Soal:
Bagaimana status nikah mut’ah yang
selama ini dipraktikkan oleh Syiah Imamiyah, Ja’fariyah atau Itsna
‘Asyariyah? Apakah masih dianggap sebagai hukum syariah atau tidak?
Jawab:
Mut’ah adalah pernikahan sementara, dengan tenggat waktu yang sudah diketahui (ma’lum), atau belum (majhul). Pernikahan mut’ah
ini jelas haram. Dasarnya adalah hadis dari Sabrah al-Juhani yang
menyatakan bahwa beliau pernah bersama Nabi saw. lalu Baginda bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي كُنْتُ
أَذِنْتُ لَكُمْ فِي اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَأَنَّ اللهَ قَدْ
حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ
مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيَخُلْ سَبِيْلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا
أَتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا
Wahai sekalian manusia, aku pernah
mengizinkan kalian menikahi secara mut’ah kaum perempuan. Sesungguhnya
Allah SWT telah mengharamkan nikah tersebut hingga Hari Kiamat. Karena
itu siapa saja yang masih memiliki mereka, hendaknya melepaskannya, dan
janganlah kalian mengambil sedikitpun apa yang kalian dapatkan (HR Ahmad dan Muslim).
عَنْ سَبْرَةَ الْجُهَنِي أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَةِ الْوَداَعِ نَهَى عَنْ
نِكَاحِ الْمُتْعَةِ
Dari Sabrah al-Juhani bahwa Rasulullah saw. saat Haji Wada’ telah melarang nikah mut’ah (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Karena itu nikah mut’ah
diharamkan berdasarkan nas hadis, bukan atas perintah Khalifah Umar bin
al-Khaththab ra. Tentu karena Khalifah Umar ra. tidak mempunyai
kewenangan untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Umar ra.,
sebagai khalifah, hanya mempunyai hak untuk mengadopsi hukum syariah
yang telah disyariatkan oleh Allah SWT. Khalifah Umar jelas tidak
mempunyai hak legislasi. Pendapatnya sama dengan pendapat Sahabat
manapun. Pendapatnya merupakan pendapat seorang mujtahid, bukan dalil
syariah.
Mengenai riwayat yang menyatakan bahwa Umar telah melarang nikah mut’ah,
kemudian larangannya ditaati oleh rakyatnya, maka larangan tersebut
merupakan bentuk implementasi hukum syariah yang telah disyariatkan oleh
Allah SWT, bukan karena perintah atau pendapat Umar. Alasannya, ketika
itu sebagian kaum Muslim belum mendengar hadis Rasulullah saw. tentang
keharaman nikah mut’ah sehingga mereka tidak pernah
membicarakannya. Nah, dalam kondisi seperti itu, Umar ra. bermaksud
memahamkan mereka, bahwa hukum nikah mut’ah itu haram. Karena
itu Umar pun menginstruksikan keharamannya agar hukum tersebut sampai
kepada orang yang sebelumnya belum pernah mendengarnya.
Kaum Muslim pun menaati hal itu karena
adanya hadis Sabrah yang menjelaskan keharamannya secara permanen, bukan
karena itu diperintahkan oleh Khalifah Umar ra. Mereka pun mengambil
hukum keharaman nikah mut’ah secara permanen tersebut berdasarkan hadis sahih di atas.
Tidak ragu lagi, nikah mut’ah jelas-jelas zina. Itu merupakan praktik persenggamaan pria dengan wanita tanpa nikah. Bahkan mut’ah
adalah bentuk legalisasi kemaluan wanita dengan cara yang telah
diharamkan oleh syariah secara permanen melalui hadis sahih. Ja’far bin
Muhammad, ketika ditanya tentang nikah mut’ah, beliau menjawab:
هِيَ الزِّنَا بِعَيْنِهِ
Itu merupakan perzinaan itu sendiri (HR al-Baihaqi).
Ibn Umar dengan isnad (jalur periwayatan) yang sahih menuturkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذِنَ لَنَا فِي الْمُتْعَةِ ثَلاَثًا ثُمَّ
حَرَّمَهَا، وَاللهَ لاَ أَعْلَمُ أَحَدًا تَمَتَّعَ وَهُوَ مُحْصَنٌ
إِلاَّ رَجَمْتُهُ بِالْحِجَارَةِ
Rasulullah saw. pernah mengizinkan
kami nikah mut’ah sebanyak tiga kali, kemudian mengharamkan nikah
tersebut. Demi Allah, saya tidak tahu ada seorang pun yang telah
melakukan nikah mut’ah, ketika dia sudah pernah menikah [muhshan],
kecuali pasti kami rajam dia dengan batu (HR Ibn Majah).
Dengan kata lain, Ibn ‘Umar pun memandang nikah mut’ah sebagai bentuk perzinaan. Status orang yang melakukan nikah mut’ah dihukumi sama persis sebagai orang yang berzina. Negara akan menjatuhkan sanksi kepada pelakunya dalam bentuk hadd, sebagai orang yang melakukan zina. Dia akan dicambuk sebanyak 100 kali cambukan jika belum pernah menikah [ghayru muhshan]. Dia akan dirajam dengan batu jika dia pernah menikah [muhshan].
Nikah mut’ah ini juga tidak bisa dianggap nikah syubhat, sebagaimana pernikahan yang dilakukan dengan akad yang fasid. Pasalnya, nikah mut’ah tidak bisa disebut pernikahan, bahkan pernikahan yang batil sekalipun. Sebaliknya, nikah mut’ah ini murni zina. Secara meyakinkan, pelakunya akan dikenai sanksi.
Namun, jika mazhabnya membolehkan nikah mut’ah, seperti mazhab Ja’fari, maka harus diteliti terlebih dulu. Jika Imam [Khalifah] tidak mengadopsi pandangan tentang nikah mut’ah,
maka terhadapnya tidak akan diterapkan hukum yang berbeda dengan
mazhabnya. Alasannya, karena mazhab Ja’fari sama dengan mazhab Hanafi,
yang status ijtihadnya tetap diakui sebagai ijtihad syar’i. Pendapat yang mereka gali juga merupakan hukum syariah karena mazhab tersebut mempunyai syubhat dalil.
Sebab, Ja’far as-Shadiq merupakan mujtahid yang diakui, yang berpijak
pada dalil yang beliau miliki. Namun, jika Imam [Khalifah] mengadopsi
keharaman nikah mut’ah, kemudian menginstruksikan keharamannya,
maka pelakunya pun akan dijatuhi sanksi, siapapun dia, baik penganut
mazhab Hanafi, Ja’fari maupun yang lain. Pasalnya, perintah Imam
[Khalifah] bisa menghilangkan perselisihan. Selain itu karena perintah
Imam [Khalifah] itu wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin.
Karena itu sanksi untuk pelaku nikah mut’ah akan dijatuhkan kepada siapapun yang melakukan itu.
Imamiyah atau Ja’fariyah mengatakan tentang kebolehan nikah mut’ah. Menurut mereka, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab-kitab mereka, hakikat nikah mut’ah
adalah pernikahan sementara dengan tenggat waktu yang sudah diketahui
atau belum, atau maksimal 45 hari. Nikah tersebut batal, begitu
tenggatnya berakhir, bagi wanita yang sudah menapause, atau dua kali masa haid bagi yang belum menapause, empat bulan sepuluh hari bagi yang ditinggal mati suaminya.
Ketentuannya, mut’ah ini tidak mengharuskan mahar, kecuali yang dipersyaratkan; tidak pula mengharuskan nafkah dan masa ‘iddah, kecuali bersihnya rahim [istibra’]
sebagaimana yang telah disebutkan. Nasab pun tidak bisa ditetapkan,
kecuali jika dipersyaratkan. Dalil mazhab Imamiyah atau Ja’fariyah
adalah, bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan rukhshah untuk mut’ah. Rukhshah ini pun tetap berlanjut. Nabi saw. pun tidak pernah mengharamkannya, setelah rukhshah tersebut.
Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas tentang berlanjutnya rukhshah tersebut. Ma’mar dengan sanad-nya, telah sampai kepada dia, bahwa Ibn ‘Abbas telah menyatakan rukhshah me-mut’ah wanita. Beliau berkata kepada dia, “Rasulullah saw. telah melarang muth’ah pada Perang Khaibar, juga daging keledai jinak.” (HR Ahmad)
Hanya saja, as-Suhaili berkomentar, “Tidak
pernah diketahui dari ahli sirah dan para periwayat atsar [hadis],
bahwa Nabi saw. telah melarang mut’ah pada Perang Khaibar.”
Abu ‘Iwanah berkata dalam kitab Shahih-nya, “Aku
mendengar ahli ilmu berkomentar, makna hadis ‘Ali yang menyatakan,
bahwa Nabi saw. telah melarang daging keledai jinak pada Perang Khaibar,
sementara mut’ah Baginda diamkan. Dari Ibn ‘Uyainah berkata, bahwa
larangan pada Perang Khaibar itu tentang daging keledai jinak.”
Bagi yang membolehkan mut’ah, mereka mengingkari bahwa Nabi saw. telah melarang mut’ah pada Perang Khaibar. Mereka berargumen dengan dalil yang menyatakan rukhshah untuk mut’ah setelah Perang Khaibar, yaitu Perang Hunain dan Tahun Penaklukan Makkah.
Mereka mengatakan, kehalalan mut’ah itu telah disepakati. Apa yang telah disepakati itu statusnya qath’i, sedangkan keharamannya itu masih diperselisihkan. Padahal apa yang diperselisihkan itu statusnya zhanni, sementara yang zhanni tidak bisa menghapus yang qath’i. Mereka lalu menyatakan bacaan Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, Ubay bin Kaab, Said bin Jubair yang menyatakan:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَّى أَجَلٍ مُسَمَّى
Apa yang kalian nikmati dari mereka [kaum perempuan] hingga tenggat waktu tertentu.
Kata mereka, ini menjadi dalil tentang kebolehan nikah mut’ah.
Berbagai pandangan dan dalil-dalil ini
jelas batil dan tidak layak digunakan untuk beragumen. Mengenai
Rasulullah saw. pernah memberikan rukhshah untuk melakukan mut’ah, memang benar, dan tidak ada perselisihan. Namun, setelah Baginda memberikan rukhshah, beliau pun mengharamkannya. Jadi, mut’ah itu pertama-tama, ketika dibolehkan, bukan merupakan hukum asal [‘azimah], tetapi merupakan rukhshah, kemudian rukhshah ini dihapus dengan pengharaman mut’ah secara permanen.
Jadi, masalahnya tidak terkait dengan
pernikahan tertentu sebelumnya yang telah disyariatkan oleh syariah,
tetapi terkait dengan rukhshah yang telah diberikan oleh syariah. Masalahnya juga tidak terkait dengan syariah yang telah memberikan rukhshah untuk melakukan mut’ah, tetapi terkait dengan apakah rukhshah
ini telah dihapus atau tidak? Jika status penghapusannya sahih, maka
harus diikuti. Hukum yang telah dihapus pun harus segera ditinggalkan.
Andai saja informasi penghapusan tersebut dinyatakan dalam hadis ahad, maka hukum yang dinyatakan dalam hadis mutawatir dan dalil qath’i
pun bisa dihapus. Contohnya, kaum Muslim pernah shalat menghadap Baitul
Maqdis, kiblat pertama mereka. Itu pun telah ditetapkan dengan dalil mutawatir. Ketika shalat menghadap Baitul Maqdis tersebut dihapus, berita penghapusan tersebut sampai kepada kaum Muslim melalui khabar ahad. Mereka pun mengubah arah kiblatnya ke Ka’bah, ketika mereka sedang shalat, dan menyelesaikan shalat mereka.
Karena itu hukum yang menghapus wajib dilaksanakan seketika, begitu penghapusannya terbukti, meski melalui jalur ahad. Rukhshah untuk mut’ah ini
dihapus dengan keharaman secara permanen, yang ditetapkan berdasarkan
hadis sahih. Kaum Muslim pun wajib mengambil hukum ini dan meninggalkan
hukum yang dihapus. Mengenai riwayat Ibn ‘Abbas yang menyatakan rukhshah
tersebut tetap berlaku, maka ada juga riwayat dari beliau yang
menegaskan, bahwa beliau telah menarik pendapat ini setelah hadis
tentang keharaman mut’ah yang bersifat permanen ini sampai kepada beliau.
Mengenai riwayat penarikan Ibn ‘Abbas
dari pendapatnya itu telah dinyatakan oleh sejumlah kalangan. Mereka,
antara lain, Muhammad bin Khalaf, yang dikenal dengan nama Waki’ dalam
kitabnya, Al-Qarar min al-Akhbar, dengan sanad-nya yang bersambung ke Said bin Jubair. Imam al-Baihaqi, juga Abu ‘Iwanah, dalam kitab Shahih-nya, telah meriwayatkan hal yang sama. Selain itu Ibn ‘Abbas adalah sahabat. Pernyataannya bukan hujjah. Pendapatnya juga bukan dalil syariah sehingga tidak layak dijadikan sebagai dalil.
Tentang riwayat dari ‘Ali, bahwa larangan pada saat Perang Khaibar tersebut tentang daging keledai jinak, sedangkan mut’ah didiamkan Nabi saw., maka ada riwayat lain dari ‘Ali bin Abi Thalib, dalam kitab-kitab Shahih, yang disepakti kesahihannya, berbeda dengan riwayat tersebut. Dari ‘Ali ra:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُوْمِ
الْحِمَرِ اْلاَهْلِيِّةِ زَمَنَ خَيْبَر
Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang nikah mut’ah dan daging keledai jinak pada Perang Khaibar.
Dalam riwayat lain dinyatakan:
نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُوْمِ الْحِمَرِ الاهلية الانسية
Nabi saw. telah melarang me-mut’ah wanita pada Perang Khaibar dan daging keledai jinak.”
Mengenai riwayat Ibn ‘Uyainah, bahwa
larangan pada Perang Khaibar itu tentang daging keledai jinak memang
benar dari aspek riwayat tentang peristiwa larangan yang terjadi pada
saat Perang Khaibar. Nabi saw. memang telah melarang daging keledai
jinak dalam satu peristiwa. Kemudian setelah itu, Baginda melarang nikah
mut’ah dalam peristiwa yang lain. Ibn ‘Uyainah telah meriwayatkan dari az-Zuhri, dengan redaksi:
نَهَى عَنْ أَكْلِ الْحِمَرِ اْلأَهْلِيَةِ عَامَ خَيْبَرَ وَعَنْ الْمُتْعَةِ بَعْـدَ ذَلِكَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ الْيْوَمَ
Baginda saw. telah melarang memakan
daging keledai jinah pada Tahun Khaibar, dan nikah mut’ah setelahnya,
atau bukan pada hari itu.
Jadi, bagi mereka yang belum
mendengarkan larangan kedua, mereka menyatakan bahwa larangan tersebut
berlaku untuk daging keledai jinak. Adapun bagi mereka yang telah
mendengar larangan pertama dan kedua, mereka menyatukannya sekaligus,
sehingga mereka menyatakan larangan daging keledai jinak dan nikah mut’ah. Masing-masing riwayat ini sahih. Karena itu larangan nikah mut’ah
ditetapkan pada Perang Khaibar, dan ini tidak bisa dibenturkan dengan
orang yang menyatakan, bahwa yang dilarang hanyalah keledai jinak.
Sebab, ketika seseorang tidak mendengarkan larangan kedua, maka itu
tidak bisa menafikan bahwa dia mendengarkan yang lain. Jadi, sebagian
perawi yang tidak mendengar hadis yang melarang mut’ah pada
Perang Khaibar tidak serta-merta mencederai orang yang mendengarkan
hadis yang melarang nikah mut’ah pada Perang Khaibar itu sendiri.
Apalagi jika peristiwa pelarangan ini terjadi kemudian.
Tentang argumen mereka, bahwa kebolehan mut’ah itu telah disepakati. Apa yang telah disepakati itu statusnya qath’i, sedangkan keharaman mut’ah ini bersifat debatabel [zhanni]. Padahal yang zhanni tidak bisa menghapus yang qath’i. Masalah ini kembali pada terbukti dan tidaknya nasakh [penghapusan] tersebut; bukan karena yang menghapus ini statusnya zhanni, sedangkan yang dihapus berstatus qath’i.
Pasalnya, masalahnya tidak terkait dengan periwayatan nas, bahkan tidak
pula terkait dengan periwayatan hukum. Masalahnya adalah apakah hukum
ini telah dihapus atau belum; bukan terletak pada apakah boleh menghapus
hukum yang qath’i dengan yang zhanni? Masalahnya
terletak pada penghapusan hukum yang ditetapkan dengan sunnah, dengan
hukum lain yang juga ditetapkan dengan sunnah.
Jadi, masalah qath’i dan zhanni tidak relevan di sini, bahkan bukan merupakan pokok bahasan. Telah terbukti berdasarkan sunnah tentang kebolehan nikah nut’ah
pada masa awal Islam. Telah terbukti pula keharamannya pada Perang
Khaibar. Kemudian berdasarkan sunnah pula terbukti kebolehannya pada
Tahun Penaklukan Kota Makkah. Lalu pada saat yang sama, juga telah
terbukti hal itu diharamkan secara permanen. Jadi, masalahnya bukan
masalah penghapusan al-Qur’an dengan sunnah; bukan pula masalah
penghapusan riwayat mutawatir dengan ahad. Namun, masalahnya adalah masalah penghapusan hukum yang telah dinyatakan oleh as-Sunnah dalam hadis ahad, dengan hukum yang juga telah dinyatakan oleh as-Sunnah dalam hadis ahad. Karena itu masalah qath’i dan zanni tidak relevan untuk dikemukakan; begitu juga masalah penghapusan yang qath’i dengan yang zhanni.
Mengenai bacaan Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud,
Ubay bin Kaab dan Said bin Jubair, maka bacaan tersebut bukanlah
al-Quran. Pasalnya, bacaan tersebut diriwayatkan melalui jalur ahad. Bacaan tidak dianggap sebagai al-Quran kecuali yang dinyatakan melalui jalur mutawatir dan apa yang disampaikan kepada sejumlah orang yang peryataan mereka bisa dijadikan sebagai hujjah yang qath’i. Al-Quran itu tak lain merupakan riwayat yang dinukil secara mutawatir.
Pengetahuan kita tentang al-Quran sebagai al-Quran pun merupakan
pengetahuan yang meyakinkan. Inilah satu-satunya al-Quran dan itulah
yang bisa menjadi hujjah. Selain itu bukan al-Quran dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Jadi, apa yang dinukil kepada kita dalam bentuk ahad, seperti Mushaf Ibn Mas’ud, maupun yang lain, bukanlah al-Quran, dan tidak bisa dijadikan hujjah. Karena itulah maka status bacaan ini bukanlah al-Quran, juga bukan sunnah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai argumen.
Alhasil, pandangan Imamiyah atau Ja’fariyah tentang kebolehan nikah mut’ah merupakan pandangan yang batil dan tidak berpijak pada satu dalil pun. Dalil mereka sebenarnya dalil rukhshah. Padahal rukhshah
ini telah dihapus dengan hadis sahih. Menggunakan dalil yang telah
dihapus merupakan pendalilan yang batil, yang tidak boleh dijadikan
pijakan, selama tahu bahwa dalil tersebut telah dihapus.
Selain itu mereka juga bersandar pada
hadis-hadis Perang Khaibar. Kata mereka, hadis-hadis Perang
Khaibar—terlepas dari adanya larangan tersebut—tidak bisa digunakan
untuk mengharamkan mut’ah secara permanen; juga tidak bisa digunakan untuk tidak mengharamkan mut’ah secara permanen. Pasalnya, Rasulullah saw. telah memberikan rukhshah setelah Perang Khaibar sehingga hadis-hadis ini tidak membahas keharaman mut’ah secara mutlak, juga tidak mengharamkannya secara permanen.
Padahal yang menjadi pembahasan adalah pengharaman mut’ah
itu terjadi pada Tahun Penaklukan Kota Makkah. Dengan kata lain, yang
menjadi pembahasan adalah hadis sahih dari Sabrah, yang menegaskan
keharaman nikah mut’ah secara permanen. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
hti press/ syabab indonesia
0 komentar:
Posting Komentar