhum. Huruf mâ di sini merupakan an-nafiy (peniadaan).
Tidak ada alasan yang membuat mereka menghukum kaum Mukmin. Kemudian
disusul dengan kata yang mengecualikannya, yakni: illâ an yu‘minû bil-Lâh. Huruf illâ merupakan al-istitsnâ‘ (pengecualian).
Keseluruhan kalimat memberikan makna bahwa satu-satunya sebab yang
mendorong mereka menyiksa kaum Mukmin adalah keimanan mereka terhadap
Allah SWT. Susunan kalimat yang terdiri dari nafi (peniadaan) dan diiringi dengan istitsnâ (pengecualian) merupakan susunan al-qasyr (pembatasan) yang paling kuat.
Menjelaskan ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari mengatakan, “Tidaklah
kaum kafir yang menyiksa kaum Mukmin dengan api itu mendapati sesuatu;
juga tidak ada sebab yang membuat mereka melakukannya kecuali karena
kaum Mukmin itu beriman kepada Allah SWT.”1
Ibnu Juzyi al-Kalbi juga menuturkan, “Tidak
ada yang diingkari oleh kaum kafir terhadap kaum Mukmin kecuali mereka
beriman kepada Allah, dan semestinya hal itu tidak diingkari.”2
Dikemukakan juga oleh al-Zajjaj, “Tidak ada satu pun dosa yang mereka cela kecuali keimanan mereka (kaum Mukmin).”3
Ibu Katsir berkata, “Penyiksaan itu mereka lakukan hanya karena orang-orang Mukmin tersebut tetap beriman kepada Allah.”4
Inilah satu-satunya ‘kesalahan’ mereka
menurut kaum kafir itu sehingga mereka tega berbuat kejam. Realitas
seperti juga diberitakan dalam firman Allah SWT:
هَلْ تَنْقِمُونَ مِنَّا إِلا أَنْ آمَنَّا بِاللهِ
Apakah kalian memandang Kami salah, hanya lantaran Kami beriman kepada Allah (QS al-Maidah [5]: 59).
Menarik dicermati adalah penggunaan bentuk al-mudhari’ (yakni kata: tu‘minû, yang menunjukkan waktu sekarang atau akan datang). Dalam ayat ini tidak digunakan amanû (bentuk al-madhi, waktu
lampau) Padahal kisah itu telah terjadi di masa lalu. Menurut
Fakhruddin ar-Razi dan Ibnu Juzyi al-Kalbi, karena penyiksaan disebabkan
oleh konsistensi keimanan mereka. Mereka tidak disiksa karena keimanan
mereka pada masa sebelumnya. Seandainya mereka kufur pada masa yang akan
datang, mereka tidak akan disiksa. Karena itu seolah-olah dikatakan: kecuali karena mereka melanggengkan keimanan mereka.5
Dengan demikian, jelaslah bahwa
satu-satunya alasan orang-orang kafir bertindak kejam dan biadab
terhadap kaum Mukmin adalah konsistensi mereka dalam memegang keimanan
mereka.
Kemudian disebutkan beberapa sifat Allah SWT yang wajib diimani. Sifat pertama yang disebutkan adalah al-‘Azîz. Menurut az-Zamakhsyari, ‘Azîz[an] berarti Ghâlib[an] yukhsyâ ‘iqâbuhu (Yang
Mengalahkan lagi ditakuti hukuman-Nya).6 Sifat tersebut juga
menunjukkan bahwa jika seseorang berlindung di sisi-Nya, niscaya tak ada
satu pun makhluk dapat yang menghalangi Allah SWT untuk memberikan
perlindungan.7
Menurut Fakhruddin ar-Razi, pengertian al-‘Azîz adalah al-Qâdir (yang berkuasa) yang tak terkalahkan dan al-Qâhir (yang memaksa) yang tidak dapat ditolak. Secara keseluruhan, sifat tersebut menunjukkan kekuasaan yang sempurna.8
Sifat berikutnya adalah al-Hamîd. Diterangkan oleh az-Zamakhsyari, Hamîd[an] berarti Mun’im (Pemberi
nikmat). Wajib bagi Allah SWT segala pujian atas kenikmatan-Nya dan
diharapkan pahala-Nya.9 Al-Khazin menuturkan bahwa sifat tersebut
menunjukkan bahwa Dialah Yang berhak dipuji dan Dia pula yang layak untuk itu, yakni Allah Jalla Jalâluhu.10 Menurut
al-Razi, sifat ini mengisyaratkan ilmu. Sebab, yang tidak mengetahui
akibat sesuatu, tidak mungkin mengerjakan perbuatan yang terpuji. Dengan
demikian al-Hamîd menunjukkan atas al-’ilm secara sempurna.11
Kemudian Allah SWT berfirman: Al-Ladzî lahu mulk al-samâwâti wa al-ardh (Yang
mempunyai kerajaan langit dan bumi). Ayat ini menambahkan berita
tentang sifat Allah Yang Maha Sempurna. Dia adalah Pemilik kerajaan
langit dan bumi beserta semu isinya. Karena itu layak bagi Allah untuk
diimani dan ditauhidkan. Dikatakan oleh al-Qurthubi, “Tidak ada sekutu dan tandingan bagi Allah di langit dan bumi.”12 Ibnu Jarir ath-Thabari juga mengatakan, “Dilah Zat Yang memiliki kekuasaan langit yang tujuh dan bumi beserta seluruh isinya.”13
Sebagai konsekuensinya, semua yang
berada di langit dan bumi wajib menyembah dan tunduk kepada Allah SWT.
Demikian dikatakan az-Zamakhsyari.14
Menurut ar-Razi, sifat ini
mengisyaratkan kekuasaan yang sempurna. Sifat ini diakhirkan dari
sifat-sifat sebelumnya karena kekuasaan dan kerajaan yang sempurna tidak
akan terjadi kecuali telah sempurna dalam kekuasaan dan ilmu. Karena
itu Zat Yang disifati dengan sifat-sifat tersebut layak untuk diimani,
sedangkan yang lain tidak diimani. Lalu bagaimana bisa orang-orang kafir
yang bodoh itu menetapkan keimanan seperti ini sebagai sebuah
kesalahan?15
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wal-Lâh ‘alâ kulli syay[`in] Syahîd (Allah
Maha menyaksikan segala sesuatu). Ayat ini menegskan bahwa tidak ada
satu pun yang luput dan tersembunyi dari pengamatan Allah SWT. Semuanya
berada jangkaun pengawasan-Nya. Ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan, “Terhadap
perbuatan kaum kafir yang membuat parit untuk kaum Mukmin yang mereka
siksa, sungguh Allah menyasikannya. Allah pun menyaksikan perbuatan
mereka selainnya dan perbuatan seluruh makhluk-Nya. Dia memberikan
balasan bagi mereka.”16
Menurut al-Khazin, dalam kalimat ini
terdapat janji kebaikan yang besar bagi kaum Mukmin, sekaligus ancaman
besar bagi kaum kafir.17 Dikatakan juga oleh Abu Hayyan al-Andalusi, “Ini merupakan ancaman bagi mereka, yakni Dia mengetahui apa yang mereka perbuat sehingga Dia membalas mereka.”18
Penjelasan serupa dikemukakan az-Zamakhsyari dan asy-Syaukani.19
Kemudian Allah SWT berfirman dalam ayat selanjutnya: Inna al-ladzîna fatanû al-Mu‘minîna wa al-mu‘minât (Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang Mukmin laki-laki dan perempuan). Kata fatanû berasal dari kata futnah. Menurut ar-Razi, pada asalnya kata al-fitnah berarti al-balâ‘ wa al-imtihân (cobaan dan ujian). Disebut
demikian karena orang-orang kafir itu menguji dan mencoba orang-orang
Mukmin, melemparkan mereka ke dalam api dan membakar mereka.20
Menurut sebagian mufassir, fatanû dalam ayat ini bermakna kharaqûhum (mereka
membakar mereka) dengan api.21 Penafsiran ini juga dikemukakan Ibnu
Abbas, Mujahid, Qatadah adh-Dhahhak, dan Ibnu ‘Abza.22 Sebab, kata fitnah juga berarti memasukkan emas ke dalam tungku untuk diketahui kualitasnya.
Ibnu Jarir ath-Thabari menggabungkan
kedua penafsiran itu, yakni orang-orang yang menguji kaum yang beriman
kepada Allah dengan menyiksa mereka dan membakar mereka dengan api.23
Kemudian disebutkan: tsumma lam yatûbû (kemudian
mereka tidak bertobat). Pengertian tobat adalah mereka berhenti dari
apa mereka kerjakan dan meyesali apa yang telah terlanjur mereka lakukan. Demikian diterangkan Ibnu Katsir.24 Ditegaskan
dalam ayat ini, mereka tidak bertobat. Itu berarti, mereka melakukan
kekejan terhadap kaum Mukmin hingga selesai, tidak berhenti dan tidak
ada penyesalan hingga mati.
Terhadap mereka, diberikan balasan amat dahsyat, yakni: falahum adzab Jahannam (maka
bagi mereka adzab Jahanam). Inilah balasan bagi mereka. Mereka
dimasukkan ke dalam Jahanam, sebuah nama neraka di akhirat. Inilah
balasan setimpal bagi orang-orang yang bertindak kejam, bengis dan
biadab kepada hamba-Nya yang beriman kepada-Nya.
Diberitakan pula: walahum adzab al-harîq (dan
bagi mereka adzab [neraka] yang membakar). Mereka juga mendapatkan
balasan semisal dari apa yang telah mereka kerjakan.25 Jika mereka telah
membakar hidup-hidup orang-orang beriman, mereka akan merasakan siksa
semacamnya, yakni dibakar. Tentu, azab tersebut jauh lebih dahsyat.
Berdasarkan ayat ini, Abu Hayyan
al-Andalusi berkesimpulan bahwa mereka mendapatkan dua azab, yakni azab
karena kekufuran mereka dan azab karena fitnah yang mereka lakukan
kepada kaum mukmin.26 Sebagaimana dikatakan al-Baidhawi, azab al-harîq merupakan azab tambahan karena fitnah mereka.27
Menurut ath-Thabari, azab Jahanam di akhirat, sedangkan azab pembakaran di dunia.28
Inilah balasan yang ditimpakan kepada
orang-orang yang menyakiti dan berbuat kejam terhadap kaum Mukmin.
Meskipun ayat ini memberitakan tentang azab yang bakal diterima ash-hâb al-ukhdûd, ayat
ini tidak hanya berlaku untuk mereka. Redaksi ayat ini bersifat umum,
mencakup semua orang yang melakukan perbuatan tersebut. Ditegaskan
ar-Razi, pengertian ini lebih tepat karena redaksi umum dan hukumnya pun
umum. Karena itu, memberlakukan takhhîsh (mengkhusukan hanya untuk pelaku tertentu, dalam konteks ayat ini adalah ash-hâb al-ukhdûd) berarti meninggalkan zhahir-nya ayat tanpa dalil.29
Beberapa Perkara Penting
Terdapat banyak pelajaran yang dapat
diambil dari ayat ini. Pertama: Pemilik kerajaan langit dan bumi beserta
isinya adalah Allah SWT. Allah adalah Pencipta dan Pengatur
alam raya sekaligus Rajanya. Semua makhluk-Nya bertasbih memuji
kebesaran-Nya. Dia juga Zat Yang Maha Menyaksikan segala sesuatu. Di
tangan-Nya pula segala urusan di kerajaan langut dan bumi. Tak ada yang
menandingi, menyamai dan menjadi sekutu-Nya. Hal ini juga ditegaskan
dalam ayat, seperti dalam QS al-Furqan [25]: 2.
Oleh karena itu, Dialah satu-satunya
adalah Zat yang berhak disembah, diibadahi dan ditaati. Sebagai salah
makhluk ciptaan-Nya dan diberi kesempatan hidup di kerajaan-Nya,
semestinya manusia tunduk dan patuh kepada seluruh hukum-Nya. Sungguh
aneh ada manusia yang berani menentang mengingkari keberadaan-Nya,
menentang hukum-hukum-Nya dan menantang siksa-Nya, Sungguh tindakan itu
hanya akan mengantarkan pelakunya ke dalam kecelakaan.
Kedua: Kepastian azab bagi
orang yang mendatangkan fitnah atas kaum Mukmin. Siapa pun yang
melakukan perbuatan tersebut akan diberikan balasan berupa azab yang
mengerikan, yakni Neraka Jahanam dan azab pembakaran. Apalagi
satu-satunya alasan mereka menyakiti kaum Mukmin hanyalah keimanan
mereka.
Ketiga: Kemuliaan orang-orang
Mukmin dan kecintaan Allah kepada mereka. Azab yang dahsyat yang
ditimpakan kepada siapa pun yang mendatangkan fitnah terhadap Mukmin
jelas menunjukkan hal itu. Allah SWT telah memerintahkan seluruh manusia
beriman kepada-Nya. Allah pun menjanjikan balasan surga kepada manusia
yang menyambut seruan-Nya. Allah SWT mencintai dan memuliakan mereka, di
dunia dan akhirat. Dia juga tidak ridha kepada siapa pun yang menyakiti
mereka hanya karena keimanan mereka.
Oleh karena itu, seorang yang telah
memegang keimanan selayaknya menjaga dan memelihara keimanannya, apa pun
risikonya. Tak perlu merasa rendah diri dan bersedih hati jika mereka
konsisten dengan keimanan.
Keempat: Kesempatan bartobat
bagi orang-orang yang terlanjur berdosa. Dalam ayat ini diterangkan
bahwa balasan Neraka Jahanam dan azab pembakaran kepada orang yang
menyiksa kaum Mukmin dan tidak bertobat. Seandainya mereka bertaubat,
niscaya mereka tidak termasuk dalam ancaman tersebut. Ini menunjukkan
secara pasti bahwa Allah menerima tobat. Karena itu, wahai para pelaku
dosa, selagi pintu ampunan masih terbuka, segeralah bertobat dan
melakukan perbaikan. Jangan sampai terlambat, hingga penyesalan tak
berguna.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [] hti press/ syabab indonesia
Catatan kaki:
1 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 343
2 Ibnu Juzyi, At-Tasy-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam bin al-Arqam, 1986), 469
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 500
4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 112; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1999), 358
5 Ibnu Juzyi, At-Tasy-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 469.
6 Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzîl wa Asrar at-Ta‘wîl, vol. 5, (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabiyy, 1998), 301
7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 358
8 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 112.
9 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1977), 732; al-Baidhawi, Anwar at-Tanzîl wa Asrar at-Ta`wîl, vol. 5, 624
10 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 413.
11 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 112.
12 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 295.
13 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 343.
14 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 732
15 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 112
16 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 343.
17 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 413; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 501.
18 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 11 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 445
19 Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 731; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 501;
20 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 113.
21 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 295.
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 365.
23 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 343.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 365.
25 Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 365.
26 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî Tafsîr, vol. 11, 445; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 566.
27 Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzîl wa Asrar at-Ta‘wîl, vol. 5, 301
28 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 343.
29 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 113.
0 komentar:
Posting Komentar