Pertanggungjawaban pemerintah terhadap korban lumpur lapindo dinilai diskriminatif. Hal itu disampaikan Arimbi Hanoepoetri sebagai ahli dari Pihak Pemohon dalam persidangan kelima pengujian Pasal 19 UU No.22 Tahun 2011 tentang APBN dan Pasal 18 UU No.4 Tahun 2012 tentang APBN-P. Pemerintah, lanjut Arimbi, mengeluarkan keputusan yang membedakan antara peta terdampak dan peta di luar area terdampak. Untuk menangani hal tersebut, pemerintah membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
"Terdapat kategori korban menurut BPLS dan yang tidak termasuk kategori. Nah, fokus pemerintah untuk mengalokasikan APBN lebih kepada korban yang terdapat dalam peta terdampak, seperti pembelian lahan para korban. Sedangkan korban di luar peta terdampak tidak mendapat penanganan dari pemerintah," ujarnya, saat menyampaikan keterangan ahlinya di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/8).
Anggota Aliansi Pengacara Lingkungan ini juga mengatakan pemerintah tidak memberikan peringatan kepada Lapindo atas semburan lumpur panas. Pemerintah juga tidak melakukan upaya lain untuk meminimalisasi kemungkinan bencana serupa terulang kembali. Lebih lanjut, Arimbi menyatakan pengalokasian dana APBN bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
"Mereka yang trauma, stres, atau usahanya mengalami penurunan pendapatan tidak dicover oleh pemerintah. Negara juga tidak melakukan usaha untuk meninjau kembali sistem keamanan kerja PT Lapindo, mengingat area itu kan padat penduduk," tuturnya.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon, Taufik Budiman, mengatakan tidak mungkin penanggungjawab kasus ini dua orang, karena itu akan bertentangan dengan UUD 1945. Ketika dinyatakan semburan lumpur Lapindo ini bencana alam, negara menjadi penanggung jawab seutuhnya. Sedangkan jika murni kesalahan perusahaan, yang bertanggung jawab adalah PT Lapindo Brantas.
"Seharusnya ini menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas, baik di area terdampak maupun di luar area terdampak. Pemerintah melindungi warganya dengan cara lain," ujarnya seusai persidangan.
Ketua Majelis Hakim Mahfud MD menyatakan sidang dicukupkan. Selanjutnya, sidang akan dilanjutkan pada tanggal 6 September 2012.
"Sidang berikutnya mendengarkan ahli dari Pemerintah. Sidang hari ini ditutup," jelas Mahfud.
Sebelumnya, Pengujian Pasal upaya penanggulangan lumpur Lapindo ini diajukan Tjuk K Sukiadi (pensiunan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya), Purnawirawan Marinir Suharto, dan Ali Azhar Akbar (penulis buku berjudul Konspirasi SBY-Lapindo dan peneliti kasus lumpur Lapindo).
Taufik mengatakan terjadinya kasus lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, adalah kesalahan dan kelalaian yang dilakukan pihak Lapindo Brantas Inc. Menurut dia, ketentuan Pasal 18 UU APBNP 2012 menimbulkan terjadinya pelaksanaan yang tidak murni dan tidak konsekuen terhadap UUD 1945.() mediaindonesia.com
"Terdapat kategori korban menurut BPLS dan yang tidak termasuk kategori. Nah, fokus pemerintah untuk mengalokasikan APBN lebih kepada korban yang terdapat dalam peta terdampak, seperti pembelian lahan para korban. Sedangkan korban di luar peta terdampak tidak mendapat penanganan dari pemerintah," ujarnya, saat menyampaikan keterangan ahlinya di Gedung MK, Jakarta, Selasa (28/8).
Anggota Aliansi Pengacara Lingkungan ini juga mengatakan pemerintah tidak memberikan peringatan kepada Lapindo atas semburan lumpur panas. Pemerintah juga tidak melakukan upaya lain untuk meminimalisasi kemungkinan bencana serupa terulang kembali. Lebih lanjut, Arimbi menyatakan pengalokasian dana APBN bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.
"Mereka yang trauma, stres, atau usahanya mengalami penurunan pendapatan tidak dicover oleh pemerintah. Negara juga tidak melakukan usaha untuk meninjau kembali sistem keamanan kerja PT Lapindo, mengingat area itu kan padat penduduk," tuturnya.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon, Taufik Budiman, mengatakan tidak mungkin penanggungjawab kasus ini dua orang, karena itu akan bertentangan dengan UUD 1945. Ketika dinyatakan semburan lumpur Lapindo ini bencana alam, negara menjadi penanggung jawab seutuhnya. Sedangkan jika murni kesalahan perusahaan, yang bertanggung jawab adalah PT Lapindo Brantas.
"Seharusnya ini menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas, baik di area terdampak maupun di luar area terdampak. Pemerintah melindungi warganya dengan cara lain," ujarnya seusai persidangan.
Ketua Majelis Hakim Mahfud MD menyatakan sidang dicukupkan. Selanjutnya, sidang akan dilanjutkan pada tanggal 6 September 2012.
"Sidang berikutnya mendengarkan ahli dari Pemerintah. Sidang hari ini ditutup," jelas Mahfud.
Sebelumnya, Pengujian Pasal upaya penanggulangan lumpur Lapindo ini diajukan Tjuk K Sukiadi (pensiunan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya), Purnawirawan Marinir Suharto, dan Ali Azhar Akbar (penulis buku berjudul Konspirasi SBY-Lapindo dan peneliti kasus lumpur Lapindo).
Taufik mengatakan terjadinya kasus lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, adalah kesalahan dan kelalaian yang dilakukan pihak Lapindo Brantas Inc. Menurut dia, ketentuan Pasal 18 UU APBNP 2012 menimbulkan terjadinya pelaksanaan yang tidak murni dan tidak konsekuen terhadap UUD 1945.() mediaindonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar