Oleh : Choirul Anam
Terus terang saya bukan orang yang memiliki kredibilitas dalam
membicarakan tema ini. Saya bukan apa-apa dan juga bukan siapa-siapa.
Saya hanyalah seorang anak manusia, yang berusaha ikut serta dalam
memperjuangkan agama Allah (li takuna kalimatullahi hiyal ulya). Saya
hanyalah orang yang ingin turut serta memberi sumbangan dalam membangun
peradaban Islam yang agung dan yang membawa keadilan sejati kepada umat
manusia, meskipun sumbangan saya itu mungkin lebih kecil dari sebutir
debu yang tak ada nilainya. Sekali lagi, saya bukan apa-apa dan tidak
ada apa-apanya, dibandingkan dengan tokoh Islam salafus sholih, juga
tokoh-tokoh Islam masa kini yang memperjuangkan Islam dengan ikhlas dan
semangat, yaitu orang-orang sholih yang tergabung dalam barisan HT atau
NU. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas mereka semua dengan
kebaikan yang melimpah dan menempatkan mereka bersama para syuhada dan
sholihin.
Saya
yakin, organisasi Islam yang lain juga melakukan perjuangan yang sama
untuk tegaknya kalimatullah di muka bumi, meski terkadang dengan cara
yang berbeda-beda. Hanya saja, saya tidak memiliki pengetahuan tentang
organisasi selain HT dan NU, sehingga pembahasan di sini saya cukupkan
hanya membahas HT dan NU. Saya khawatir terjadi fitnah, jika membahas
mereka, padahal saya tidak tahu apa-apa tentang mereka.
Alhamdulillah, kebetulan dari kecil sampai dewasa, saya dididik orang
tua dalam lingkungan yang Islamy khas NU. Saya disekolahkan orang tua di
sekolah madrasah salafiyah NU. Saat kecil, saya sekolah di MI Hidayatul
Mustafidin di desa saya, kalau sore sekolah diniyyah di kampung saya,
dan kalau malam belajar al qur’an kepada bapak saya di musholla kecil
depan rumah saya. Berikutnya, saya disekolahkan di MTS Miftahul Falah,
yaitu sekolah salafiyah di kecamatan saya (Dawe, Kudus). Saya sempat
dipondokkan di rumah seorang alim yang mukhlis, di sana saya belajar al
qur’an dan menghafal kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sayangnya saya tidak
bertahan mondok lama-lama, karena masih belum paham dan masih suka main
dengan anak-anak lain. Saat MTS ini, kalau malam saya diajak ngaji kitab
Hikam dan kitab Iqodzul Himam oleh bapak saya di hadapan guru thariqoh
yang sangat alim dan mukhlis, yaitu KH. Siddiq As Sholahy (beliau adalah
murid Syeikh KH. Hasyim Asy’ari). Alhamdulillah, saya pernah diberi
ijin menerjemahkan salah satu kitab beliau yang berjudul Kasyfus Syubhat
dan saya selesaikan pada tahun 2003-an.
Selanjutnya, saya disekolahkan di MA Tasywiqut Thullab Salafiyyah (TBS)
di dekat Menara Kudus. Di sana saya belajar fiqih, hadits, tafsir,
tasawuf, dan lain-lain dari para kyai, terutama Syeikh KH. Ma’mun Ahmad.
Beliau-beliau adalah orang yang alim, mukhlis dan mutafaqqih fid diin.
Di TBS, saya dimudahkan Allah untuk menghafal kitab yang sangat
idam-idamkan, yaitu kitab Alfiyah Ibnu Malik. Alhamdulillah, dari
penjelasan para kyai dan asatidz, saya mendapat ilmu ke-Islaman khas
ahlus sunnah wal jama’ah, dan saya sedikit memahami gagasan-gagasan
perjuangan para ulama dan kyai yang tergabung dalam organisasi NU.
Setelah itu, atas izin Allah, saya diterima kuliah di Universitas
Diponegoro (UNDIP) Semarang, jurusan Fisika. Memang terkesan agak aneh,
waktu itu. Lulusan TBS masuk UNDIP. Saat itu, saya memilih Fisika dan
Kimia, tetapi diterima di Fisika. Saya memilih Fisika atau Kimia karena
ingin menjadi seorang ilmuan muslim karena terisnpirasi buku kecil
tentang biografi ilmuan muslim. Saya sangat terinspirasi dengan salah
satu ilmuan Muslim masa lalu, seorang ahli fisika yang luar biasa, yaitu
Ibnu Haitsam. Jadi, bacaan kisah-kisah tokoh masa lalu, memang akan
inspirasi kepada generasi muda. Alhamdulillah, saat menulis ini, saya
sekarang tercatat sebagai mahasiswa program doktor di Fisika ITB. Saat
ini, saya sedang melakukan riset yang mendalam tentang radiasi CT Scan.
Terus terang, saya tidak menduga dan tidak membayangkan sama sekali
bahwa saya akan sekolah program doktor di Jurusan Fisika ITB. Jadi, jika
kita memiliki cita-cita, insya Allah, Allah akan merealisasikannya,
meski pada awalnya terasa mustahil.
Di UNDIP ini saya mulai mengenal HT. Pada awalnya, saya sama sekali
tidak tertarik dengan HT, karena saya hanya ingin fokus mempelajari
Fisika, apalagi saya merasa sudah mengetahui Islam lebih banyak
dibanding teman-teman saya yang lain. Apalagi, saat itu, teman yang
mengenalkan HT, menurut saya, tidak meyakinkan. Bacaan al qur’annya
tidak lancar, bahasa Arabnya parah, apalagi tsaqofah Islamnya (semoga
Allah merahmati beliau karena telah mengenalkan saya dunia yang amat
luas ini dan perjuangan yang amat mengesankan ini). Saya merasa lebih
layak memberi penjelasan tentang Islam kepada dia, bukan diberi
penjelasan oleh dia. Memang ada semacam keangkuhan dan kesombongan pada
diri saya. Sampai akhirnya saya sadar bahwa saya tidak boleh bersikap
seperti itu. Sombong itu tipuan setan, meski tidak terasa. Apa gunanya
saya belajar tasawuf, kalau saya meremehkan orang, pikir saya waktu itu.
Saya juga teringat dengan nasihat guru-guru saya dahulu “undzur ma
qaal, wa la tandzur man qaal (lihatlah apa yang dikatakan, jangan
melihat siapa yang mengatakan)”. Dengan sikap yang agak sedikit terbuka
itu, saya mulai mengenal HT. Itu terjadi pada tahun 1999. Alhamdulillah,
hingga saat ini saya masih mengkaji Islam bersama teman-teman HT, juga
mengkaji kitab-kitab ulama yang mukhlishin wal mukhlashin. Semoga Allah
memberikan keistiqomahan kepada saya dan teman-teman semua dalam
berjuang bersama barisan orang-orang sholih tersebut.
Jadi, insya Allah, saya sedikit memiliki pengetahuan tentang NU dan HT
dari sumber aslinya, meski tentu saja, saya bukan apa-apa, baik di NU,
HT atau di mana pun juga. Saya hanya akan sedikit menceritakan apa yang
saya rasakan. Jika ada teman-teman atau pihak-pihak yang merasa
tersinggung atau kurang berkenan, saya mohon maaf, bukan maksud saya
menyinggung mereka.
*****
Setelah belajar di NU dan HT, saya merasakan bahwa kedua merupakan saudara kembar dalam memperjuangkan tegaknya Islam di muka bumi. Keduanya hampir-hampir tidak ada bedanya, terutama tentang tsaqofah, kecuali hanya sedikit sekali perbedaan.
Setelah belajar di NU dan HT, saya merasakan bahwa kedua merupakan saudara kembar dalam memperjuangkan tegaknya Islam di muka bumi. Keduanya hampir-hampir tidak ada bedanya, terutama tentang tsaqofah, kecuali hanya sedikit sekali perbedaan.
Keduanya didirikan oleh seorang alim yang mukhlis untuk memperjuangkan
tegaknya Islam yang akan memancarkan rahmat bagi seluruh alam semesta.
NU didirikan oleh Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dan HT didirikan oleh Syeikh
Taqiyuddin Annabhani. Syeikh Taqiyuddin sendiri adalah cucu dari
gurunya Syeikh Hasyim Asy’ari, yaitu Syeikh Yusuf Annabhani. Warga
Nahdliyyin yang sering membaca kitab, pasti sangat familier dengan
Syeikh Yusuf Annabhani. Beliau adalah penulis kitab Jami’u Karamatil
Auliya, kitab Al-anwar Almuhammadiyyah, dan sekitar 80 kitab lainnya.
Jadi, jika ada warga Nahdliyyin yang tidak mengenal dua kitab tersebut,
dia termasuk orang yang majhul.
NU memahami bahwa dasar hukum syariah adalah al qur’an, hadits, ijma’
dan qiyas. Demikian pula HT. Hanya HT menambahkan sedikit agar lebih
clear, bahwa untuk ijma’ bukan sekedar ijma’, tetapi ijma’ shahabat, dan
untuk qiyas bukan sekedar qiyas, tetapi qiyas syar’i, yaitu qiyas atas
suatu nash yang ada illat syar’i-nya.
NU memahami bahwa semua sahabat Nabi adalah orang-orang adil. Mereka
adalah orang-orang yang mulia. Kita sama sekali tidak boleh mencela
mereka. Demikian pula HT, HT memandang bahwa para sahabat Nabi adalah
orang-orang yang mulia. Kita sama sekali tidak boleh menghina dan
mencaci mereka. Apalah artinya kita dibanding para sahabat Nabi.
Perjuangan kita dan pemahaman kita tentang Islam tidak ada sak kuku
irenge (maksudnya kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka). Kita
semua dapat ilmu tentang Islam, semuanya dari mereka.
NU memahami bahwa umat Islam itu ada dua, yaitu orang yang mampu
memahami langsung dari sumber-sumber Islam, yang dinamakan dengan
mujtahid, dan juga ada orang-orang yang tak mampu memahami Islam
langsung dari sumber aslinya, yang dinamakan dengan muqollid. Seorang
muqollid karena tidak memiliki ilmu, ia harus mengikuti orang yang
memiliki ilmu, yaitu para mujtahid. HT juga memiliki pandangan yang
sama. Baik NU maupun HT sama-sama sangat menghormati dan menjunjung
tinggi para ulama, terutama para ulama mujtahid muthlaq, seperti Imam
Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali dan lain-lain. Kita sama
sekali tidak boleh menghina dan mencela mereka. Apalah artinya kita
dibanding keilmuan mereka. Kita ini seperti anak TK, sementara
beliau-beliau itu seperti professor. Layakkah seorang anak TK menghina
keilmuan professor?
NU sangat hati-hati dalam menilai seseorang, apalagi membid’ahkan atau
mengkafirkan seseorang. Sebab jika kita keliru dalam mengkafirkan orang,
maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduhnya. HT juga demikian,
sangat hati-hati. Baik NU maupun HT lebih suka menggunakan istilah umum,
misalnya bahwa “zina itu dosa besar”, tetapi tidak berani mengatakan
bahwa “si A itu mendapat dosa besar”, kecuali telah ada bukti yang kuat
di hadapan Allah. Contoh yang lain, misalnya mengatakan bahwa “orang
yang tidak berhukum dengan hukum Allah itu ada kalanya kafir, dzalim
atau dzalim”. Tetapi, baik NU atau HT, tidak berani mengatakan bahwa “si
A adalah kafir, dzalim atau dzalim”, kecuali telah terbukti dengan
bukti yang kuat.
NU memandang bahwa Islam itu paripurna, mengatur masalah aqidah
(tauhid), akhlaq, ibadah, mu’amalah, buyu’, hudud, hukmul aradli, jihad,
dan lain sebagainya. Hal ini terdapat hampir di semua kitab ulama, dari
kitab yang dipelajari level MTS seperti kitab Taqrib, level aliyah
seperti kitab Fathul Mu’in, dan kitab-kitab besar lainnya seperti
Al-Umm, Hasyiyah Al-Bajuri, dll. Demikian pula HT. HT memandang bahwa
Islam itu ajaran yang paripurna dan lengkap. Tema-tema yang dipelajari
di HT, juga sama dengan tema-tema yang dipelajari di pesantren NU.
Bedanya, HT hanya menggunakan bahasa kontemporer dan membandingkan
dengan keadaan dunia saat ini. Jadi tidak ada bedanya sama sekali,
kecuali hanya penggunaan beberapa istilah baru.
NU memandang bahwa Islam wajib diterapkan. Saat itu kerahmatan Islam
akan terwujud di muka bumi ini. Tetapi penerapan Islam harus benar, adil
dan sesuai dengan metode syar’i karena semata-mata mengharap ridlo
Allah. Islam tidak boleh diterapkan dengan kasar dan menyimpang dari
metode syar’i-nya. Demikian pula HT. HT memandang bahwa islam harus
diterapkan. Itulah, insya Allah, yang akan membawa kebahagian dan
keadilan yang sejati bagi umat manusia.
NU memandang bahwa Islam itu ajaran untuk seluruh umat manusia, makanya
NU tidak menganggap remeh dan rendah orang-orang yang memiliki
kebangsaan berbeda. Hanya, saja karena Syeikh Hasyim Asy’ari orang
Indonesia, maka beliau memulai dakwah dari Indonesia dan disebarkan ke
seluruh dunia. Makanya lambang NU adalah bola dunia, sebuah lambang yang
menggambarkan wawasan para pendirinya yang sangat global dan
komprehensif. Demikian pula HT. HT memandang bahwa Islam itu juga untuk
seluruh umat manusia. Tidak ada nasionalisme di dalam Islam. Kita memang
memiliki kebangsaan yang berbeda, tetapi kita tidak boleh menilai
sesorang atas dasar bangsanya, membela atau memusuhi seseorang atas
dasar bangsanya. Itulah yang dinamakan nasionalisme. HT mulai dari
Palestina, karena Syeikh Taqiyuddin adalah orang Palestina. Lalu dakwah
HT menyebar ke seluruh dunia.
NU sangat menghormati para Khalifah Islam, apalagi Khulafaur Rosyidin.
Bahkan NU membuat tradisi untuk mendoakan para Khalifah yang empat itu
saat sholat tarawih, dengan mengucapkan “al khalifatul ula sayyuda Abu
Bakar Ash Shiddiq radliyallau anhu...” dan seterusnya. Kitab-kitab yang
dikaji warga Nahdliyyin membahas dengan detil tentang Khilafah, misalnya
kitab Al-Ahkam Assulthaniyyah, dan kitab-kitab lainnya. NU menganggap
para Khalifah, para sahabat Nabi lainnya, dan para ulama pasca beliau
adalah salafus sholih yang harus kita jadikan teladan. Demikian pula HT.
HT sangat menghormati para Khalifah, terutama Khulafaur Rosyidin. HT
memahami bahwa sistem yang harus diterapkan saat ini haruslah sistem
yang dahulu diterapkan oleh para salafus sholih kita, yaitu sistem
Khilafah. HT bahkan membahas Khilafah secara khusus. Bedanya, HT
membahas Khilafah dengan bahasa yang lebih kontemporer dan membandingkan
dengan sistem-sistem yang saat ini diterapkan. Sehingga lebih clear.
NU memandang bahwa mendakwahkan Islam tidak mungkin sendirian dan
terpisah-pisah, karena itu para ulama membentuk organisasi dakwah yang
solid bernama NU. HT juga sama. HT memandang bahwa mendakwahkan Islam
tidak mungkin sendirian. Rasulullah dalam berdakwah juga bersama para
sahabatnya dalam suatu barisan yang sangat rapi. Tentu saja, organisasi
di sini sama sekali tidak boleh dimaksudkan untuk ashobiyah atau
berbangga-bangga, tetapi organisasi ini dimaksudkan agar dakwah dapat
berjalan dengan solid. NU dan HT sama-sama menjauhi sikap ashobiyyah
dalam segala hal. Sebab ashobiyyah itu dilarang Islam. Sebagai
organisasi, tentu NU dan HT memiliki struktur organisasi dan mekanisme
tertentu dalam pengaturan para anggotanya.
NU sangat konsisten dengan ajaran Islam, dan terbuka dengan berbagai hal
baru yang tidak bertentangan dengan Islam. Inilah yang membuat NU
dinamis. Kaidah masyhur di kalangan NU “al muhafadzatu bil qodimi
ashsholih, wal akhdzu bil jadidi al-ashlah (menjaga hal lama yang baik,
dan mengambil hal baru yang lebih baik). Baik atau sholih di sini
dasarnya adalah Islam. Maka para ulama mengatakan “alhasan ma hassanahu
asy-syar’u, wal qabih ma qobbahahu asy-syar’u (Baik adalah apa yang
dianggap baik oleh syara’. Sedangkan buruk adalah apa yang dianggap
buruk oleh syara’)”. Demikian pula HT. Hanya HT membahas dengan istilah
yang berbeda yang dianggapnya lebih jelas, yaitu istilah hadloroh dan
madaniyyah. HT akan istiqomah dengan hadloroh Islam, tetapi mengambil
madaniyyah yang tidak bertentangan dengan Islam, seperti tenologi dll.
NU sangat mencintai orang-orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya, dan
membenci orang-orang yang membenci Allah dan Rasulnya. NU tidak pernah
rela dengan penjajahan, karena penjajahan adalah pelanggaran terhadap
Islam. Karena itu, ulama-ulama NU bangkit melawan penjajahan sesuai
dengan kemampuan beliau waktu itu. Perjuangan melawan penjajhan adalah
jihad fi sabilillah. HT juga sama. HT sangat mencintai orang-orang yang
mencintai Allah, dimana pun mereka berada. Juga membenci orang-orang
yang membenci Allah dan Rasul-Nya. HT sangat benci dengan penjajahan. HT
sejak didirikan sampai sekarang, menentang bentuk penjajahan, baik
secara militer, ekonomi dan politik atau teknik-teknik lain.
NU sangat concern mendidik umat dengan Islam, lewat berbagai forum dan
media yang dimungkinkan. Lewat pesantren, musholla, masjid, majlis
ta’lim, pengajian-pengajian rutin di kampung-kampung. Inilah yang
dinamakan pendekatan kultural. HT juga sama. HT sangat concern mendidik
umat dengan Islam, lewat berbagai sarana yang dimungkinkan. HT
mengadakan halaqoh-halaqoh kecil, dan juga berbagai acara besar.
Berbagai sarana yang dimungkinkan, HT dapat dipastikan menggunakannya
untuk kepentingan mendidik umat. Inilah yang dinamakan HT sebagai
pendekatan kultural (tatsqif). Hanya saja, HT berpandangan bahwa
meskipun pendekatan kultural ini sangat penting dan harus digarap dengan
serius, ada pendekatan lain yang tidak boleh dilupakan, yaitu
pendekatan politis. Pendekatan politis ini hanya akan terwujud lewat
institusi politik umat Islam yang bernama Khilafah. Ini pula yang
disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam Ghozali “Addiinu ussun was
shulthanu harisun. Fa ma laa ussa lahu fmahduumun. Ma wa la harisa lahu
fa dlo’i’un (Agama adalah pondisi, kekuasan politik adalah penjaganya.
Sesuatu yang tak ada pondasinya akan roboh. Dan sesuatu yang tak ada
penjaganya, maka akan terlantar)”. Sekedar contoh, masyarakat diharapkan
tidak melakukan pencurian. Lalu mereka dididik tentang haramnya mencuri
dan wajibnya bekerja. Ini adalah pendekatan kultural. Namun, tentu
saja, dalam pendidikan tersebut, ada sebagain masyarakat yang karena
suatu hal tetap melakukan penjurian. Maka dalam hal ini, pencuri
tersebut harus diberi sangsi. Sehingga mereka dan yang lain jera
melakukan pencurian. Inilah yang dinamakan pendekatan politis. Jadi
pendekatan kultural dan politis itu sama-sama pentingnya. Hanya saja,
saat pendekatan politis belum bisa dilakukan, maka yang dilakukan adalah
pendekatan kultural.
NU sangat kritis dan tegas kepada penguasa yang tidak menjalankan amanah
dan melanggar syariah. Bahkan beberapa ulama NU sampai pada sikap yang
agak ekstrim. Misalnya kyai saya, Syeikh. KH. Ma’mun Ahmad, beliau
mengharamkan ujian nasional kepada santri-santrinya. Menurut beliau,
dalam Islam ujian bukan seperti itu. Itu meniru orang-orang kafir.
Beliau tidak mau menerima bantuan dari pemerintah, hingga pondok dan
rumah beliau masih sangat sederhana, hingga akhir hayat beliau. HT juga
demikian. HT sangat tegas dan kritis kepada para pemimpin yang tidak
menjalankan amanah dan melanggar hukum syariah. Bedanya, HT merinci
beberapa hal sehingga lebih clear, sebagaimana dalam pembahasan hadloroh
dan madaniyyah.
Dan lain sebagainya. Mungkin akan butuh beratus-ratus halaman, jika saya
sebutkan semua. Singkatnya, NU dan HT itu layaknya saudara kembar dalam
memperjuangkan diinullah, litakuuna hiyal ulya.
******
Itulah NU dan HT, sepanjang yang saya ketahui dan saya rasakan. NU dan HT itu sama. Sama-sama diniatkan untuk memperjuangkan Islam. Sama-sama didirikan dan diikuti oleh orang-orang yang mengharap ridlo Allah.
Itulah NU dan HT, sepanjang yang saya ketahui dan saya rasakan. NU dan HT itu sama. Sama-sama diniatkan untuk memperjuangkan Islam. Sama-sama didirikan dan diikuti oleh orang-orang yang mengharap ridlo Allah.
Ketika saya pertama berdiskusi dengan teman HT, memang itu belum
tergambar dengan jelas di benak saya. Waktu itu, menurut saya, aktivis
HT hanyalah orang-orang yang exited karena baru mengenal Islam. Ternyata
saya salah besar. Aktivis HT itu sangat beragam dengan latar belakang
keilmuan yang sangat beragam. Para aktivis HT juga terkadang ada yang
belum memahami perjuangan secara utuh. Itu hal yang sangat wajar. Namun,
setelah saya lama diskusi dengan beberapa aktivis HT dan membaca
kitab-kitabnya, hal itu tergambar dengan sangat clear. Kitab HT yang
ditulis Syeikh Taqiyuddin, itu benar-benar kitab yang istimewa, menurut
saya waktu itu. HT itu persis NU, hanya HT memperjelas dan mempertegas
hal-hal yang selama ini agar kurang jelas. Maksud kurang jelas, tidak
berarti bahwa kitab-kitab ulama NU tidak membahas hal itu. Tidak.
Kitab-kitab ulama yang membahas itu sanagat banyak. Tetapi karena kitab
ulama itu sangat banyak, dan terkadang terjadi ikhtilaf. Lalu, dari
ikhtilaf itu tidak ada yang melakukan tarjih. Sehingga banyaknya
pendapat itu terkadang membuat para santri kurang tegas dalam mengambil
sikap. Tentu saja ini bukan hal yang salah.
Sementara HT mengapresiasi berbagai ikhtilaf di kalangan ulama, lalu HT
mengambilnya yang menurutnya lebih rajih. Ini yang membuat gagasan HT
terkesan lebih tegas. Lagi pula, HT selalu membandingkan pemahamannya
dengan kondisi saat ini, di dunia kontemporer. HT membandingkan antara
Islam, Kapitalisme, dan Komunisme hampir dalam segala hal. Dengan
perbandingan ini, membuat HT memiliki determinasi yang lebih tegas dan
jelas. Misalnya tentang mua’malah, baik NU atau HT sama-sama membahas
tentang syirkah, dan kesimpulannya sama. Namun, HT tidak sekedar
mengkaji dalil-dalinya, HT menambah pembahasan dengan mengkaji fakta
berbagai syirkah yang sekarang ada di dunia kontemporer, menelitinya
dengan hati-hati. Sehingga tampak lebih jelas, mana yang absah dan mana
yang bathil.
Jadi, tidak ada beda yang berarti antara HT dan NU.
Sampai akhirnya, muncul generasi muda yang pulang mencari ilmu dari
Amerika, Kanada, Eropa dan lain-lain. Mereka membawa gagasan yang aneh
dan tidak dikenal dalam pemikiran NU. Namun, karena mereka adalah anak
kyai-kyai yang karismatik dan mukhlis, meski gagasannya aneh, mereka
tetap diterima sebagai bagian dari tradisi dan keilmuan NU yang
holistik. Mereka mulai mencampurkan berbagai gagasan yang bersandar pada
pemikiran barat, dan lambat laun mereka menduduki posisi kunci, baik
secara kultural maupun politis. Akibatnya, gagasan NU yang semula bersih
dan lurus, menjadi agak bergeser. Pada titik ini, NU memang sangat
berbeda dengan HT.
Karena itu, untuk memahami gagasan NU, ada baiknya kita membaca
kitab-kitab Syeikh KH. Hasyim Asy’ari. Itulah gagasan NU. Dari sana,
kita tidak akan dibingungkan dengan istilah “NU Garis Lurus”, “Generasi
Muda NU”, “Pembela Ulama”, dan lain sebagainya.
Jadi, dengan mengkaji secara jujur terhadap kitab dua ulama besar:
Syeikh. KH Hasyim Asy’ari dan Syeikh Taqiyuddin Annabhani, kita akan
dapat memposisikan NU dan HT pada tempat yang proporsional.
Wallahu a’lam.
Sumber : https://www.facebook.com/choirul.anam.94617/posts/646936768765693
() syariahpublications.com/ syabab indonesia
0 komentar:
Posting Komentar