BADAN Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan penetapan formasi dan pengadaan pegawai negeri sipil (PNS) tidak sesuai kebutuhan sehingga membebani keuangan negara.
Hal itu disampaikan anggota III BPK Agung Firman Sampurna di Jakarta, kemarin, berdasarkan hasil analisis kinerja atas proses penetapan formasi dan pengadaan PNS pada 2009 dan 2010. "Apabila itu bisa diperbaiki, uang rakyat bisa digunakan untuk belanja ekonomis dan efisien," katanya.
Dengan kondisi belanja pegawai yang terus membengkak, BPK ingin PNS yang diterima memenuhi persyaratan. Dalam risiko manajemen, ujar Agung, pengelolaan penetapan formasi dan pengadaan pegawai yang tidak sesuai ketentuan akan berdampak pada ketidaksesuaian manfaat pegawai tersebut.
"Ada satuan kerja pegawainya banyak, sebagian besar instansi mengusulkan formasi, tapi itu tidak didasarkan pada analisis beban kerja dan jabatan," tutur Agung.
BPK menemukan tiga persoalan pokok dalam penetapan formasi dan pengadaan PNS. Pertama, potensi gratifikasi di daerah mendorong pengadaan PNS. Kedua, penerimaan PNS yang dilakukan tidak sesuai kebutuhan sehingga berpotensi merugikan negara. Ketiga, PNS yang tidak memiliki kompetensi berpotensi melakukan tindakan melawan hukum dan menyebabkan kerugian negara.
Jumlah PNS pada 2006 ialah 3,73 juta orang dan melonjak 21% pada 2009 menjadi 4,52 juta. Adapun belanja pegawai yang dibayar pusat pada 2006 Rp73,25 triliun dan melejit 74% pada 2009 menjadi Rp127,67 triliun.
Belanja pegawai pemerintah daerah juga melambung dari 2006 sebesar Rp102,33 triliun menjadi Rp180,99 triliun pada 2009. Kemudian, pada RAPBN 2013, belanja pegawai mencapai Rp241,12 triliun, naik 13,6% jika dibandingkan dengan belanja pegawai di APBN-P 2012 yang Rp212,26 triliun.
Secara terpisah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar mengatakan pihaknya siap membuka kembali dan memperketat pengadaan PNS setelah adanya moratorium pada 2011-2012.
Ada tiga tahap yang perlu dipenuhi lembaga negara yang mengusulkan formasi kepegawaian baru. "Beban biaya pegawai harus di bawah 50%, harus mendaftarkan analisis beban kerja, dan wajib melampirkan analisis jabatan," papar Azwar.() mediaindonesia.com
Hal itu disampaikan anggota III BPK Agung Firman Sampurna di Jakarta, kemarin, berdasarkan hasil analisis kinerja atas proses penetapan formasi dan pengadaan PNS pada 2009 dan 2010. "Apabila itu bisa diperbaiki, uang rakyat bisa digunakan untuk belanja ekonomis dan efisien," katanya.
Dengan kondisi belanja pegawai yang terus membengkak, BPK ingin PNS yang diterima memenuhi persyaratan. Dalam risiko manajemen, ujar Agung, pengelolaan penetapan formasi dan pengadaan pegawai yang tidak sesuai ketentuan akan berdampak pada ketidaksesuaian manfaat pegawai tersebut.
"Ada satuan kerja pegawainya banyak, sebagian besar instansi mengusulkan formasi, tapi itu tidak didasarkan pada analisis beban kerja dan jabatan," tutur Agung.
BPK menemukan tiga persoalan pokok dalam penetapan formasi dan pengadaan PNS. Pertama, potensi gratifikasi di daerah mendorong pengadaan PNS. Kedua, penerimaan PNS yang dilakukan tidak sesuai kebutuhan sehingga berpotensi merugikan negara. Ketiga, PNS yang tidak memiliki kompetensi berpotensi melakukan tindakan melawan hukum dan menyebabkan kerugian negara.
Jumlah PNS pada 2006 ialah 3,73 juta orang dan melonjak 21% pada 2009 menjadi 4,52 juta. Adapun belanja pegawai yang dibayar pusat pada 2006 Rp73,25 triliun dan melejit 74% pada 2009 menjadi Rp127,67 triliun.
Belanja pegawai pemerintah daerah juga melambung dari 2006 sebesar Rp102,33 triliun menjadi Rp180,99 triliun pada 2009. Kemudian, pada RAPBN 2013, belanja pegawai mencapai Rp241,12 triliun, naik 13,6% jika dibandingkan dengan belanja pegawai di APBN-P 2012 yang Rp212,26 triliun.
Secara terpisah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar mengatakan pihaknya siap membuka kembali dan memperketat pengadaan PNS setelah adanya moratorium pada 2011-2012.
Ada tiga tahap yang perlu dipenuhi lembaga negara yang mengusulkan formasi kepegawaian baru. "Beban biaya pegawai harus di bawah 50%, harus mendaftarkan analisis beban kerja, dan wajib melampirkan analisis jabatan," papar Azwar.() mediaindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar