PEMERINTAH semakin gencar menyuarakan tekad untuk memberangus korupsi tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih. Namun, mereka tetap berkutat dengan prosedur berbelit-belit yang justru menghalangi misi mulia itu.
Memberantas kejahatan luar biasa bernama korupsi memang tidak mudah. Semakin diperangi, korupsi kian menjadi. Tidak ada lagi sektor di negeri ini yang steril dari korupsi, semuanya sudah dikerubuti predator.
Rakyat merasakan betul betapa korupsi pelan tapi pasti akan menghancurkan Republik ini. Pemerintah pun sadar betapa berbahayanya praktik tercela yang kian menggurita dan meregenerasi itu. Yang jadi soal, kesadaran tersebut tidak dibarengi upaya luar biasa untuk memeranginya. Upaya memberantas korupsi yang sudah sulit malah semakin dipersulit.
Contoh paling jelas ialah masih dipertahankannya aturan bahwa pejabat negara yang terindikasi korupsi baru bisa diperiksa jika sudah mendapat izin dari presiden. Artinya, kepala daerah, anggota DPR, hingga menteri yang diduga korup boleh tenang-tenang saja selama belum ada secarik kertas dari presiden yang membolehkan mereka diperiksa.
Mekanisme untuk mendapatkan izin presiden juga tidak segampang membalikkan telapak tangan. Perlu prosedur bertahap yang harus ditapaki. Jika seorang kepala daerah diduga korupsi, perkaranya akan diekspose lebih dulu di Sekretariat Kabinet. Setelah dianggap beres, baru diajukan ke presiden untuk diberikan izin atau tidak.
Aturan tersebut jelas kontraproduktif dengan perang besar melawan korupsi. Kejaksaan Agung pun merasakan hambatan itu. Pekan lalu, Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan pihaknya tak kunjung bisa memeriksa delapan kepala daerah yang tersangkut perkara korupsi karena belum ada izin dari Presiden.
Ketika pemberantasan korupsi perlu gerak cepat, efektif, dan independen, pemerintah justru mempertahankan barikade penghambat. Padahal, semakin hari kian banyak pejabat, khususnya kepala daerah, yang terseret korupsi.
Menurut Transparency International Indonesia, misalnya, hingga 2012 terdapat 173 kasus korupsi yang melibatkan gubernur, bupati, dan wali kota. Sampai Februari 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberi izin pemeriksaan terhadap 168 kepala daerah.
Keharusan adanya izin pemeriksaan dari presiden bagi pejabat korup sekaligus merupakan bentuk diskriminasi. Prinsip persamaan di depan hukum hanyalah indah di buku konstitusi, tetapi karut-marut di tataran kehidupan.
Jika memang semua warga negara Indonesia sama derajat dan perlakuan di mata hukum, kenapa para pejabat negara yang korup diperlakukan istimewa? Apakah saat hendak melakukan korupsi mereka meminta izin presiden sehingga harus ada izin dari presiden pula ketika akan diperiksa?
Koruptor adalah koruptor, siapa pun dia, apa pun jabatannya. Korupsi harus dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan!
mediaindonesia.com,01/07/2012
0 komentar:
Posting Komentar