Mendengar fiqih syiah, mungkin yang terlintas di fikiran kita nikahmut’ah. Memang benar bahwa umumnya fiqih syiah mengakui adanya kawin kontrak alias nikah mut’ah.
Menarik untuk dicatat, ternyata dalam litelatur fiqih Zaidiyah –salah satu dari golongan syiah- nikah mut’ah justru
ditentang dan tidak dibenarkan. Dan penting juga untuk diketahui, bahwa
syiah tidak hanya satu kelompok saja melainkan terdiri dari banyak
kelompok, mazhab fiqih dan juga golongannya. Salah satunya mazhab fiqih Zaidiyah yang akan kita bahas ini.
Madzhab Fiqih Zaidiyah adalah madzhab Fiqih para pengikut Imam Zaid bin Ali Zainal-Abidin. Beliau adalah salah satu imam ahli bait (keluarga Nabi), yang merupakan cucu dari sayyidina Ali bin Abi thalib dari jalur Husain.
Keberadaan fiqih madzhab
Zaidiyah ini secara keseluruhan diakui dan diterima para ulama
ahlussunnah sebagai mazhab fiqih resmi. Artinya madzhab fiqih Zaidiyah
adalah madzhab fiqih yang diterima dan boleh diamalkan oleh muslim
dimana saja, karena sudah mendapat pengakuan.
Sebagaimana kita ketahui
setidaknya ada 7 madzhab fiqih yang diakui keberadaan oleh ulama dan
telah disepakati atas kebolehan mengikuti madzhab-madzhab tersebut.
Mereka adalah:
- Madzhab Imam Abu Hanifah An-Nu’man (150 H)
- Madzhab Imam Zaid bin Ali (122 H)
- Madzhab Imam Ja’far Al-Shadiq (148 H)
- Madzhab Imam Anas bin Malik (179 H)
- Madzhab Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (204 H)
- Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal (241 H)
- Madzhab Imam Abu Daud Al-Dzahiri (270 H)
Kemudian, dalam kitab Ushul Al-Madzahib Al-Islamiyah, Syeikh Muhammad Abu Zahrah menambahkan satu madzhab lagi, yaitu madzhab Imam Ibnu Taimiyyah (728 H). Namun sejatinya beliau adalah pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Tidak Banyak Berbeda Dengan Ahlu Sunnah
Madzhab fiqih Zaidiyah
adalah madzhab fiqih syiah yang paling dekat dengan ahli sunnah,
sebagaimana umumnya pengakuan banyak ulama.
Al-Ustadz Muhammad Al-Khudhari Bik dalam kitabnya Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, menyebutkan
alasan kenapa madzhab Zaidiyah banyak diterima oleh Ahlu sunnah. Alasan
yang paling utama karena madzhab ini tidak sama sekali menghina Shaikhan; Abu Bakar dan Umar bin Khathtab. Mereka hanya lebih mendahulukan atau mengutamakan Ali bin Abi Thalib ketimbang keduanya.
Ulama mencatat
setidaknya hanya ada 3 perbedaan mendasar dimana fiqih madzhab Zaidiyah
menyelisihi para ulama ahlussunnah. Dan ini juga yang dituliskan oleh
Sheikh Al-Hafnawi dalam kitabnya Al-Fath Al-Mubin fi Ta’riif Musthalah Al-Fuqaha’ wa Al-Ushuliyiin.
- Mereka tidak mengakui masyru'iyah al-mashu ‘ala al-khuffain(mengusap dua khuf).
- Mereka juga mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan seorang wanita kitabiyah, baik Nasrani atau Yahudi. Sedangkan madzhab fiqih Ahli Sunnah membolehkan itu.
- Mereka mengharamkan sembelihan selain muslim, sedangkan madzhab fiqih ahli sunnah membolehkan memakan sembelihan Ahli Kitab.
Hanya di ketiga masalah ini saja madzhab fiqih Zaidiyah berselisih dengan madzhab fiqih Ahli Sunnah.
Madzhab fiqih Zaidiyah
ini termasuk madzhab Syiah yang tidak diskriminatif dalam menerima
hadits. Mereka juga menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh selain
pengikut syiah itu sendiri. Mereka menerima riwayat tsiqah (orang terpercaya) dari kalangan ahli sunnah, sebagaimana mereka juga menerima riwayat tsiqah dari kalangan mereka sendiri.
Bukan hanya menerima,
mereka juga menjadikannya sebagai dalil atas sebuah hukum. Disinilah
letak titik penyebab kenapa banyak pendapat Imam Zaid atau madzhab
Zaidiyah secara keseluruhan tidak banyak berbeda dengan madzhab-madzhab
Fiqh Ahli sunnah. Ternyata ada kesamaan jalur riwayat yang digunakan.
Berbeda dengan madzhab Syiah Imamiyah yang tidak mau menerima riwayat tsiqah selain
dari kalangannya sendiri. Jadi wajar saja, banyak pendapat fiqih Syiah
Imamiyah yang berbeda dengan madzhab Ahli Sunnah, bahkan dengan madzhab
Zaidiyah sekalipun.
Imam Zaid Menerima Riwayat Dengan Adil
Salah satu faktor yang
membuat Imam Zaid begitu adil menerima periwayatan dari kalangan ulama
ahlusunnah karena pandangannya yang memang berbeda dari kelompok syiah
lainnya, khususnya tentangImamah.
Kelompok syiah mayoritas
berkeyakinan bahwa kepemimpinan setelah Rasulullah SAW wafat itu
seharusnya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib dan bukan Abu Bakar atau
Umar. Dalam aqidah yang tertanam di dada mereka, Nabi SAW telah
mewasiatkan tongkat khilafah kepada Ali secara langsung, dan bukan
dengan dipilih atau musyawarah.
Dalam pandangan mereka, hanya keturunan Alawiyin-lah
yang pantas menduduki kursi kepimpinan. Sementara Abu Bakar dan Umar
dianggap telah merampas kepimpinan dari tangan Ali. Karena itu mereka
berdua layak mendapat ejekan dan hinaan. Bahkan kebenciannya melebar
sampai memusuhi juga siapa pun yang mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan
Umar. Salah satu bentuknya adalah menolak semua periwayatan hadits dari
seluruh shahabat nabi ridhwanullahi 'alaihim, kecuali hanya beberapa orang yang mereka anggap sebagai ahlulbait.
Ini jelas berbeda dengan
apa yang ditunjukkan oleh Imam Zaid bin Ali. Beliau memang masih
memandang bahwa yang seharusnya mendapat kursi kepimpinan selepas
wafatnya Nabi SAW adalah Ali bin Abi Thalib. Tetapi tidak mengapa juga
kalau bukan Ali yang jadi khalifah, cuma dianggap kurang afdhal. Dalam
pandangan mereka, Ali tetap yang terbaik.
Imam Zaid memandang
bahwa Ali adalah sebaik-baik sahabat, tetapi tidak mencela atau
mencaci-maki Abu Bakar atau Umar. Dan tentunya juga tidak mengkafirkan.
Justru pemikiran seperti itu adalah objek yang selalu diluruskan oleh
Imam Zaid kepada pengikutnya.
Kita akan takjub dengan
apa yang dilakukan oleh Imam Zaid kalau kita tahu bagaimana kerasnya
upaya beliau dalam meluruskan pandangan para kelompok syiah terhadap Abu
Bakar dan Umar. Imam Al-Syihristanidalam kitabnya Al-Milal wa Al-Nihal (1/153) menyebutkan hal ini dengan tegas.
Maka masuk akal kalau mazhab Zaidiyah sama sekali tidak mempermasalahkan periwayatan hadits dari semua shahabat, walaupun tidak mendukung Ali sebagai khalifah. Yang terpenting ialah hadits itu diriwayatkan oleh orang yang tsiqah dan mendapat rekomendasi daritsiqah lainnya yang sezaman. Maka hadits itu mereka terima apa adanya.
Al-Majmu’ Al-Kabir
Banyak dari para pendiri
mazhab fiqih yang tidak menuliskan sendiri fatwa dan ijtihadnya. Tetapi
para muridnya yang kemudian menuliskan dan membukukan fatwa serta
ijtihad para Imam tersebut.
Imam Abu Hanifah tidak
menuliskan fatwa-fatwa Fiqihnya. Akan tetapi madzhab Imam Abu Hanifah
terbukukan oleh muridnya yaitu Ya’qub Abu Yusuf (182 H) dan Muhammad
(bin Hasan Al-Syaibani (189 H).
Hal yang sama terjadi
dalam madzhab Zaidiyah ini. Imam Zaid bin Ali tidak menuliskan sendiri
pendapat-pendapat fiqihnya. Madzhabnya kemudian tersebar atas jasa salah
seornag muridnya, Abu Khalid bin Amr bin Khalid Al-Wasithy[1]. Beliau lah yang membukukan riwayat-riwayat Imam Zaid bin Ali.
Riwayat haditsnya disebut dengan Majmu’ Al-hadits, sedangkan riwayat fiqih-nya (fatwa dan ijtihad) disebut dengan Majmu’ Al-Fiqh. kedua kitab induk ini disebut oleh kebanyakan ulama Zaidiyah dengan istilah Al-Majmuu’ Al-Kabiir.
Dan kitab ini mendapat
sambutan baik dari hampir seluruh ulama zaidiyah di zamannya dan zaman
setelahnya, bahkan sampai sekarang.
Zaidiyah Bukan Rafidhah
Banyak orang kurang
cermat dengan menyama-ratakan seluruh kelompok syiah, bahwa semuanya
sesat dan jahat. Padahal kalau agak teliti sesungguhnya syiah dan
kelompok-kelompok yang dinisbatkan sebagai syiah penuh dengan
pernak-pernik.
Memang umumnya kelompok
syiah menempatkan Abu Bakar dan Umar sebagai perampas kekuasaan. Dan
umumnya mereka meyakini bahwa kursi khilafah hanya boleh diduduki hanya
oleh Alawiyin saja. Yang lain tidak boleh.
Tetapi syiah Zaidiyah
lain sendiri. Mereka justru menentang itu semua. Imam Zaid bin Ali
berseberangan pandangan dengan kelompok Rafidhah(artinya: penolak/penentang). Justru mereka menolak semua penghinaan kepada Abu Bakar dan Umar. Dan malah sebutan rafidhah itu sendiri disematkan oleh Imam Zaid bin Ali kepada mereka yang menentang kemuliaan sahabat Abu Bakr dan Umar.
Dalam kitab Musnad Imam Zaid bin Ali (hal.
11) diceritakan bahwa beliau (Imam Zaid) pernah didatangi sekelompok
orang dari kalangan syiah yang sangat membenci Abu Bakar dan Umar.
Mereka berkata:
“Wahai Imam (Zaid),
Tabarro’ (berlepas diri lah!) dari Abu Bakar dan Umar (maksudnya,
lepaskan diri dari penghormatan kepada Abu Bakr dan Umar). Kalau kau
sudah ber-tabarro’ dari keduanya, kami akan membaiat anda wahai Imam!”
Imam Zaid dengan tegas menjawab: “Tidak! Aku tidak akan berlepas diri dari mereka berdua (Abu Bakr dan Umar)”. Mereka menanggapi: “kalau gitu, kami menolakmu (Rafdh)”.
Imam Zaid tanpa basa basi menjawab,"Baik, pergilah kalian. Kalian semua adalah penolak/penentang! (Rafidhah)”
Sejak saat itulah istilah 'rafidhah' digunakan bagi mereka yang membenci dan menentang sayyidina Abu Bakr dan sayyidina Umar. Dan nama'zaidiyah' digunakan bagi mereka yang mengikuti Imam Zaid dalam pandangannya terhadap Abu Bakar dan Umar.
Cerita ini juga dinukil oleh Sheikh Ali bin Ibrahim Al-Halabi dalam kitabnya, Al-Sirah Al-Halabiyah (2/49).
Imam Zaid bin Ali
Beliau hidup di masa
yang sama dengan Imam Abu Hanifah, yaitu ketika pergolakan politik dan
perpindahan kekuasaan antara Bani Umayah danAhl Bait. Yang
menyedihkan ialah beliau hidup di zaman banyak dari keluarga dibunuh,
termasuk kakek beliau sendiri yaitu Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Karena itu banyak sejarawan menyebut bahwa hidupnya Imam Zaid penuh
dengan air mata dan kesedihan.
Beliau lahir antara tahun 75 – 80 Hijriyah, dan besar dalam lingkungan para ahli agama dari kalangan alawiyin. Tak
tahan dengan tekanan yang diberikan oleh pemerintahan Bani Umayah yang
ketika itu dipimpin oleh Hisyam bin Abd. Malik, akhirnya beliau pindah
ke Syam dan juga Madinah dan menetap lama di kota Nabi SAW itu.
Beliau berguru dalam fiqih ahlulbait kepada Imam Muhammad bin Al-Hasan yang merupakan sepupu ayahnya, Imam Ali Zainal-Abidin bin Al-Husain. Dan juga mengambil ilmu dari kakaknya, Imam Muhammad Al-Baqir, seorang ahli fiqih Syiah ketika itu.
Hebatnya, beliau tidak hanya bergaul dengan kalangan alawiyin saja tetapi juga kepada semua kalangan. Maka wajar kalau muridnya pun banyak yang bukan dari kalangan alawiyin, diantara yang masyhur ialah Imam Abu Hanifah, dan juga Sufyan Al-Tsauri.
Tentang kecerdasannya, Imam Al-Zirikly, dalam kitabnya Al-A’lammenukil pujian Imam Abu Hanifah kepada Imam Zaid. Imam Abu Hanifah berkata:
“Aku tidak melihat
ada yang lebih pintar dari Imam Zaid di zamannya, dan juga tidak
menemukan orang yang bisa secepat Imam Zaid dalam menjawab pertanyaan,
serta lugas penjelasannya”
Beliau wafat tahun 122 Hijriyah dalam peperangan di kufah.
Wallahu a’lam.
[1] Tidak dipastikan tahun wafat beliau. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Taqriib Al-Tahdziib mengatakan
bahwa beliau meninggal setelah tahun 120 H. sedangkan Imam Abu Zahroh
mengatakan bahwa ia wafat antara tahun 150 – 175 Hijriyah.
Ahmad Zarkasih, Lc (rumahfiqih)
0 komentar:
Posting Komentar