Oleh: Gita Anggraini,
Pelajar Muslimah HTI DPD II Tulungagung
Bapak dan ibu guru adalah orang-orang yang terkena
tanggung jawab secara langsung, mencetak generasi penerus bangsa ini. Mereka
membantu para orangtua untuk membangun generasi yang akan menggantikan
kedudukan para pemimpin di kemudian hari.
Namun bagaimana jadinya dan orangtua yang harusnya
saling bersinergi justru saling mempidanakan satu sama lain. Guru yang diberi
gelar pahlawan tanpa tanda jasa berusaha sekuat tenaga untuk mengajar, mendidik
dan membina siswa-siswinya agar menjadi insan yang cendikia serta memiliki
kedisiplinan yang tinggi. Beliau senantiasa mengajarkan nilai-nilai ketertiban
dengan jalan yang dianggapnya telah sesuai dengan metode pengajaranya. Namun
adakalanya niat baik dari sang guru tidak lagi dipercaya oleh orang tua yang
menitipkan anak-anaknya menimba ilmu di sekolah tersebut. Ketidakpercayaan ini
mungkin akan menjadi sesuatu yang wajar, karena kita kini tengah hidup dalam
sistem yang rusak. Sistem yang telah memberikan kita banyak fakta tentang
kekerasan pendidik terhadap anak didiknya. Maka bukan suatu yang aneh jika
akhirnya ada orang tua yang kemudian melaporkan seorang guru yang berusaha mendisiplinkan
anaknya, karena dianggap sebagai tindakan pengaiayaan. Seperti yang diberitakan
oleh DetikNews, pada kasus guru SDN penjalin kidul V, Majalengka, Jawa Barat.
Seorang guru bernama Aop Saopudin nyaris dipenjara saat mendisiplinkan siswanya
yang berambut gondrong. Merasa tidak terima orang tua siswa malah mencukur
balik rambut Aop dan kemudian mempolisikannya. Dalam penyidikan dan dakwaannya
polisi dan jaksa mendakwa Aop dengan UU perlindungan anak. Versi polisi dan
Jaksa, Aop mencukur siswa SD kelas III itu dinilai telah melakukan perbuatan
diskriminasi dan penganiayaan terhadap anak hingga sang guru terancam 5 tahun
penjara. Aop dituding melanggar pasal 77 huruf a UU perlindungan anak yang
berbunyi :
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan
diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian baik
materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan
penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100 juta"
Adapun pasal 80 ayat 1 UU perlindungan anak berbunyi :
"Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan
atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72juta.
Lantas kemudian jaksa juga memasukkan pasal dalam KUHP
yaitu pasal 335 ayat 1 kesatu tentang perbuatan tidak menyenangkan. Pasal ini
berbunyi :
"Diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan,
tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai
ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan tidak menyenangkan,
baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain"
Melalui tiga pasal ini, maka pada 2 Mei 2013, majelis
hakim Pengadilan Negeri (PN) Majalengka menyatakan Aop telah melakukan
perbuatan tidak menyenangkan terhadap anak didiknya yaitu mencukur rambut siswa
yang melanggar aturan sekolah. Hukuman percobaanpun dijatuhkan.
Hukuman ini lalu dikuatkan di tingkat banding.
Pengadilan Tinggi (PT) Bandung sepakat dengan PN majalengka. Dan atas putusan
ini Aop lalu mengajukan ka
keadilan diketok MA dan membebaskan Aop. Hakim agung, sebagai pucuk pimpinan
hakim-hakim di bawahnya mengoreksi total pandangan para hakim di bawahnya dan
juga dakwaan jaksa san dugaan polisi.
Pada 6 Mei 2014, hakim agung Dr Salman Luthan dengan
anggota Dr Syarifuddin dan Dr Margono membebaskan Aop. Ketiganya membebaskan Aop
karena sebagai guru, Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang
rambutnya sudah panjang atau gondrong untuk menertibkan para siswa. Apa yang
dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu
tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas
perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi
murid yang baik dan berdisiplin.
Susahnya menjadi seorang guru, tanggung jawab yang
besar tak selalu mendapat penghargaan yang besar pula. Terlebih semakin lama
kepercayaan orang tua terhadap guru dari anak-anaknya semakin memudar. Terlihat
dari reaksi orang tua yang kadang berlebihan dalam menanggapi tindakan guru
dari anak-anaknya. Termasuk ketika sang guru memberikan sanksi yang tujuannya
adalah untuk mendidik bukan menganiaya. Disisi lain UU perlindungan anak justru
hanya memfasilitasi kebebasab bagi anak. Terbukti UU perlindungan anak yang
merupakan adopsi konvensi Hak Anak tidak melindungi, malah menjerumuskan ke
kebebasan.
Sudah saatnya pendidikan yang menjadi poin penting
dalam mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan harus segera dibenahi.
Berkenaan dengan hal itu, pemahaman terhadap karakter sebuah ideologi merupakan
langkah awal dan mendasr ketika membicarakan sistem pendidikan. Ketidakpahaman
terhadap basis sitem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak
dibentuknya hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial
and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan.
Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar,
terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang
memiliki : (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran Islam dengan handal;
(3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/PITEK); (4)
memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna.
Pembentukan kepribadian Islam harus dilakukan pada
semua jenjang pendidikan yang sesuai dengan proporsinya melalui pendekatan.
Salah satu diantaranya adalah dengan menyampaikan pemikiran islam kepada siswa.
Tsaqofah (pemikiran) Islam adalah ilmu-ilmu yang
dikembangkan berdasarkan aqidah Islam yang sekaligus menjadi sumber peradaban
Islam. Muatan inti yang kedua ini diberikan pada seluruh. Jenjang pendidikan
sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan.
Sementara kurikulum dibangun berlandaskan aqidah Islam
sehingga setiap pembelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu.
Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami tsaqofah islam dan nilai-nilai
yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang besar, tentu saja harus
disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya. Ilmu-ilmu terapan diajarkan
sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan
tertentu (formal).
Dalam proses pendidikan keberadaan peranan guru
menjadi sangat penting; bukan saja sebagai penyampai materi pelajaran (transfer
of knowledge), tetapi sebagai pembimbing dalam memberikan keteladanan (uswah)
yang baik (transfer of values).
Dalam Islam, negaralah yang berkewajiban untuk
mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan,
bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah,
metode pengajaran dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar
pendidikan dapat diperoleh rakayat secara mudah. Selain itu kesejahteraan guru
sebagai pendidik juga harus diperhatikan. Gaji yang diberikan hendaknya sepadan
dengan semua jasa yang telah dituangakn, sehingga guru tidak lagi mencari-cari
pekerjaan sambilan di tempat dan di waktu yang lain, dengan demikian guru akan
mampu bekerja secara fokus dan optimal karena tidak lagi khawatir dengan semua
kebuhutan hidup diri dan keluarganya.
Dengan demikian nuansa Islam akan selalu menjadi
atmosfer dalam kehidupan masyarakat. Kepribadian islam yang diajarkan sejak
dini akan meminimalisir adanya tindakan pembangkangan siswa terhadap gurunya,
sehingga meminimalisir pula tindakan sanksi dari guru kepada muridnya.
0 komentar:
Posting Komentar