PERJALANAN dinas adalah hal lumrah. Perjalanan kerja ibarat pelumas yang melancarkan koordinasi mesin dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas.
Maka dapat dimengerti ketika pemerintah menyiapkan anggaran perjalanan dinas yang tidak sedikit bagi negara dengan 17 ribu pulau ini. Namun, hal itu menjadi ironi yang memalukan karena nyatanya anggaran tersebut banyak menguap akibat kebobrokan oknum pejabat dan pegawai negara.
Hal itulah yang dikuak oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kementerian Keuangan. Hasil audit BPK terhadap biaya perjalanan dinas kementerian/lembaga yang pada 2011 mencapai Rp18 triliun menyebutkan telah terjadi pemborosan hingga 40% atau Rp7,2 triliun.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo beberapa waktu sebelumnya mengakui hal yang sama. Agus menuturkan kebocoran itu kebanyakan terjadi akibat biaya tiket dan pengurusan visa yang diselewengkan.
Lebih menyedihkan lagi, praktik kecurangan itu bagai penyakit menahun yang telah menjalar ke berbagai organ. Dari pemeriksaan BPK, setidaknya ada lima kementerian dengan angka dugaan penyelewengan mencengangkan.
Di Kementerian Sosial, kebocoran yang tercatat oleh BPK lebih dari Rp405 miliar. Kebocoran itu terutama didasarkan pada tidak adanya dokumen pertanggungjawaban perjalanan dinas yang sah.
Di Kementerian Kesehatan, anggaran termakan oleh perjalanan dinas yang rangkap, kelebihan pembayaran, perjalanan dinas fiktif, hingga perjalanan dinas tanpa bukti yang valid, yang mencapai lebih dari Rp27 miliar.
Contoh lain, di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, perjalanan dinas tanpa tiket dan perjalanan dinas dengan tiket yang diragukan kebenarannya mencapai lebih dari Rp700 juta.
Penyelewengan perjalanan dinas itu menambah borok dalam penyelenggaraan negara. Tidak mengherankan jika dalam banyak hal negeri ini seolah sulit bangkit dari keterpurukan, ketika tuas yang semestinya menjadi pengungkit, dalam hal ini pegawai negeri, justru menjadi las yang melubangi tubuh bangsa.
Maka sudah sewajarnyalah oknum pegawai negeri yang terbukti melakukan kecurangan terkait dengan perjalanan dinas dihukum setimpal. Penyakit yang sudah berurat berakar itu tidak bisa lagi sekadar diberi pemaafan atau hanya berbuah peringatan.
Lebih dari itu, pemerintah sudah sewajarnya menghitung ulang besaran anggaran perjalanan dinas. Pemerintah juga seharusnya mengkaji lagi kepatutan penganggaran tersebut jika dibandingkan dengan program-program lainnya, khususnya program-program peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sayangnya, pemerintah seolah enggan berkaca. Untuk biaya perjalanan dinas pada 2013 pemerintah pusat mengalokasikan anggaran Rp21 triliun.
Jumlah itu lebih tiga kali lipat dari anggaran program jaminan kesehatan masyarakat yang Rp7,3 triliun. Jumlah itu juga jauh lebih besar daripada program bantuan siswa miskin yang hanya Rp10 triliun.
Penganggaran itu bukan lagi mengundang kekhawatiran, melainkan tanda tanya besar. Pemerintah seolah menggelontorkan dana membuat kapal besar, tapi melupakan dermaga-dermaga tempat hasil kerja dilabuhkan.() mediaindonesia.com
Maka dapat dimengerti ketika pemerintah menyiapkan anggaran perjalanan dinas yang tidak sedikit bagi negara dengan 17 ribu pulau ini. Namun, hal itu menjadi ironi yang memalukan karena nyatanya anggaran tersebut banyak menguap akibat kebobrokan oknum pejabat dan pegawai negara.
Hal itulah yang dikuak oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Kementerian Keuangan. Hasil audit BPK terhadap biaya perjalanan dinas kementerian/lembaga yang pada 2011 mencapai Rp18 triliun menyebutkan telah terjadi pemborosan hingga 40% atau Rp7,2 triliun.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo beberapa waktu sebelumnya mengakui hal yang sama. Agus menuturkan kebocoran itu kebanyakan terjadi akibat biaya tiket dan pengurusan visa yang diselewengkan.
Lebih menyedihkan lagi, praktik kecurangan itu bagai penyakit menahun yang telah menjalar ke berbagai organ. Dari pemeriksaan BPK, setidaknya ada lima kementerian dengan angka dugaan penyelewengan mencengangkan.
Di Kementerian Sosial, kebocoran yang tercatat oleh BPK lebih dari Rp405 miliar. Kebocoran itu terutama didasarkan pada tidak adanya dokumen pertanggungjawaban perjalanan dinas yang sah.
Di Kementerian Kesehatan, anggaran termakan oleh perjalanan dinas yang rangkap, kelebihan pembayaran, perjalanan dinas fiktif, hingga perjalanan dinas tanpa bukti yang valid, yang mencapai lebih dari Rp27 miliar.
Contoh lain, di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, perjalanan dinas tanpa tiket dan perjalanan dinas dengan tiket yang diragukan kebenarannya mencapai lebih dari Rp700 juta.
Penyelewengan perjalanan dinas itu menambah borok dalam penyelenggaraan negara. Tidak mengherankan jika dalam banyak hal negeri ini seolah sulit bangkit dari keterpurukan, ketika tuas yang semestinya menjadi pengungkit, dalam hal ini pegawai negeri, justru menjadi las yang melubangi tubuh bangsa.
Maka sudah sewajarnyalah oknum pegawai negeri yang terbukti melakukan kecurangan terkait dengan perjalanan dinas dihukum setimpal. Penyakit yang sudah berurat berakar itu tidak bisa lagi sekadar diberi pemaafan atau hanya berbuah peringatan.
Lebih dari itu, pemerintah sudah sewajarnya menghitung ulang besaran anggaran perjalanan dinas. Pemerintah juga seharusnya mengkaji lagi kepatutan penganggaran tersebut jika dibandingkan dengan program-program lainnya, khususnya program-program peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sayangnya, pemerintah seolah enggan berkaca. Untuk biaya perjalanan dinas pada 2013 pemerintah pusat mengalokasikan anggaran Rp21 triliun.
Jumlah itu lebih tiga kali lipat dari anggaran program jaminan kesehatan masyarakat yang Rp7,3 triliun. Jumlah itu juga jauh lebih besar daripada program bantuan siswa miskin yang hanya Rp10 triliun.
Penganggaran itu bukan lagi mengundang kekhawatiran, melainkan tanda tanya besar. Pemerintah seolah menggelontorkan dana membuat kapal besar, tapi melupakan dermaga-dermaga tempat hasil kerja dilabuhkan.() mediaindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar