
Pengantar
Dalam sistem pemerintahan Islam
(Khilafah), jabatan khalifah tidak memiliki periode masa tertentu, atau
tidak dibatasi dengan waktu tertentu, sebagaimana dalam sistem republik.
Namun, tidak berarti bahwa Khalifah tidak bisa diberhentikan kapan
saja. Sebab, ada hal-hal atau keadaan yang mengharuskan Khalifah
diberhentikan.
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 40, yang berbunyi:
Hal-hal yang mengubah keadaan
Khalifah hingga mengeluarkan dirinya dari jabatan khalifah ada tiga
perkara: (a) Telah rusaknya salah satu syarat dari syarat-syarat in’iqad
Khilafah, yang menjadi syarat keberlangsungan jabatan Khalifah,
misalnya murtad, fasik secara terang-terangan, gila dan lain-lain. (b)
Tidak mampu memikul tugas-tugas Khilafah oleh karena suatu sebab
tertentu. (c) Adanya tekanan yang menyebabkan Khalifah tidak mampu lagi
menjalankan urusan kaum Muslim menurut pendapatnya sesuai dengan
ketentuan hukum syariah. Bila terdapat tekanan dari pihak tertentu
sehingga Khalifah tidak mampu memelihara urusan rakyat menurut
pendapat-nya sendiri sesuai dengan hukum syariah maka secara hukum ia
tidak mampu menjalankan tugas-tugas negara, sehingga tidak layak lagi
menjabat sebagai Khalifah. Hal ini berlaku dalam dua keadaan. Pertama:
Apabila salah seorang atau beberapa orang dari para pendampingnya
menguasai Khalifah sehingga mereka mendominasi pelaksanaan urusan
pemerintahan. Apabila masih ada harapan dapat terbebas dari kekuasaan
mereka, maka ditegur dan diberi waktu untuk membebaskan diri. Jika
ternyata tidak mampu mengatasi dominasi mereka, maka ia diberhentikan.
Bila tidak ada harapan lagi maka segera Khalifah diberhentikan. Kedua:
Apabila Khalifah menjadi tawanan musuh, baik ditawan atau ditekan musuh.
Pada situasi seperti ini perlu dipertimbangkan. Jika masih ada harapan
untuk dibebaskan, maka pemberhentiannya ditangguhkan sampai batas tidak
ada harapan lagi untuk membebaskan-nya, dan jika ternyata demikian,
barulah dia diberhentikan. Jika tidak ada harapan sama sekali untuk
membebas-kannya maka segera diganti (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 166-167).
Rusaknya Salah Satu Syarat Akad Khilafah
Syarat-syarat akad Khilafah sekaligus
menjadi syarat keberlangsungannya. Apabila salah satu syarat dari
syarat-syarat akad Khilafah itu telah rusak, maka secara otomatis
Khalifah harus diberhentikan dari jabatannya. Ketika Rasulullah saw.
bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR al-Bukhari).
Sabda Rasul saw. ini menunjukkan
bahwa laki-laki merupakan syarat bagi seorang penguasa (khalifah). Hal
ini berlaku selama seseorang menjadi khalifah. Apabila karena suatu
sebab ia berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan atau banci, maka ia
wajib diberhentikan, sebab syaratnya telah rusak (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 167; Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm, hlm. 110).
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) serta ulil amri di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).
Dalam firman Allah SWT di atas, frasa “minkum” (di antara kalian)—yang disebut bersamaan dengan kata ulil amri (penguasa)—merupakan pernyataan yang tegas tentang adanya syarat Muslim bagi seorang waliyul amri selama dia masih menjadi waliyul amri.
Apabila dia telah menjadi kafir maka dia tidak lagi menjadi bagian dari
kita (kaum Muslim). Dengan demikian, sifat yang disyaratkan oleh
al-Quran bagi seorang waliyul amri, yaitu harus Muslim, telah
hilang dari dirinya. Dalam keadaan demikian dia harus diberhentikan dari
jabatannya sebab dia tidak lagi menjadi Muslim yang merupakan syarat
akad Khilafah dan syarat keberlangsungannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 167; Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm, hlm. 110).
Dalam hal ini Imam Nawawi mengutip pernyataaan Imam Qadhi ‘Iyadh yang mengatakan:
أَجْمَعَ العُلَمَاءُ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ لاَ تَنْعَقِدُ لِكَافِرٍ وَعَلىَ أَنَّهُ لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ الْكُفْرُ اِنْعَزَلَ
Para ulama telah berijmak bahwa
Imamah (Khilafah) tidak diserahkan kepada orang kafir. Apabila seorang
penguasa (Khalifah) tiba-tiba terjatuh ke dalam kekufuran, maka ia telah
berhenti (menjadi khalifah, red.) dengan sendirinya (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/318).
Begitu juga halnya dengan semua
syarat-syarat akad Khilafah yang telah ditetapkan berdasarkan nash.
Syarat-syarat itu merupakan sifat yang harus terus melekat pada diri
Khalifah Syarat-syarat itu bukan sekadar syarat akad Khilafah melainkan
juga sebagai syarat keberlangsungannya. Apabila salah satu syarat dari
syarat-syarat akad Khilafah itu telah rusak maka secara otomatis seorang
khalifah harus diberhentikan dari jabatannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 168).
Tidak Mampu Memikul Tugas-Tugas Kekhilafahan
Sesungguhnya akad Khilafah itu tidak
lain adalah akad untuk melaksanakan tugas-tugas Khilafah. Apabila
Khalifah sudah tidak mampu lagi untuk melaksanakan akadnya maka ia wajib
diberhentikan. Dalam keadaan demikian statusnya seperti orang yang
tidak ada (al-ma’dûm). Apabila ia sudah tidak mampu lagi
melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, ia sama dengan menyia-nyiakan
urusan agama dan kepentingan kaum Muslim. Keadaan seperti ini hakikatnya
adalah bentuk kemungkaran yang harus segera dihilangkan. Untuk
menghilangkan kemungkaran itu tidak mungkin kecuali dengan
memberhentikan Khalifah, kemudian mengangkat yang lainnya. Dengan
demikian, dalam kondisi seperti ini, memberhentikan Khalifah adalah
wajib.
Hanya saja, perlu diketahui bahwa hal
ini tidak terikat dengan sebab tertentu. Apapun yang menimpa Khalifah,
yang kemudian menyebabkan dirinya tidak mampu utuk melaksanakan
kewajibannya, maka ia harus diberhentikan. Apabila sesuatu yang menimpa
Khalifah itu tidak membuat dirinya tidak mampu, maka ia tidak wajib
diberhentikan. Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa hilangnya
salah satu anggota tubuh Khalifah mengaharuskan dirinya untuk
diberhentikan atau tidak diberhentikan. Tidak juga dapat dikatakan bahwa
menderita penyakit tertentu mengharuskan Khalifah untuk diberhentikan
atau tidak diberhentikan. Sebab tidak ada nas (dalil) yang secara mutlak
mengharuskan hal ini. Namun menurut hukum syariah, ketidak-mampuan
untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi kewajibannya itulah yang
mengharuskan dirinya diberhentikan, apapun penyebab ketidakmampuannya
itu. Hal ini tidak hanya berlaku pada Khalifah saja, melainkan berlaku
umum bagi setiap orang yang mendapatkan tugas, baik sebagai penguasa
seperti wali, atau sebagai pekerja, seperti kepala dirjen.
Ketidakmampuannya mengharuskan dirinya untuk diberhentikan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 168).
Berada dalam Tekanan
Tidak mampu melaksanakan tugas yang menjadi kewajiban seorang khalifah itu ada dua macam. Pertama: tidak mampu secara faktual (de facto). Kedua: tidak mampu secara hukum (de jure).
Tidak mampu secara faktual adalah tidak mampu secara jasmani, yakni
hilangnya kemampuan jasmani untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Inilah
yang dimaksud dengan “Tidak mampu memikul tugas-tugas Khilafah” pada poin (b) dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr)
Negara Islam pasal 40 ini. Adapun tidak mampu secara hukum adalah
secara jasmani ia mampu melaksanakan tugas-tugasnya, namun—karena suatu
keadaan—ia tidak mampu melaksanakan sendiri tugas-tugasnya secara
langsung. Karena itu ia dihukumi seperti tidak mampu secara faktual.
Sebab faktanya, ia tidak mampu melaksanakan tugas-tugas yang seharusnya
ia laksanakan sendiri sehingga kondisi tersebut statusnya seperti orang
yang tidak ada (al-ma’dûm). Dengan demikian, ia pun harus diberhentikan.
Ada dua keadaan yang menyebabkan tidak mampu secara hukum (de jure). Pertama: dalam kondisi dikendalikan (al-hajr). Kedua: berada dalam tekanan (al-qahr).
Kondisi dikendalikan adalah kondisi saat Khalifah dalam melaksana-kan
tugasnya dikendalikan dan didekte oleh orang-orang di sekitarnya. Dalam
kondisi ini Khalifah tidak dapat melaksanakan tugasnya secara langsung.
Yang secara langsung melaksanakan rugas Kekhilafahan adalah pihak yang
mengendalikan dia sehingga Khalifah tidak bebas membuat keputusan.
Karena akad Khilafah itu dilakukan dengan pribadi Khalifah, maka harus
dia sendiri yang melakukan akad itu secara langsung. Dengan kondisi dia
yang dikendalikan oleh orang-orang di sekitarnya, maka dia benar-benar
telah kehilangan kemampuannya untuk menjalankan tugas-tugasnya. Oleh
karena itu, statusnya seperti orang yang tidak ada (al-ma’dûm)
sehingga dia harus diberhentikan. Dalam hal ini, harus diperhati-kan
jika ada harapan dia bisa bebas dari kendalinya, maka dia diberi waktu
untuk membebaskan dirinya, dan dia segera diberhentikan jika waktunya
habis, sementara dia belum juga bebas. Adapun jika tidak ada harapan
untuk bebas maka seketika itu dia diberhentikan.
Sementara itu, kondisi dalam tekanan,
adalah ketika Khalifah menjadi tahanan musuh, dan tidak mampu
menyelamatkan dirinya. Akibatnya, dia tidak bisa meneruskan akad
Khilafah karena ketidakmampuannya untuk mengurusi urusan kaum Muslim,
baik musuhnya itu kaum kafir atau para pemberontak. Dalam kondisi ini,
kaum Muslim wajib berusaha untuk menyelamatkan Khalifah, baik dengan
peperangan atau dengan memberi tebusan. Jika semua itu tidak mungkin,
maka dia diberhentikan seketika itu apabila dia menjadi tahanan kaum
kafir. Apabila dia menjadi tahanan para pemberontak, maka dilihat, jika
mereka punya imam (pemimpin), sementara membebaskan Khalifah tidak
mungkin, maka dia diberhentikan seketika itu, dan apabila mereka tidak
punya imam (pemimpin), maka statusnya seperti dalam kendali orang lain
sehingga diberi waktu untuk memberbaskan dirinya. Jika waktunya habis
dan dia belum juga dibebaskan maka dia diberhentikan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 169; al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 30).
Khatimah
Khalifah diberhentikan secara otomatis
manakala terjadi perubahan keadaan di dalam dirinya dengan perubahan
yang langsung mengeluarkan dirinya dari jabatan Khilafah. Khalifah juga
wajib diberhentikan apabila terjadi perubahan keadaan pada dirinya
walaupun perubahan tersebut tidak langsung mengeluarkan dirinya dari
jabatan Khilafah, namun menurut syariah dia tidak boleh melanjutkan
jabatannya.
Perubahan keadaan yang secara otomatis
mengeluarkan Khalifah dari jabatan Khilafah ada tiga hal: Khalifah
murtad dari Islam; Khalifah gila total (parah) yang tidak bisa
disembuhkan; dan Khalifah ditawan musuh yang kuat, yang dia tidak
mungkin bisa melepaskan dirinya, bahkan tidak ada harapan untuk bisa
bebas. Dalam ketiga keadaan inilah Khalifah bisa dikeluarkan dari
jabatan Khilafah dan tercopot dengan sendirinya seketika, sekalipun
pencopotannya belum diputuskan, dan hukum menaati dirinya ketika itu
tidak lagi menjadi wajib. Semua perintah dari orang yang termasuk dalam
katagori salah satu sifat khalifah tersebut tidak wajib dilaksanakan,
sebab akad Khilafahnya telah rusak.
Adapun perubahan keadaan Khalifah yang
tidak secara otomatis mengeluarkan dirinya dari jabatan khilafah, namun
dia tidak boleh mempertahankan jabatannya ada tujuh hal: Khalifah telah
kehilangan ‘adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara
terang-terangan; Khalifah berubah bentuk kelaminnya menjadi perempuan
atau banci; Khalifah menjadi gila namun tidak parah; Khalifah tidak lagi
dapat melaksanakan tugas-tugas Kekhilafahan, yakni tidak mampu secara
fakta (de facto); Khalifah berada dalam kendali pihak lain yang
menyebabkan dirinya tidak mampu lagi menangani urusan kaum Muslim;
Khalifah menjadi tahanan dan ada harapan untuk dibebaskan; dan Khalifah
berada dalam pengaruh kaum kafir. Dalam ketujuh keadaan di atas, seorang
khalifah wajib diberhentikan ketika salah satu keadaan tersebut
terjadi, hanya saja dia tidak akan berhenti dengan sendirinya melainkan
diberhentikan melalui keputusan seorang hakim. Dalam ketujuh keadaan
itu, Khalifah tetap wajib ditaati, dan perintah-perintahnya tetap wajib
dilaksanakan sampai ada keputusan untuk memberhentikan dirinya.
Masing-masing keadaan di atas tidak akan menyebabkan hilangnya akad
Khilafah dengan sendirinya, namun membutuhkan keputusan seorang hakim.
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri] hti press
Daftar Bacaan:
Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Baghdadi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah (Beirut: Dar al-Fikr), Cetakan I, 1960.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizham al-Hukm fi al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.
An-Nawawi, Abu Zakaria Muhyiddin bin Syaraf ad-Dimasyqi, Syarh Shahîh Muslim (Muassasah Qurthubah), Cetakan II, 1994.
0 komentar:
Posting Komentar