
Oleh: Abu Furqan al-Banjary
Ada dua pendapat tentang hukum mendengarkan khutbah jum’at, yaitu:
Pertama, hukumnya wajib. Pendapat ini
dikemukakan oleh kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan
al-Auza’i. Ini juga merupakan pendapat ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Abdullah ibn
‘Umar dan Ibn Mas’ud. Bahkan kalangan Hanafiyah menyatakan bahwa setiap
yang diharamkan pada waktu shalat, diharamkan juga pada waktu khutbah,
sehingga pada waktu khutbah diharamkan makan, minum, bicara, walaupun
hanya sekedar bertasbih. Diharamkan juga melakukan amar ma’ruf dan nahi
munkar.
Kelompok pertama ini berdalil dengan firman Allah ta’ala:
وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا
Artinya: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang.” (QS. Al-A’raaf [7]: 204)
Juga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذا قلت لصاحبك يوم الجمعة أنصت والإمام يخطب فقد لغوت
Artinya: “Jika engkau berkata kepada temanmu
pada hari jum’at, ‘diam dan perhatikanlah’, sedangkan imam sedang
berkhutbah, maka engkau telah berbuat sia-sia.” (HR. Al-Bukhari [934].
Diriwayatkan juga oleh Muslim, Ahmad, Malik, Abu Dawud dan an-Nasai
dengan redaksi masing-masing)
Mereka juga beralasan bahwa khutbah jum’at seperti shalat, dan menempati posisi dua rakaat shalat wajib.
Kalangan Hanafiyah dan Hanabilah memberikan
pengecualian pada satu kondisi, yaitu saat memberikan peringatan pada
seseorang yang dikhawatirkan tertimpa kebinasaan. Sedangkan Malikiyah
memberikan pengecualian untuk zikir yang ringan, karena sebab tertentu,
misalnya mengucapkan tahlil, tahmid, istighfar, ta’awwudz dan shalawat
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka sendiri berbeda
pendapat tentang apakah zikir yang ringan tersebut wajib dibaca secara sirr atau tidak.
Kedua, hukum mendengarkan khutbah
jum’at adalah sunnah, bukan wajib. Pendapat kedua ini diajukan oleh
kalangan Syafi’iyah. Menurut mereka berbicara pada saat khutbah jum’at
tidak diharamkan, namun hanya dimakruhkan. An-Nawawi menceritakan bahwa
pendapat ini dikemukakan juga oleh ‘Urwah ibn Zubair, Sa’id ibn Jubair,
asy-Sya’bi, an-Nakha’i, ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari imam
Ahmad.
Hukum makruh ini mereka simpulkan dari proses men-jama’
dua dalil, yaitu hadits “Jika engkau berkata kepada temanmu pada hari
jum’at, ‘diam dan perhatikanlah’, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka
engkau telah berbuat sia-sia.”, dan hadits dalam Shahihayn dari Anas
radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedang khutbah di atas mimbar pada hari jum’at, seorang Arab badui
berdiri, kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, harta benda telah binasa,
dan keluarga kelaparan, maka berdoalah agar Allah menurunkan hujan
kepada kami’, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengangkat dua tangannya, sedangkan di langit tidak terlihat awan.
Hadits kedua ini mengindikasikan kebolehan berbicara saat khutbah ketika
ada hajat, sedangkan hadits pertama menunjukkan larangan, sehingga
kalangan Syafi’iyah mengambil kesimpulan hukum makruh (tidak haram)
berbicara saat khutbah jum’at, berdasarkan penggabungan dua dalil
tersebut.
Bahkan pada kondisi tertentu, seperti untuk
mengajarkan kebaikan, mencegah kemungkaran, memberikan peringatan kepada
seseorang akan adanya kalajengking, atau memberitahu orang buta tentang
keberadaan sumur di dekatnya yang bisa membahayakannya, menurut
Syafi’iyah dibolehkan dan tidak dimakruhkan baginya untuk berbicara.
Walaupun jika hanya dengan memberikan isyarat tanpa harus mengeluarkan
kata-kata dianggap cukup, maka itu lebih disukai.
Sebagai tambahan, jika seseorang tidak bisa
mendengar suara khatib karena jarak yang terlalu jauh, menurut Hanabilah
dan Syafi’iyah ia dianjurkan untuk membaca al-Qur’an, berzikir kepada
Allah, dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan
catatan ia tidak boleh meninggikan suaranya. Diriwayatkan bahwa ini
juga merupakan pendapat ‘Atha ibn Abi Rabah, Sa’id ibn Jubair, ‘Alqamah
ibn Qais, dan Ibrahim an-Nakha’i. Bahkan an-Nakha’i berkata,
‘Sesungguhnya aku membaca dua juz al-Qur’an, jika aku tidak bisa
mendengarkan khutbah jum’at’.
Rujukan:
Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
sumber: http://abufurqan.wordpress.com/2013/04/06/hukum-mendengarkan-khutbah-jumat/
Assalamualaikum ustad kalau menurut ulama yang mana yang lebih rajih
BalasHapus