Nabi saw. Pun Membolehkan Nikah Beda Agama?
Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman
Soal:
Benarkah Islam melegalkan pernikahan
beda agama? Pasalnya, bukankah Nabi saw. pernah membiarkan pernikahan
Abu al-‘Ash bin Rabi’ dengan putrinya, Zainab binti Muhammad, padahal
Abu al-‘Ash musyrik, sementara Zainab telah memeluk Islam?
Jawab:
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dan didudukkan dengan cermat. Pertama: tentang definisi pernikahan, dan bagaimana fakta pernikahan pada zaman Jahiliah dan Islam. Kedua: kehidupan Zainab, Abu al-‘Ash bin Rabi’ dan pernikahan mereka. Ketiga: hukum pernikahan sebelum dan setelah Hijrah ke Madinah. Keempat: tindakan Nabi saw. terhadap pernikahan mereka.
Secara harfiah, nikah berarti wath’i (bersetubuh), jam’i (berkumpul) dan dhamm (bergabung). Adapun secara istilah, para fuqaha’ berbeda dalam membuat definisi.1 Namun, definisi yang paling rajih (kuat), sebagaimana yang dikemukakan oleh salah satu mazhab Syafii:
النِّكَاحُ هُوَ عَقْدٌ عَلَى اِسْتِبَاحَةِ مَنَافِعِ الزَّوْجَيْنِ وَلاَ تَمَلُّكِهَا وَتَمْلِيْكِهَا
Nikah adalah akad untuk mendapatkan kemubahan manfaat (jasa) suami-istri, bukan memiliki dan memindahkan manfaat (jasa) itu.2
Realitas pernikahan pada zaman Jahiliah memang menunjukkan dua aspek ini, yaitu aspek tamalluk al-manafi’ (memiliki jasa) dan istibahatu al-manafi’ (izin memanfaatkan jasa). Dalam hadis ‘Aisyah dituturkan:
Pernikahan pada zaman Jahiliah ada
empat macam. Di antaranya pernikahan orang seperti sekarang ini. Seorang
pria melamar kepada pria lain anak perempuan yang berada di bawah
kewaliannya (waliyyah) dan anak perempuannya, lalu dia memberikan mahar
kemudian menikahi perempuan tersebut. Pernikahan lain adalah seorang
pria mengatakan kepada istrinya, ketika dia telah suci dari haidnya,
“Datanglah kamu kepada Fulan. Mintalah keturunan darinya.” Suaminya lalu
menjauhi (tidak meniduri) dia, tidak menyentuh dia hingga saat tampak
telah hamil dari pria yang dimintai keturunannya itu. Ketika
kehamilannya tampak jelas, perempuan tersebut akan dinilai melakukan hal
yang benar oleh suaminya jika suaminya menginginkan hal demikian. Dia
melakukan itu karena ingin mendapatkan bibit unggul. Pernikahan seperti
ini disebut nikah istibdha’. Pernikahan lain adalah, sekelompok pria
berkumpul, jumlahnya kurang dari sepuluh. Mereka menyetubuhi seorang
perempuan. Semuanya mendapatkan bagian dari perempuan tersebut. Jika dia
hamil, dan melahirkan, kemudian berlalu beberapa malam setelah
melahirkan, maka dia mengirimkan surat kepada pria-pria tersebut. Tak
seorang pun di antara mereka bisa mengelak hingga semuanya berkumpul di
dekat perempuan tersebut. Dia lalu berkata kepada mereka, “Kalian sudah
tahu hasil perbuatan kalian. Sekarang saya sudah melahirkan. “ Lalu dia
akan menunjuk pria yang diinginkan dengan mengatakan, “Ini anakmu, wahai
Fulan.” Anak ini pun dinisbatkan kepada dia. Tak seorang pun di
antaramereka bisa mengelak. Pernikahan keempat, ketika banyak orang
berkumpul, lalu mereka meniduri seorang perempuan, dan perempuan ini
tidak bisa menolak siapun yang datang kepada dia. Perempuan-perempuan
ini adalah pelacur. Mereka telah memasang bendera di pintu-pintu mereka
sebagai pertanda. Siapa saja yang menginginkan wanita itu, dia bisa
masuk dan meniduri dirinya. Jika salah seorang di antaranya hamil, lalu
melahirkan anaknya, para pria itu dikumpulkan, mereka pun diundi. Anak
perempuan tadi kemudian dinisbatkan kepada pria yang mereka sepakati.
Ketika Muhammad saw. diutus dengan membawa kebenaran, semua pernikahan
Jahiliyah itu dihancurkan, kecuali pernikahan orang saat ini (HR al-Bukhari).3
Berdasarkan hadis di atas, satu-satunya
bentuk pernikahan yang pernah dipraktikkan pada zaman Jahiliah, dan
dinyatakan legal adalah pernikahan yang ada saat ini. Bentuk pernikahan
lainnya telah dibatalkan oleh Islam. Karena itu, banyak Sahabat Nabi,
termasuk Rasulullah saw. sendiri, ketika menikah dengan istri mereka
sebelum Islam, maka ketika Islam datang, mereka tidak mengulangi akad
pernikahan mereka. Kondisi ini juga terjadi pada pernikahan Abu al-‘Ash
bin Rabi’ dengan Zainab putri Rasulullah saw.
Zainab putri Rasulullah saw. adalah anak
pertama pasangan Nabi Muhammad saw. dengan Khadijah binti Khuwailid.
Pasangan ini menikah 15 tahun sebelum Nabi saw. diutus oleh Allah SWT.
Zainab sendiri lahir sebelum bi’tsah. Ada yang mengatakan lahir 10 tahun sebelum bi’tsah.
Zainab dinikahkan oleh Nabi dengan Abu al-‘Ash bin Rabi’, yang tak lain
masih saudara sepupu Zainab sendiri, putra saudara Khadijah, Halah
binti Khuwailid.4 Pernikahan ini terjadi sebelum bi’tsah.5 Meski sebelum bi’tsah, pernikahan mereka merupakan bentuk pernikahan sebagaimana yang kemudian dilegalkan oleh Islam.
Setelah Nabi saw. diutus oleh Allah,
seluruh keluarga beliau memeluk Islam, tak terkecuali Zainab. Namun, Abu
al-‘Ash, yang merupakan tokoh Makkah, yang dikenal kaya, amanah dan
pebisnis itu tidak mau memeluk Islam.6 Mereka tetap menjadi suami-istri,
hingga Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Ketika Nabi saw. berangkat
hijrah ke Madinah, Zainab ikut, namun suaminya, Abu al-‘Ash, tidak. Dia
tetap di Makkah dan tetap memeluk agama kaumnya.
Ketika Perang Badar tahun ke-2 H, Abu
al-‘Ash ikut berperang melawan kaum Muslim, dan dia berhasil dijadikan
tawanan perang. Ketika mendengar “suami”-nya menjadi tawanan, Zainab
mengirimkan kalung warisan Khadijah sebagai tebusan. Karena kalung itu
begitu sarat kenangan dalam hati Nabi, Nabi saw. meminta agar Abu
al-‘Ash dibebaskan tanpa tebusan. Dalam riwayat Ibn Ishaq, Rasulullah
saw. menetapkan syarat, agar Abu al-‘Ash mengirimkan Zainab kepada Nabi
saw. di Madinah. Setelah dia memenuhi syarat ini, dia pun bebas, dan
kembali ke Makkah.7
Pada tahun 6 H, sebelum Perjanjian Damai
Hudaibiyah, Abu al-‘Ash melakukan perjalanan dari Makkah ke Syam. Saat
mendekati Madinah, sebagian kaum Muslim ingin menghadang dia, mengambil
hartanya dan membunuh dirinya. Rencana itu sampai ke telinga Zainab.
Zainab pun bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, bukankah akad
dan janji kaum Muslim itu satu?” Nabi menjawab, “Benar.” Zainab berkata, “Saksikanlah, bahwa aku memberikan perlindungan kepada Abu al-‘Ash.”
Ketika hal itu sampai ke telinga para
Sahabat Nabi saw, mereka keluar menemui Abu al-‘Ash tanpa membawa
senjata. Mereka berkata kepada Abu al-‘Ash, “Wahai Abu al-‘Ash, kamu
adalah termasuk orang terpandang kaum Quraisy, dan anak paman Rasulullah
saw, sekaligus menantunya. Apakah kamu mau masuk Islam sehingga kamu
bisa menjadikan ghanimah harta penduduk Makkah yang kamu bawa?” Dia
menjawab, “Betapa buruk apa yang kalian perintahkan kepadaku, aku akan
mengganti agamaku dengan pengkhianatan.”
Dia pun meninggalkan tempat itu dan
kembali ke Makkah. Dia mengembalikan harta dan amanah kepada yang
berhak, lalu berkata kepada mereka, “Wahai penduduk Makkah, apakah
tanggunganku sudah ditunaikan?” Mereka menjawab, “Benar.” Lalu dia
berkata, “Aku bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah,
kecuali Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Dia tiba di Madinah sebagai orang yang
berhijrah. Nabi saw. pun mengembalikan istrinya kepada dia dengan nikah
yang pertama.8 Namun, dalam riwayat lain, Nabi saw. mengembalikan dia
dengan akad nikah baru.9 Peristiwa ini menurut al-Hakim terjadi lima
bulan sebelum Perjanjian Hudaibiyah.10
Adapun larangan menikah dengan orang musyrik dinyatakan oleh Allah SWT:
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ
Janganlah kalian menikah dengan
perempuan kafir musyrik sebelum mereka beriman (memeluk ugama Islam).
Sesungguhnya seorang hamba perempuan yang beriman itu lebih baik
daripada perempuan kafir musyrik sekalipun menarik hati kamu. Janganlah
kalian (menikahkan perempuan Islam) dengan lelaki kafir musyrik sebelum
mereka beriman (memeluk agama Islam). Sesungguhnya seorang hamba lelaki
yang beriman lebih baik daripada seorang lelaki musyrik sekalipun
menarik hati kalian (Yang demikian ialah) karena orang-orang kafir itu
mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan memberi
keampunan dengan izin-Nya (QS al-Baqarah [2]: 221).
Ayat ini merupakan ayat Madaniyah yang diturunkan setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah. Demikian juga ayat berikut:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ
لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada masa ini dihalalkan bagi kalian
(memakan makanan) yang lezat-lezat dan baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Kitab itu adalah halal bagi kalian. Makanan
(sembelihan) kalian pun halal bagi mereka (tidak salah kalian memberi
makan kepada mereka). (Dihalalkan kalian menikah) dengan perempuan yang
menjaga kehormatan-nya di antara perempuan yang beriman, juga
perempuan-perempuan yang menjaga kehor-matannya dari kalangan
orang-orang yang diberikan Kitab lebih dulu daripada kalian jika kalian
memberi mereka maskawinnya, sedang-kan kalian (dengan cara yang
demikian) menikah, bukan berzina, dan bukan pula kalian mengambil mereka
menjadi perempuan simpanan (QS al-Maidah [5]: 5).
Kedua ayat ini merupakan ayat Madaniyah.
QS al-Baqarah [2]: 221 menyatakan keharaman pria Muslim menikahi wanita
musyrik, juga wanita Muslimah menikah dengan pria musyrik. Dengan
turunnya ayat ini, apa yang belum diatur sebelumnya, termasuk kasus
pernikahan Zainab dengan Abu al-‘Ash, jelas tidak berlaku. Karena itu
riwayat yang menyatakan, bahwa Zainab dikembalikan kepada Abu al-‘Ash
tanpa akad baru bisa dianggap bertentangan dengan ayat ini. Dengan
begitu, kalaulah sahih, maka secara dirayah harus ditolak.
Adapun QS al-Maidah [5]: 5, yang
menyatakan kebolehan perempuan Ahli Kitab dinikahi oleh pria Muslim,
tetapi tidak sebaliknya, tidak bisa digunakan untuk melegalkan kasus
“pernikahan Abu al-‘Ash dengan Zainab” setelah turunnya QS 2: 221.
Pasalnya, posisi QS al-Maidah [5]: 5 ini men-takhshis QS
al-Baqarah [02]: 221. Dengan demikian keharaman menikah dengan orang
musyrik hanya berlaku untuk orang musyrik, bukan untuk Ahli Kitab,
dengan ketentuan yang telah diatur dalam QS 5: 5, antara lain: harus
memenuhi kriteria muhshanat (menjaga kesucian), bukan diajak berzina (ghayra musafihat) dan menjadi simpanan (wa la muttakhidzat akhd[an]).
Mengenai diamnya Nabi saw. terhadap
pernikahan Abu al-‘Ash dan Zainab saat di Makkah, juga tidak bisa
dijadikan dalil, bahwa status pernikahan seperti sah hingga sekarang.
Diamnya Nabi saw. memang merupakan bagian dari sunnah. Namun, peristiwa
ini terjadi sebelum QS 2: 221 dan QS 5: 5 diturunkan. Setelah kedua ayat
ini diturunkan, hukum tersebut telah dihapus. Ini dikuatkan dengan
riwayat yang menyatakan, bahwa mereka dinikahkan ulang oleh Nabi dengan
akad dan mahar baru. WalLahu a’lam. [] hti press/ syabab indonesia
Catatan kaki:
1 Perbedaan definisi tersebut berkisar antara memiliki (tamalluk) atau izin menggunakan manfaat (istibahah). Ada yang mengatakan, pernikahan itu tamalluk al-manfaat (memiliki manfaat). Ada yang mengatakan istibahah al-manafi’ (izin mendapatkan manfaat). Untuk membedakan jasa (manfaat) dalam akad nikah dengan akad ijarah.
Meski sama-sama dilakukan terhadap jasa, jasa yang didapatkan dalam
akad nikah bukan dimiliki, tetapi untuk digunakan sendiri. Adapun jasa
dalam akad ijarah untuk dimiliki sehingga boleh dinikmati sendiri, boleh dijualbelikan dan dipindahtangankan. Lihat: Al-Jaza’iri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, IV/10-11.
2 Al-Khathib as-Syarbini
menyatakan, bahwa ada dua pendapat di kalangan mazhab Syafii, apakah
pernikahan itu identik dengan memiliki atau hanya sekadar kebolehan
untuk memanfaatkan? Beliau menegaskan, pendapat yang paling kuat adalah
yang kedua, yaitu ibahah (kebolehan untuk memanfaatkan), bukan milk (memiliki). Lihat: as-Syarbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfadh Abi Syuja’, Dar al-Khair, Beirut, cet. I, 1996, II/561; Al-Jaza’iri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, IV/10-11.
3 Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar al-Fikr, Beirut, 1981 M/1401 H, VI/132.
4 Ibn Hajar al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1995 M/1415 H, VIII/151.
5 Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/207.
6 Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/207.
7 HR Ibn Ishaq. Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/208.
8 HR al-Hakim dengan sanad
yang sahih. Riwayat ini didukung oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn
Majjah melalui jalur Dawud bin al-Hushain, dari ‘Ikrimah dari Ibn
‘Abbas. Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/207.
9 HR at-Tirmidzi dan Ibn Majjah
melalui jalur Hajjaj bin Artha’ah dari ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya,
dari kakeknya. Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/209.
10 Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Ibid, VII/208.
0 komentar:
Posting Komentar