728x90 AdSpace

  • Hot News

    Sabtu, 16 Maret 2013

    Liwa Roya, Representasi Budaya Visual dalam Perubahan Global


    Bendera putih bertuliskan dua kalimat syahadat (liwa) dan bendera hitam bertuliskan kalimat yang sama (raya) menurut  seniman Deni Junaedi bukanlah budaya visual baru.

    “Saya menyampaikan materi ini agar generasi Muslim mengingat sejarahnya. Tidak kagok pada bendera mereka sendiri! Bendera liwa dan roya bukanlah budaya visual baru, akan tetapi sudah menjadi sesuatu yang ma’lum karena  diwariskan secara turun temurun semenjak zaman Rasulullah,”  tegas dosen seni murni ISI Yogyakarta, Senin (11/3) di Gedung Sasana Ajiyasa Fakultas Seni Rupa ISI, Yogyakarta.



    Dalam seminar Budaya Visual dan Perubahan Global tersebut, ia menyatakan bahwa  liwa dan raya menjadi objek kajiannya dalam thesis pascasarjana yang mengantarkannya memperoleh predikat cumlaude di UGM tahun 2012 lalu.

    Mengadopsi dari thesis ini, jurnalis Majalah Visual Art tersebut mengelaborasi makalah berjudul BENDERA KHILAFAH; Representasi Budaya Visual dalam Perubahan Global.

    Menurutnya, dalam lintasan sejarah, bendera ini digunakan dalam peperangan di zaman Rasul dan para sahabat. Begitu pula kaum Muslimin di berbagai zaman menggunakannya sebagai simbol kehormatan mereka.

    Dalam makalahnya, Deni Junaedi melampirkan gambar-gambar seperti bendera pasukan Aceh, bendera, Kesultanan Cirebon, bendera prajurit Baghdad tahun 1237, bendera Kanjeng Kyai Tunggul Wulung Kesultanan Yogyakarta, termasuk bendera Muhammadiyah.

    “Semuanya mengenakan tulisan Laa Ilaaha Illallah, Muhammad Rasulullah,” tegasnya.

    Dengan latar belakang prediksi masa depan yang berada di tangan kaum Muslimin, tanda-tanda keruntuhan peradaban Barat, serta revolusi Islam Arab, khususnya Suriah, yang terus bergulir, dan adanya kemungkinan-kemungkinan Suriah menjadi A New Khilafah, Deni mengajukan bendera liwa dan roya ini sebagai objek budaya visual yang sedang mengemuka dalam perubahan di tingkat global.

    Bendera liwa dan roya tidak hanya berkibar di Suriah, tetapi juga di seluruh dunia. “Salah satu kelompok yang mengibarkannya secara masif di berbagai kota dunia adalah Hizbut Tahrir,” ungkapnya.

    Di samping itu, rinci Deni, bendera syahadat juga digunakan oleh berbagai pergerakan Islam, seperti Al Qaidah, Harakah Ash Shabab al Mujahidin di Somalia, pejuang Muslim Chechnya, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Forum Umat Islam di Indonesia.

    Perubahan global, menurut Deni, tidak hanya diprediksi oleh para peneliti tetapi telah dikabarkan dalam hadits nabi berabad lalu. Misalnya Hadits Riwayat Ahmad tentang Khilafah di atas metode kenabian. Juga hadits tentang Imam Mahdi, dan hadits terkait tanda-tanda kedatangannya.

    “Yaitu kemunculan laki-laki dari timur dengan panji-panji hitam kecil (raya), yang bergerak ke penguasa Syam dan memberikan ketaatan pada al Mahdi,” ujarnya menyampaikan benang merah hadits.

    Tentu saja tidak semua orang, misalnya orang di luar Islam, percaya pada pengkabaran hadits; ini sebagaimana orang Islam yang tidak diperbolehkan membangun kepercayaan berdasarkan ramalan suku Maya bahwa tahun 2012 menandai awal kelahiran zaman baru.

    “Akan tetapi, mengacuhkan keselarasan antara prediksi ilmiah, fakta sosial maupun politik, fenomena alam, dengan pengkabaran hadits adalah tergesa-gesa,” ungkapnya yakin.

    Tidak kurang 170-an peserta hadir memenuhi ruangan seminar. Kebanyakan merupakan pegiat seni rupa, di lingkungan ISI dan sekitarnya, baik mahasiswa, dosen, maupun umum. Turut hadir Pembantu Dekan I dan II, dan Dekan Fakultas Seni Rupa yang memberi sambutan.[] hizbut-tahrir.or.id, 16/03/2013
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Item Reviewed: Liwa Roya, Representasi Budaya Visual dalam Perubahan Global Rating: 5 Reviewed By: Anonim
    Scroll to Top