Menurunnya partisipasi masyarakat di pemilu dan pilkada membuat gerah para aktivis dan lembaga pendukung demokrasi. Kepercayaan masyarakat akan demokrasi diperkirakan akan semakin menurun di pesta "boros" demokrasi 2014. Berbagai persoalan semacam perilaku korup dan munafik para punggawa demokrasi, ketidakadilan, kezaliman dan buruknya sistem sekuler demokrasi menambah jumlah masyarakat yang sadar terhadap busuknya sistem demokrasi sekuler.
Maraknya pernyataan-pernyataan anggota masyarakat yang menyatakan akan golput pada pemilu menjadi indikasi lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Terlebih lagi sebenarnya golput merupakan hal yang dibolehkan oleh Undang-Undang.
“Kalau dalam UU yang berlaku saat ini, itu statusnya ya boleh saja, tidak mandatori (wajib memilih calon yang ada, red),” ungkap Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Prof Dr Djohermansyah Djohan seperti dilansir Tabloid Media Umat Edisi 119, Jum’at (2-16 Januari).
Setidaknya ada beberapa hal yang membuat masyarakat berbondong-bondong untuk golput pada pemilu yatiu karena faktor teknis, psikologis dan ideologis.
Faktor teknis biasanya dikarenakan hal teknis terkait pencatatan data pemilih, kesibukan pemilih, dan hal teknis lainnya.
Faktor psikologis yakni masyarakat sudah semakin sadar akan perilaku busuk dan munafik para penyelenggara negara dan wakil rakyat. Maraknya kasus korupsi yang terungkap, kezaliman penguasa terhadap masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang memberatkan rakyat, ketidakadilan yang menimpa rakyat dalam masalah hukum, ekonomi, politik,dll.
Faktor Ideologis yakni sebagian masyarakat memiliki pemahaman ideologi yang berbeda dengan ideologi sekuler demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Sebagian masyarakat ini memahami buruknya ideologi sekuler demokrasi dan memiliki alternatif ideologi lain yang diperjuangkannya untuk menggantikan ideologi cacat sekuler demokrasi.
Maraknya pernyataan-pernyataan anggota masyarakat yang menyatakan akan golput pada pemilu menjadi indikasi lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Terlebih lagi sebenarnya golput merupakan hal yang dibolehkan oleh Undang-Undang.
“Kalau dalam UU yang berlaku saat ini, itu statusnya ya boleh saja, tidak mandatori (wajib memilih calon yang ada, red),” ungkap Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Prof Dr Djohermansyah Djohan seperti dilansir Tabloid Media Umat Edisi 119, Jum’at (2-16 Januari).
Setidaknya ada beberapa hal yang membuat masyarakat berbondong-bondong untuk golput pada pemilu yatiu karena faktor teknis, psikologis dan ideologis.
Faktor teknis biasanya dikarenakan hal teknis terkait pencatatan data pemilih, kesibukan pemilih, dan hal teknis lainnya.
Faktor psikologis yakni masyarakat sudah semakin sadar akan perilaku busuk dan munafik para penyelenggara negara dan wakil rakyat. Maraknya kasus korupsi yang terungkap, kezaliman penguasa terhadap masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang memberatkan rakyat, ketidakadilan yang menimpa rakyat dalam masalah hukum, ekonomi, politik,dll.
Faktor Ideologis yakni sebagian masyarakat memiliki pemahaman ideologi yang berbeda dengan ideologi sekuler demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Sebagian masyarakat ini memahami buruknya ideologi sekuler demokrasi dan memiliki alternatif ideologi lain yang diperjuangkannya untuk menggantikan ideologi cacat sekuler demokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar