
(Tafsir QS ath-Thariq [86]: 8-10)
إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ * يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ * فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَلا نَاصِرٍ *
Sesungguhnya Allah benar-benar
kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati) pada hari dinampakkan
segala rahasia. Karena itu sekali-kali tidak ada bagi manusia itu
suatu kekuatan pun dan tidak (pula) seorang penolong (QS ath-Thariq [87]: 8-10).
Ayat-ayat ini kemudian memastikan
tentang kekuasaan Allah SWT dalam mengembalikan manusia setelah
kematiannya. Jika Allah SWT kuasa menciptakan manusia, maka tidak sulit
pula bagi Allah untuk menghidupkan lagi manusia setelah mati. Ini adalah
bukti nyata yang dapat membungkam siapa pun yang mengingkari Hari
Kebangkitan. Realitas ini seharusnya memberikan dorongan lebih kuat bagi
manusia untuk menjadi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Innahu ‘alâ raj’ihi laqâdir (Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikan dia [hidup sesudah mati]). Kata ar-raj’ merupakan bentuk mashdar. Artinya, al-i’âdah (mengembalikan).1
Al-Qâdir merupakan bentuk fâ’il dari kata al-qudrah (kekuasaan, kekuatan, kemampuan). Dijelaskan al-Asfahani, jika kata tersebut dinisbatkan kepada Allah SWT, maka meniadakan al-‘ajz (kelemahan, kekurangan, kegagalan) dari-Nya. Kepada selain Allah mustahil dinisbatkan al-qudrah yang mutlak secara makna meskipun secara lafal dapat disebutkan. Dapat dikatakan: qâdir ‘alâ kadzâ (dia mampu atas itu). Ketika dikatakan: Huwa qâdir (dia mampu), maka itu dalam pengertian terbatas. Oleh karena itu, tidak ada satu pun selain Allah yang disifati dengan al-qudrah dalam
satu aspek kecuali disifati dengan kelemahan dalam aspek lainnya. Allah
SWT adalah Zat yang ditiadakan dari-Nya kelemahan dari semua aspek. 2
Dhamîr (kata ganti) yang pertama, yakni pada kata innahu, tidak ada kata tersurat yang mendahuluinya sebagai kata yang digantikan. Meskipun demikian, dhamîr tersebut jelas merujuk kepada Allah SWT, sebagaimana diterangkan para mufassir.3
Dijelaskan oleh an-Nasafi, kesimpulan tersebut didasarkan firman Allah SWT sebelumnya, yakni: khuliqa (telah diciptakan). Artinya, sesungguhnya Zat yang menciptakan manusia dari nuthfah.4 Bahkan
menurut ar-Razi, sekalipun tidak disebutkan secara lafal—namun sudah
ada kata yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Allah SWT—telah
ditetapkan secara akal bahwa yang berkuasa untuk melakukan tindakan
tersebut hanya Allah SWT.5
Adapun dhamîr kedua, yakni pada kata raj’ihi, ada beberapa penjelasan. Ada yang mengatakan bahwa dhamîr tersebut kembali pada al-mâ‘ (air) yang dipancarkan. Dengan demikian pengertian ayat tersebut adalah: Sesungguhnya Allah, untuk mengembalikan nuthfah ke tempat yang mengeluarkannya, benar-benar berkuasa.6 Sebagaimana dikatakan adh-Dhahhak dan Mujahid, ayat ini berarti: Sesungguhnya Allah benar-benar berkuasa untuk mengembalikan air (yang dipancarkan itu) ke al-ihlîl (saluran air kencing). Keduanya juga berkata: Sesungguhnya Dia benar-benar kuasa untuk mengembalikan air itu ke shulbi.7
Menurut sebagian lainnya, dhamîr tersebut merujuk kepada manusia. Pendapat ini terbagi menjadi dua. Pertama: Allah SWT berkuasa mengembalikan manusia, dari keadaan besar menjadi kecil. Adh-Dhahak menafsirkannya, “Jika
Aku menghendaki, niscaya Aku dapat mengembalikan manusia dewasa menjadi
pemuda, lalu menjadi anak-anak, dan akhirnya kembali lagi menjadi
nuthfah.”8
Kedua: Allah SWT benar-benar berkuasa menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya. Dikatakan Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan ‘Ikrimah: Sesungguhnya Allah SWT benar-benar kuasa untuk mengembalikan manusia setelah kematian.9 Pendapat ini juga dipilih oleh ath-Thabari. Menurut ath-Thabari, makna yang tepat ayat ini adalah: Sesungguhnya
Allah benar-benar berkuasa untuk mengembalikan manusia—yang tercipta
dari air yang terpancar itu—setelah kematiannya menjadi hidup kembali,
seperti menciptakan manusia sebelum kematiannya.10
Mufassir lain yang memilih pendapat ini
adalah Fakhruddin ar-Razi, al-Khazin, al-Kalbi, al-Wahidi an-Naisaburi,
al-Biqa’i, Ibnu ‘Athiyah, as-Samarqandi, asy-Syaukani, dan lain-lain.11
Tampaknya pendapat yang terakhir ini
lebih tepat. Sebab, makna tersebut lebih memiliki kesesuaian dengan ayat
sebelum dan sesudahnya. Jika dalam ayat sebelumnya Allah SWT
mengingatkan manusia tentang penciptaannya dan asal-muasalnya, maka ayat
sesudahnya memastikan bahwa Hari Kiamat pasti terjadi. Dengan demikian
ayat ini mengaitkan keduanya: Jika Allah SWT berkuasa menciptakan
manusia dari air yang terpancar tubuh laki-laki dan perempuan, maka
Allah berkuasa pula untuk menghidupkan lagi manusia pada Hari Kiamat.
Ayat berikutnya pun menerangkan peristiwa yang akan terjadi pada hari itu. Allah SWT berfirman: yawma tublâ as-sarâir (pada hari dinampakkan segala rahasia). Kata yawma di sini berarti Hari Kiamat.12 Adapun kata tublâ berasal dari kata al-balâ‘. Pengertian al-balâ‘ adalah ikhtibâr (ujian, cobaan). Dengan demikian, sebagaimana dinyatakan ar-Razi, tublâ berarti tukhtabar (diuji).13 Dikemukakan al-Kalbi, balâ‘uhâ adalah mengenali dan menelaahnya.14
Kemudian, kata as-sarâir merupakan bentuk jamak dari kata as-sarîrah (rahasia
yang disimpan); yakni apa yang disimpan oleh seorang hamba dalam
hatinya, baik akidah, niat dan perbauatan yang disembunyikan.15
Dengan demikian, pengertian tublâ as-sarâir, sebagaimana diterangkan al-Baidhawi, adalah diketahui dan dibedakan antara perbuatan baik dengan perbuatan buruk yang disimpan dan disembunyikan.16
Dikatakan ath-Thabari, pengertian ayat
ini adalah pada hari rahasia-hasia hamba diuji, maka tampaklah ketika
itu apa yang disembunyikan di dunia dari pandangan manusia pada berbagai
fardhu yang diwajibkan dan dibebankan kepada dirinya. Menurut mufassir
tersebut, pendapatnya itu bersesuaian dengan Atha‘ bin Abi Rahab yang
mengatakan bahwa as-sarâir dalam ayat ini adalah puasa, shalat dan mandi janabah.17
Al-Khazin juga mengutip pendapat yang mengatakan bahwa as-sarâir adalah
berbagai amal fardhu tersebut. Semuanya adalah rahasia antara seorang
hamba dengan Tuhannya. Sebab, kadang ada seseorang mengatakan, “Saya telah shalat,” padahal dia belum shalat; “Saya telah berpuasa,” padahal dia belum berpuasa; “Saya telah mandi,”
padahal dia belum mandi. Karena itu, pada Hari Kiamat itu akan
diperiksa, siapa saja yang menunaikan dan siapa pula yang
mengabaikannya.18
Perkara tersebut memang termasuk dalam
rahasia yang dapat disembunyikan manusia. Akan tetapi, tentu tidak
dibatasi hanya perkara tersebut. Sebab, kata as-sarâir dalam
ayat ini bersifat umum. Karena bersifat umum, kata tersebut mencakup
semua perkara yang dirahasikan dan disembunyikan manusia. Dikemukakan
al-Qadhi Abu Muhammad, perkara tersebut (puasa, shalat, dll) merupakan
perkara agung. Qatadah mengatakan, makna dalam ayat ini, umum dalam
seluruh rahasia.19
Diterangkan oleh Abdurrahman as-Sa’di,
diperiksa rahasia dada dan ditampakkan apa yang dalam hati, kebaikan
maupun keburukan di wajah mereka (Lihat: QS Ali Imran [3]: 106).
Di dunia, banyak perkara yang tertutup
dan tidak tampak secara kasatmata oleh manusia. Adapun pada Hari Kiamat,
tampaklah kebajikan orang-orang shalih dan kedurhakaan orang-orang
durhaka, dan semua perkara menjadi terang.20
Mengenai penampakkan keburukan
orang-orang jahat, juga diberitakan dalam hadis sahih, dari Ibnu Umar
ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِذَا جَمَعَ اللَّهُ
الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لِكُلِّ غَادِرٍ
لِوَاءٌ فَقِيلَ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنِ بْنِ فُلاَنٍ
Ketika Allah mengumpulkan seluruh
manusia mulai dari yang pertama hingga yang terakhir, tiap-tiap orang
yang berkhianat akan diangkat bendera. Dikatakan, “Ini adalah
pengkhiana-tan Fulan bin Fulan.” (HR Muslim).
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Famâ lahu min quwwat[in] wa lâ nâshir[in] (Sekali-kali tidak ada bagi manusia itu suatu kekuatan pun dan tidak [pula] seorang penolong). Dhamîr pada kata lahu merujuk kepada manusia. Dengan demikian ayat ini menegaskan bahwa pada hari itu manusia tidak memiliki quwwah (kekuatan) dan nâshir (penolong).
Diterangkan oleh Ibnu ‘Athiyah, di dunia manusia mencegah perkara yang tidak disukai dengan dua aspek. Pertama: dengan kekuatan yang ada pada dirinya. Kedua:
dengan pertolongan dari luar dirinya. Lalu Allah SWT memberitakan
tentang manusia, bahwa Dia melenyapkan kekuatan itu pada Hari Kiamat
sehingga tidak ada yang bisa melindungi dirinya dari keputusan Allah SWT
sedikit pun.21
Dengan demikian, seperti dikatakan Ibnu
Katsir, manusia ketika itu tidak mampu menyelamatkan dirinya dari azab
Allah, dan tidak juga seorang pun yang mampu melakukan itu.22
Kepastian Hari Kebangkitan
Ayat-ayat ini memberikan banyak pelajaran penting. Pertama:
kepastian datangnya Hari Kebangkitan. Itulah hari saat seluruh manusia
yang pernah hidup di dunia dibangkitkan. Mereka semua dihidupkan lagi
setelah kematiannya. Allah SWT membangkitkan mereka dari kubur (lihat QS
al-Hajj [22]: 7). Manusia telah menjadi tulang-belulang itu disusun
kembali hingga jari-jemarinya menjadi sempurna (lihat QS al-Qiyamah
[75]: 3-4).
Sebagian manusia menganggap mustahil
peristiwa itu terjadi. Bagiamana mungkin manusia yang tinggal
tulang-belulang, bahkan hampir tak tersisa jasadnya itu bisa dihidupkan
lagi. Apalagi kepada mereka akan ditunjukkan amal perbuatan yang telah
mereka lakukan sebelumnya. Pengingkaran beserta argumen sebagian orang
itu diberitakan dalam banyak ayat, seperti dalam firman Allah SWT:
أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا ذَلِكَ رَجْعٌ بَعِيدٌ
Apakah kami setelah mati dan setelah menjadi tanah (kami akan kembali lagi)? Itu adalah suatu pengembalian yang tidak mungkin (QS Qaf [50]: 3).
Hal ini diberitakan juga dalam QS
al-Isra’ [17]: 49 dan 98, al-Mukminun [23]: 82, ash-Shaffat [37]: 16 dan
53, al-Waqiah [56]: 47, an-Nazi’at [79]: 11, dan lain-lain.
Keraguan dan pengingkaran mereka itu
sesungguhnya tidak beralasan. Argumentasi mereka amat lemah dan mudah
dipatahkan. Inilah jawaban yang dituntunkan ayat ini. Bagi Allah SWT,
menghidupkan kembali seluruh manusia sesudah kematiannya adalah perkara
gampang. Tidakkah kalian perhatikan, bagiamana kalian diciptakan?
Bukankah asal-usul kalian adalah air mani yang dipancarkan, lalu
diciptakan Allah SWT menjadi manusia sempurna? Jika Allah SWT berkuasa
menciptakan kalian, maka tidak ada kesulitan bagi Dia untuk menghidupkan
lagi manusia. Bahkan lebih mudah lagi. Selain dalam ayat ini, jawaban
demikian juga disampaikan dalam beberapa ayat lainnya (Lihat, misalnya,
QS Yasin [36]: 78-79).
Bagi Allah SWT Yang Mahakuasa, amat
mudah membangkitkan seluruh manusia; dari yang awal hingga yang akhir.
Semuanya akan dibangkitkan dan dikumpulkan (Lihat: QS al-Waqi’ah [56]:
49-50). Demikian mudahnya bagi Allah SWT, kebangkitan seluruh manusia
itu terjadi hanya dalam satu teriakan (QS al-Nazi’at [79[: 13-14).
Sungguh bodoh orang yang meragukan dan
mengingkari Hari Kebangkitan. Sekalipun mereka tampak menggunakan akal
sebagai dasar argumentasinya dalam membantah datangnya Hari Kebangkitan,
sesungguhnya mereka tidak menggunakan akalnya. Sesungguhnya mereka
hanya mengikuti hawa nafsunya semata.
Ditampakkan Semua Rahasia
Kedua: ayat-ayat ini juga
memastikan bahwa pada Hari Kebangkitan kelak manusia akan dibuka semua
rahasianya. Jika di dunia ini manusia dapat menyembunyikan rahasianya di
hadapan manusia, maka tidak demikian pada Hari Kebangkitan. Saat itu,
seluruh amal manusia ditampakkan, yang baik maupun yang buruk. Bahkan
semua rahasia yang tersimpan dalam dada juga akan ditampakkan dan
diperiksa (Lihat pula: QS al-Haqqah [69]: 18).
Ketika itu, semua yang tersimpan dalam
dada dikeluarkan (Lihat: QS al-‘Adiyat [100]: 10). Tidak ada satu pun
amal yang terlewatkan. Bahkan amal yang telah dilupakan pelakunya pun
diperlihatkan kembali (Lihat: QS al-Mujadilah [59]: 6).
Tidak Ada Kekuatan yang Dapat Melindungi
Ketiga: ayat ini juga
mengingatkan ketidakberdayaan manusia dalam keputusan Allah SWT. Dia
tidak memiliki kekuatan untuk mencegah itu. Tidak pula penolong yang
dapat melindungi dan menyelamatkan dirinya.
Ketika manusia dibangkitkan, dia tidak
bisa menolak itu. Mereka hanya bisa terkejut dan mengaduh celaka ketika
dibangkitkan dari tidur panjangnya (Lihat: QS Yasin [36]: 52). Demikian
juga ketika harus menerima azab Allah SWT, tidak ada seorang pun yang
bisa mengelak. Mereka tidak mencegah ketika harus dilemparkan ke dalam
neraka (Lihat: QS al-Mulk [67]: 8). Ketika sudah berada di dalamnya,
sama sekali tidak bisa keluar:
كُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا أُعِيدُوا فِيهَا
Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka, mereka dikembalikan ke dalamnya (QS as-Sajdah [32]: 20).
Ketiadaan penolong bagi mereka pada Hari Kiamat juga disebutkan dalam firman Allah SWT:
فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
Rasakanlah (azab Kami). Tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun (QS Fathir [35]: 37).
Hal ini ditegaskan pula dalam QS
al-Ankabut [29]: 25 dan al-Ahzab [33]: 65. Ketika itu, harta dan
anak-anak tidak berguna lagi bagi mereka (Lihat: QS Ali Imran [3]: 10,
al-Mujadilah [58]: 17). Sungguh mereka mendapatkan azab yang dahsyat di
akhirat. Azab yang mereka ingkari itu benar-benar menimpa mereka. Tak
ada seorang pun yang dapat melindungi dirinya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
1 Al-Asfahani, Al-Mufardât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 342.
2 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmuyyah, 2001), 466; al-Asfahani, Al-Mufardât fî Gharîb al-Qur`ân, 657.
3 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 735; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta`wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihyâ` al-Turâts, 1998), 303; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 121.
4 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, 1998), 628. Lihat juga dalam asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 510; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5, 303
5 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 121.
6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 356.
7 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mihsriyyah, 1964), 7
8 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 358.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 20, 7.
10 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 358.
11 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 121; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 735; al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 416; al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 472; al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz (Damaskus: Dar al-Qalam, 1995), 1192; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 12 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 380; p Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5, 466; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol.
12 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 416; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 358; al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, 1192.
13 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 121.
14 Al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 472.
15 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 735; al-Kalbi, At-Tas-hîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2, 472. Lihat juga an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta`wîl, vol. 3, 628.
16 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5.
17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 358. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz , 1192.
18 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 416.
19 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5, 466.
20 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannân (tt: al-Risalah, 2000), 919.
21 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 5, 466.
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 369.
sumber: hti press
0 komentar:
Posting Komentar