Al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât menyatakan, secara bahasa as-salam artinya at-taqdîm wa at-taslîm (persembahan dan penyerahan). Menurut al-Jauhari di dalam Ash-Shihâh fi al-Lughah, al-Fayruz Abadi dalam Al-Qâmûs al-Muhîth dan Zainuddin ar-Razi dalam Mukhtâr ash-Shihâh, as-salam adalah as-salaf.
Adapun secara syar’i an-Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan, “Dalam hal batasan as-salam mereka menyebutkan berbagai ungkapan. Yang paling baik bahwa as-salam itu adalah akad atas sesuatu yang dideskripsikan ada dalam tanggungan (mawshûf[un] fî adz-dzimmah) dengan kompensasi yang diberikan segera. Disebut salam karena penyerahan harga di majelis akad dan disebut salaf karena harga dikedepankan.”
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz II menjelaskan bahwa as-salam
adalah orang menyerahkan kompensasi yang kontan pada kompensasi yang
dideskripsikan dalam tanggungan sampai tempo. Dengan kata lain, orang
mengutangkan harta sebagai harga barang yang akan ia terima kemudian
setelah tempo tertentu.
Imam al-Mawardi menyebutkan bahwa as-salaf adalah istilah penduduk Hijaz, sedangkan as-salam adalah istilah penduduk Irak. Dalam as-salam, barang yang di-salam disebut al-muslam fîhi, harga disebut ra’su al-mâl, penjual disebut al-muslam ilayhi dan pembeli disebut shâhib as-salam.
As-Salam hukumnya boleh. An-Nawawi menyatakan, kaum Muslim telah sepakat atas kebolehan as-salam. Kebolehan as-salam/as-salaf itu juga dengan jelas dinyatakan oleh nas. Ibn ‘Abbas pun menegaskan kebolehan as-salam. Dalilnya adalah QS al-Baqarah ayat 282. As-Salam merupakan dayn (utang). Ibn Abbas ra. menuturkan, “Nabi
saw. datang ke Madinah, sementara mereka melakukan salaf dengan kurma
dua dan tiga tahun. Nabi saw. bersabda, ‘Siapa yang melakukan salaf pada
sesuatu maka hendaklah pada takaran yang jelas dan timbangan yang jelas
sampai tempo yang jelas.’” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah; redaksi menurut al-Bukhari).
As-Salam merupakan jual-beli. Padanya berlaku hukum dan syarat jual-beli umumnya. Ibn Hajar al-‘Ashqalani dalam Fath al-Bârî dan al-Manawi dalam ‘Awn al-Ma’bud menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa untuk as-salam disyaratkan apa yang disyaratkan untuk jual-beli dan atas penyerahan harga di majelis.”
Ibn Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan, “As-Salam adalah salah satu jenis jual-beli. As-Salam terakadkan dengan apa-apa yang dengannya jual-beli terakadkan dan dengan ungkapan salam atau salaf. Di dalamnya diakui syarat-syarat yang diakui dalam jual-beli.”
Meski bagian dari jual-beli, untuk as-salam/as-salaf, syariah menambahkan hukum-hukum tertentu yang bersifat khusus. Karena itu akad as-salam memiliki hukum-hukum tambahan dari akad jual-beli umumnya sehingga disebut dengan sebutan khusus, yaitu as-salam/as-salaf.
As-Salam/As-Salaf merupakan pengecualian dari larangan “lâ tabi’ ma laysa ‘indaka (Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu). Jadi as-salam/as-salaf menjadi jenis jual-beli yang spesifik. Sebagai pengecualian dari kaidah tersebut, maka sesuatu yang boleh dilakukan as-salam harus dinyatakan oleh nas.
Dengan merujuk pada nas-nas, kita menemukan bahwa as-salam
boleh dilakukan pada semua yang ditakar, ditimbang dan dihitung.
Kebolehan pada barang yang ditakar dan ditimbang jelas dinyatakan dalam
hadis di atas. Adapun kebolehan pada barang yang dihitung karena adanya
Ijmak Sahabat bahwa as-salam pada makanan adalah boleh sebagaimana telah dinukil oleh Ibn al-Mundzir di dalam al-Ijmâ’. Selain itu Ibn Abi Awfa ra., menuturkan, “Sungguh kami melakukan salaf pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar dan Umar pada gandum, jewawut, kismis dan kurma.” (HR al-Bukhari).
Makanan itu termasuk komoditi yang
sifatnya tidak keluar dari sifat ditakar, ditimbang atau dihitung.
Karena itu hukumnya berkaitan dengan bagaimana makanan itu diukur baik
dengan takaran, timbangan atau hitungan. Dengan begitu, riwayat ini
menyatakan kebolehan as-salam/as-salaf pada barang yang dihitung.
Dengan demikian, kebolehan as-salam/as-salaf itu tidak untuk semua jenis barang; melainkan hanya pada barang yang standarnya menggunakan takaran, timbangan atau hitungan (al-makîl, al-mawzûn dan al-ma’dûd).
Selain itu ada syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi sehingga akad as-salam/as-salaf itu sah, yakni syarat tentang al-muslam fîh (barang yang di-salam), syarat tentang ra’su al-mâl (harga) dan tentang tempo.
Syarat tentang al-muslam fih (barang yang di-salam). Menurut an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim,
disyaratkan kadarnya harus jelas dengan takaran, timbangan atau
selainnya yang dengannya ditentukan. Jika dengan hasta maka harus jelas
berapa hasta. Jika hitungan harus jelas berapa hitungannya. Ibn Bathal
di dalam Syarh Ibn Bathal menyebutkan, “Para ulama sepakat bahwa tidak boleh salam
kecuali dalam takaran yang jelas atau timbangan yang jelas untuk barang
yang ditakar atau ditimbang. Mereka juga sepakat dalam barang yang
tidak ditakar dan ditimbang maka harus ada hitungan (jumlah) yang jelas.
Mereka sepakat bahwa harus diketahui sifat sesuatu yang di-salam.”
Dengan demikian, al-muslam fîhi
itu harus jelas jenisnya dan sifatnya, misalnya beras cianjur, beras
setra ramos, jeruk medan, kedelai lokal, minyak kelapa, madu hutan, kain
dengan jenis tertentu, dsb. Sebab, jika jenis dan sifat berbeda,
harganya juga berbeda. Ketidakjelasan hal itu akan menyebabkan
perselisihan, sementara adanya akad itu harus memutus perselisihan.
Al-Muslam fîh itu adalah mawshûfun fî adz-dzimmah,
dideskripsikan (jenis dan sifatnya) yang dijamin akan diserahkan
setelah tempo tertentu. Karena itu jenis dan sifat barang yang
menyebabkan perbedaan harga harus ditentukan sehingga harga benar-benar
sebanding dengan barang al-muslam fîh itu.
Al-Muslam fîh itu juga harus
jelas timbangannya, apa dan berapa (sekian kg, sekian kuintal, sekian
ton, dsb), jelas takarannya apa dan berapa (sekian liter, sekian galon,
sekian meter, sekian meter kubik, dsb); hitungannya apa dan berapa
(sekian biji, sekian lusin, dsb). Kejelasan jenis, sifat, takaran,
timbangan dan hitungan itu merupakan syarat as-salam sebagaimana jelas dinyatakan oleh hadis riwayat Ibn ‘Abbas di atas. Tanpa ada kejelasan semua itu maka akad as-salam/as-salaf itu menjadi tidak sah.
Dalam as-salam, juga harus jelas temponya, kapan al-muslam fîh
itu diserahkan kepada pembeli. Kejelasan itu menjadi syarat sebagaimana
dinyatakan dalam hadis di atas. Jika tidak jelas tem-ponya, maka akad as-salam/as-salaf itu tidak sah.
Al-Muslam fîh itu hendaknya bisa diserahkan pada saat jatuh tempo. Mafhum (konotasi) “sampai tempo yang jelas” adalah wajib adanya barang itu pada saat jatuh tempo.
Syarat tentang harga (ra’su al-mâl). Harga as-salam harus jelas sesuai taqrir Nabi saw atas hal itu. Ibn Abi Awfa al-Aslami berkata: Kami
berperang bersama Rasulullah saw. ke Syam. Orang-orang pedalaman dari
penduduk Syam datang kepada kami lalu kami memesan (men-salaf) kepada
mereka gandum dan minyak dengan harga dan tempo yang jelas. Lalu
dikatakan kepada Abi Awfa, “Dan dari orang yang memiliki hal itu?” Abi
Awfa menjawab, “Kami tidak menanyai mereka.” (HR Abu Dawud).
Abu Bakar al-Humaidi di dalam Musnad al-Humaidiy meriwayatkan dari Ibn Abbas ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
مَنْ سَلَّفَ فَلْيُسْلِفْ فِى ثَمَنٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ وَكَيْلٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Siapa yang melakukan salaf, hendaklah pada harga yang jelas, timbangan yang jelas, takaran yang jelas, sampai tempo yang jelas.
Harga itu harus diserahkan di awal,
pada saat akad, sebagaimana yang disepakati oleh para ulama. Sebab, Nabi
saw. datang di Madinah, sementara masyarakat melakukan salam dan disetujui oleh Rasul saw. Fakta as-salam yang terjadi adalah harga disegerakan, yakni dibayar pada saat akad. Sebab, sebagaimana pernyataan Ibn Abbas, as-salam itu termasuk dayn (utang), dan utang itu salah satu kompensasi harus kontan dan yang satu dengan tempo. Pasalnya, al-muslam fîh
yang ditempo, maka harga harus kontan. Selain itu, jika harga juga
diutang, maka itu menjadi jual beli utang dengan utang, dan itu
dilarang.
Jadi harga dalam as-salam syaratnya harus dibayar diawal saat akad. Jika tidak dibayar saat akad maka akad as-salam itu batal seluruhnya. Jika dibayar sebagian, maka akad as-salam hanya terjadi pada kadar yang harganya dibayar itu. Adapun yang belum dibayar maka padanya tidak terjadi akad as-salam, melainkan itu baru komitmen, dan sifatnya tidak mengikat.
Dalam hal harga ini, tidak boleh terjadi ghabn fâhisy,
yaitu selisih harga yang tidak wajar dengan harga normal, menurut para
pelaku pasar. Jika terjadi, pihak yang ditipu berhak untuk membatalkan
akad atau menerima dan melanjutkannya.
Mengenai penyerahan barang, barang wajib
diserahkan kepada pembeli setelah tempo yang disepakati. Jika saat
jatuh tempo, barang tidak diserahkan oleh penjual (al-muslam ilayh) maka pembeli (shâhib as-salam) punya khiyar:
antara meminta kembali harga yang ia bayarkan atau tetap melanjutkan
akad dan meminta penjual menyerahkan barang itu disertai kelonggaran
waktu tambahan. Pembeli itu tidak boleh mengambil kecuali harga yang
sudah ia bayarkan. Jika ia mengambil nilai barang yang dia pesan dalam
bentuk uang—biasanya lebih banyak dari harga yang ia bayar awalnya—maka
pada saat itu ia mengambil harta (uang) sebagai kompensasi harta (uang)
sehingga kelebihan tersebut merupakan riba. Jika ia mengambil barang
lain sebagai pengganti barang yang dia pesan, artinya ia telah
mengakadkan akad jual-beli baru, yaitu ia menjual barang yang dia pesan
dengan barang lain. Jadi ia telah melangsungkan dua jual-beli dalam satu
jual-beli, dan itu dilarang. Juga berarti dia menjual barang yang belum
diterima, dan yang demikian dilarang oleh Rasul saw. Mengambil nilai
barang dalam betuk uang atau barang lain itu, keduanya adalah haram.
Nabi saw. melarang shâhib as-salam mengalihkan barang yang dipesan ke barang lain. Dari Ibn Umar ra. ia berkata: Nabi saw. bersabda:
مَنْ اَسْلَفَ شَيْئًا فَلاَ يَشْتَرِطْ عَلَى صَاحِبِهِ غَيْرَ قَضَائِهِ
Siapa saja yang melakukan salaf pada sesuatu maka janganlah mensyaratkan kepada penjual selain penunaian barang yang dia pesan (HR ad-Daraquthni).
Jika saat jatuh tempo, barang yang diserahkan hanya sebagian, maka pembeli punya tiga pilihan. Pertama: menerima sebagian barang yang diserahkan dan meminta kembali harga barang yang tidak diserahkan. Kedua: membatalkan akad seluruhnya dan meminta kembali seluruh harga yang dia bayarkan. Ketiga: meminta penyerahan barang seluruhnya dan memberi kelonggaran waktu untuk itu.
Inilah sebagian ketentuan syariah tentang as-salam/as-salaf. Ketentuan lebih rinci bisa dirujuk pada sumber-sumber fikih.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]
() hti press/ syabab indonesia
0 komentar:
Posting Komentar