
“Jika kita mau
melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang harus
dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi.” (Goerge W. Bush,
6/11/2004).
Sebagian kaum Muslim masih meyakini dan
memilih demokrasi sebagai sebuah jalan perubahan. Ini karena mereka
memahami demokrasi hanya sebagai sebuah alat untuk mewujudkan suatu
perubahan.
Namun faktanya, demokrasi tidak bisa
dijadikan jalan untuk perubahan. Sebaliknya, para penikmat demokrasi
menjadi korban dari demokrasi itu sendiri. Hal ini bisa kita lihat dari
apa yang menimpa beberapa gerakan dakwah seperti Ikhwanul Muslimin di
Mesir, HAMAS di Palestina dan FIS di Aljazair.
Di Mesir, melalui jalan demokrasi,
Muhammad Mursi memenangkan Pilpres pada tahun 2012. Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Mesir menyatakan bahwa Muhammad Mursi dari kelompok Ikhwanul
Muslimin (IM) terpilih sebagai presiden baru negara itu. Mursi
dinyatakan menang dengan perolehan suara 51,7 persen atau 13,4 juta
suara. Adapun penantang Mursi, Ahmed Shafiq, hanya kebagian 12,3 juta
suara. Namun setahun kemudian, Mursi ditumbangkan oleh junta militer
Mesir yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Abdul Fattah al-Sisi menteri
pertahanan dan produksi kemiliteran pada Rabu sore tanggal 3 Juli 2013.
Padahal Mursi adalah penguasa yang legal karena terpilih melalui proses
demokrasi. Para pemimpin Ikhwanul Muslimin pun ditangkap dan dipenjara.
Di Palestina, tahun 2006 HAMAS
memenangkan Pemilu legislatif. HAMAS meraih 76 dari 132 kuris parlemen
(lebih dari 57 persen). Adapun Partai Fatah meraih 43 kursi dan
partai-partai lain meraih 13 kursi. Artinya, seharusnya HAMAS
mendominasi pemerintahan di Palestina. Namun ternyata, kursi
kepresidenan masih dikuasai oleh Fatah melalui Mahmud Abbas. Dengan
demikian terbentuklah pemerintahan koalisi di Palestina, yang berbagi 25
kursi menteri antara HAMAS dan Fatah. Sejak kemenangan HAMAS, konflik
antara HAMAS dan Fatah yang telah menelan korban ratusan jiwa dari kedua
belah pihak tidak pernah berhenti. Padahal kemenangan HAMAS juga
diperoleh melalui jalan demokrasi.
Demokrasi pun memakan korbannya di
Aljazair. Melalui jalan demokrasi, pada Pemilu 1991 FIS meraih 54% suara
dan mendapat 188 kursi di parlemen atau menguasai 81% kursi. Pada
Pemilu putaran kedua, FIS pun dinyatakan menang telak. Kemenangan FIS
ini disambut gembira oleh rakyat Aljazair. Namun, Mohammed Boudiaf,
mewakili militer yang loyal pada Barat, segera menunjukkan kebohongan
demokrasi. Mereka menggulingkan FIS, Ribuan anggota dan pendukung FIS
ditangkap dan dijebloskan ke penjara, bahkan sampai dibunuh. Pemimpin
FIS, Abassi Madani dan Ali Belhadj, dipenjarakan.
Benar, sebagai sebuah jalan, demokrasi
bisa saja menghantarkan seseorang atau sebuah gerakan pada tampuk
kekuasaan. Namun, Barat, dalam hal ini Amerika dan sekutunya, tidak akan
membiarkan Islam sampai pada kekuasaan melalui jalan demokrasi.
Seharusnya semua ini menjadi pelajaran berharga bahwa demokrasi bukanlah
cara yang tepat untuk mewujudkan perubahan.
Mitos Demokrasi yang Terbantahkan
1. Terpilih dengan suara mayoritas akan bisa berbuat apapun, termasuk untuk menegakkan syariah Islam.
Mereka yang memilih jalan demokrasi
sebagai jalan untuk menuju perubahan meyakini bahwa jika menang dalam
proses demokrasi, yakni seperti Pemilu legislatif atau Pilpres, mereka
akan bisa melakukan perubahan secara mudah, termasuk untuk menerapkan
syariah Islam. Alasannya, karena mereka menang dengan suara terbanyak
sehingga pemerintahan mereka didukung oleh rakyat secara mayoritas.
Ini jelas konsep berpikir yang keliru.
Pasalnya, masyarakat yang memilih mereka bukan karena kesadaran politik
mereka terhadap syariah Islam. Keinginan parpol Islam untuk mengubah
sistem sekular itu menjadi sistem Islam akan mendapat tantangan dari
rakyat sendiri yang belum sadar. Bisa-bisa mereka menganggap wakil
rakyat itu telah berkhianat kepada mereka sebab telah menyalahgunakan
suara yang mereka berikan untuk perkara lain.
Sebagian orang juga beranggapan, bahwa jika sistem perundang-undangan diubah—misalnya mengikuti prinsip the winner takes all,
yaitu pemenang Pemilu, selain berhak membentuk pemerintahan, juga
berhak mengubah undang-undang dasar dan peraturan
perundang-undangan—maka perjuangan untuk menerapkan syariah Islam bisa
ditempuh melalui parlemen. Ini tampaknya logis. Namun faktanya,
pemerintahan sekular yang didukung oleh negara-negara Barat tidak akan
pernah mentoleransi keberhasilan sebuah partai Islam dalam Pemilu yang
bisa merugikan kepentingan mereka. Apa yang terjadi pada FIS di Aljazair
di awal tahun 1992, Hamas di Palestina, termasuk yang baru terjadi di
Mesir sampai hari ini, membuktikan hal itu.
2. Jalan demokrasi dijamin aman.
Peristiwa yang menimpa HAMAS di
Palestina, FIS di Aljazair dan Ikhwanul Muslimin di Mesir merupakan
pelajaran berharga kepada kita bahwa walaupun terpilih secara demokratis
dan legal, hal tersebut ternyata tidak memberikan jaminan keamanan bagi
perjuangan untuk mewujudkan perubahan. Pasalnya, Barat hanya akan
memberikan jaminan keamanan jika kelompok yang menggunakan demokrasi
tersebut tidak membawa Islam pada kekuasaan.
3. Pemenang Pemilu dalam demokrasi akan dilindugi oleh Barat dan PBB
Untuk membantah mitos tersebut, kita
cukup mengetengahkan pertanyaan: dimana PBB dan Amerika sebagai negara
kampium demokrasi saat terjadi pembantaian di Mesir oleh junta militer
terhadap Ikhwanul Muslimin dan pendukungnya? Di mana pula Barat dan PBB
saat pembantaian terjadi di Aljazair terhadap FIS dan pendukungnya?
Bukankah mereka adalah partai yang meraih kekuasaan melalui Pemilu yang
demokratis?
4. Menyembunyikan tujuan perjuangan untuk menegakkan syariah Islam.
Demokrasi hanyalah sebagai sarana untuk
mewujudkan tujuan agar bisa menerapkan syariah Islam. Namun, tujuan
tersebut disembunyikan dengan cara tidak menyampaikan di
panggung-panggung kampanye ataupun tidak dimasukan ke dalam visi ataupun
misi dari gerakan tersebut. Alasannya, jika masyarakat tahu itu, mereka
tentu tidak akan memilih karena masih menginginkan sistem sekular
sekarang.
Padahal sangat penting dan suatu
keharusan untuk memberikan edukasi politik di tengah-tengah masyarakat
tentang Islam sebagai sebuah agama sekaligus ideologi yang memiliki
seperangkat aturan yang akan memberikan solusi atas seluruh persoalan
yang mendera umat manusia. Dengan adanya edukasi politik tersebut, tentu
masyarakat akan menjadi sadar sehingga membentuk kesadaran umum di
tengah-tengah masyarakat (wa’yul ‘am). Kemudian dari kesadaran umum tersebut akan menjadikan masyarakat secara kolektif menjadi memiliki opini umum (ra’yul ‘am) yang benar akan syariah Islam.
Dengan adanya kesadaran dan pemahaman
masyarakat yang baik tersebut maka akan mudah untuk menerapkan syariah
Islam. Ini berbeda jika kita menyembunyikan tujuan perjuangan tersebut.
Bagaimana mungkin masyarakat akan sadar dan paham jika tidak pernah
diberikan edukasi yang baik terhadap apa itu syariah Islam sebagai
sebuah solusi.
5. Dengan jalan demokrasi akan bisa mewarnai dan secara bertahap akan mengubah sistem.
Masuknya seseorang atau partai ke dalam
sistem demokrasi dengan niat ingin mewarnai, secara fakta tidak ada
bukti sama sekali. Sebaliknya, anggota parpol yang masuk ke dalam sistem
yang ada justru sering terjebak di dalamnya. Mereka, misalnya, terlibat
dalam money politic. Mereka sering bungkam terhadap kezaliman
penguasa dengan alasan koalisi dengan partai penguasa atau untuk
kepentingan kompromi. Mereka pun kemudian sering membuat pernyataan yang
berubah-ubah dan membingungkan umat, mengingat kompromi yang sudah
dilakukan dengan partai-partai sekuler.
Demikianlah, yang tadinya berniat ingin
mewarnai malah terwarnai; yang tadinya ingin memberikan pengaruh malah
terpengaruh. Ini merupakan jebakan demokrasi itu sendiri. Sayang, banyak
kaum Muslim yang terjebak ke dalam permainan demokrasi tersebut.
Dengan menggunakan jalan demokrasi, mereka pun berhasrat mengubah sistem secara bertahap (tadaruj).
Bagaimana mungkin bisa melakukan perubahan secara bertahap sedangkan
demokrasi tidak memberikan jalan untuk itu? Demokrasi memang memberikan
tempat bagi kelompok yang menyuarakan syariah Islam, namun tidak
memberikan tempat agar syariah Islam tersebut dapat diterapkan. Hal ini
karena demokrasi telah menetapkan dengan tegas bahwa agama tidak boleh
terlibat dalam mengatur masalah publik.
6. Demokrasi akan memberikan kesejah-teraan.
Sebagian besar manusia sudah terbius
oleh ide demokrasi. Mereka seolah dibuai oleh janji-janji manis yang
selalu digaungkan oleh para pengusung demokrasi. Mereka mengira, sistem
demokrasi akan membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik, lebih
sejahtera dan lebih modern. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Demokrasi sering diperalat oleh kelompok
elit masyarakat (elit wakil rakyat, elit parpol dan elit para pemiliki
modal) untuk memperkaya diri mereka sendiri sembari melupakan bahkan
menindas rakyat. Hal tersebut wajar, karena dalam demokrasi tidak pernah
ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS
menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865)
mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people”
(dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas
tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford
B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat
pada tahun itu adalah: “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).
Sejak awal kelahirannya, kedaulatan
dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat, yakni para pemilik
modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan
seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang
dikehendaki adalah daulat rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal
itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik
modal. Jadi, bagaimana mungkin demokrasi bisa memberikan kesejahteraan
kepada rakyat?
Demokrasi Menjadikan Akal Sebagai Sumber Hukum
Di dalam ide kufur demokrasi, prinsip dasar yang tidak bisa dilepaskan adalah kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat (as-siyadah wa as-sulthan li al-ummah).
Kekuasaan di tangan rakyat tersebut diberikan o leh rakyat kepada
wakil-wakilnya di parlemen sehingga mereka berdaulat guna membuat
hukum-hukum sesuai dengan keinginan mereka.
Di dalam Islam kedaulatan berada di tangan Asy-Syari’, yakni Allah SWT. Artinya, kedaulatan berada di tangan syariah (as-siyadah li asy-syar’i). Adapun kekuasaan berada di tangan rakyat (as-sulthan li al-ummah).
Dalam demokrasi kekuasaan diberikan kepada wakil-wakil rakyat untuk
membuat hukum (bukan menjalankan hukum dari Allah SWT). Adapun dalam
Islam, kekuasaan diberikan oleh rakyat kepada penguasa (Khalifah) bukan
untuk membuat hukum/UU, namun untuk menjalankan hukum-hukum Allah SWT,
yakni syariah Islam yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijmak
Sahabat dan Qiyas syar’i.
Di dalam demokrasi, hukum yang dibuat
untuk mengurusi rakyat adalah bersumber dari akal manusia yang serba
lemah dan terbatas; akal yang tidak bisa mengetahui apa kebutuhan
manusia yang lain. Sebaliknya, di dalam Islam, sumber hukum untuk
mengatur persoalan setiap sendi kehidupan manusia berasal dari Zat Yang
menciptakan akal manusia itu sendiri. Dialah Allah SWT, Zat Yang
Mahatahu apa saja yang dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT telah
menurunkan syariah Islam untuk mengatur semua persoalan tersebut (Lihat: QS an-Nahl [16]: 89).
Jadi, masihkah kita percaya pada
demokrasi sebagai satu-satunya jalan untuk meraih perubahan? Tidak!
Hanya sistem Islam saja yang dapat mengantarkan kita menuju perubahan
yang kita cita-citakan, yakni perubahan menuju tegaknya Islam kaffah dalam sistem Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Semua itu hanya bisa dilakukan dengan menempuh thariqah dakwah Rasulullah saw., bukan dengan jalan demokrasi.
WalLahu a’lam. [Adi Victoria; Penulis Buku dan Aktivis HTI kota Samarinda] hti press
0 komentar:
Posting Komentar