
Khalifah adalah
pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia. Dengan jabatannya ini, ia
memikul tanggung jawab yang sangat besar dalam mengurusi semua urusan
umat. Sebagai manusia biasa yang memiliki kelemahan dan kekurangan,
mustahil Khalifah mampu melaksanakan tanggung jawab yang sangat besar
itu secara sempurna dengan seorang diri. Untuk itu, ia perlu mengangkat
para pembantu (mu’âwin) dalam menjalankan roda pemerintahan Negara Islam (Khilafah).
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 42, yang berbunyi: “Khalifah
mengangkat seorang mu’âwin tafwîdh atau lebih. Ia bertanggung jawab
terhadap jalannya pemerintahan. Mu’âwin Tafwîdh diberi wewenang untuk
mengatur berbagai urusan berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Apabila
Khalifah wafat, maka masa jabatan Mu’awin juga selesai. Dia tidak
melanjutkan aktivitasnya kecuali selama masa jabatan amir sementara
saja.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 172).
Pembantu Khalifah Bidang Pemerintahan (Mu‘âwin at-Tafwîdh)
Mu‘âwin adalah pembantu yang
telah diangkat oleh Khalifah untuk membantu dia dalam mengemban tanggung
jawab dan melaksanakan tugas-tugas Kekhilafahan. Karena banyaknya
tugas-tugas Kekhilafahan, khususnya ketika wilayah Negara Khilafah
menjadi semakin besar dan bertambah luas, Khalifah akan berat untuk
mengembannya seorang diri. Karena itu, ia membutuhkan orang yang dapat
membantu dirinya dalam mengemban tanggung jawab dan tugas-tugas
Kekhilafahan.
Mu‘âwin yang diangkat oleh Khalifah untuk membantu melaksanakan tugas-tugas Khilafah tersebut ada dua yaitu: Mu‘âwin Tafwîdh (pembantu Khalifah bidang pemerintahan) dan Mu‘âwin Tanfîdz (pembantu Khalifah bidang administrasi).
Imam al-Mawardi menyebut Mu‘âwin Tafwîdh tersebut dengan sebutan Wuzârah Tafwîdh. Al-Mawardi mendefinisikan: “Wuzârah Tafwîdh
adalah orang yang diminta menjadi pembantu Imam untuk mengurusi
berbagai urusan dengan pendapatnya serta memutuskan berdasarkan
ijtihadnya.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 22).
Adapun Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan Mu‘âwin at-Tafwîdh adalah wazîr
yang ditunjuk oleh Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab
pemerintahan dan kekuasaan. Khalifah mendelegasikan kepada dia
pengaturan berbagai urusan menurut pendapatnya dan melaksanakan tugasnya
berdasarkan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan hukum-hukum syariah
(Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 130).
Dengan demikian, Khalifah telah memberikan wewenang kepada Mu‘âwin at-Tafwîdh
ini secara umum dan juga posisi untuk mewakili dirinya. Hanya saja, ia
tetap harus melaporkan setiap tindakan yang sedang ia lakukan kepada
Khalifah. Sebab, ia merupakan pembantu Khalifah dan bukan khalifah itu
sendiri. Karena ia tidak mandiri secara penuh, maka semua yang ia
lakukan, besar atau kecil, harus dilaporkan kepada Khalifah (An-Nabhani,
Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 174).
Dalil Kebolehan Mengangkat Mu’âwin
Dalil kebolehan Khalifah mengangkat para pembantu (mu’âwin) adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan al-Hakim dari Abu Said al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
وَأَمَّا وَزِيرَايَ مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ فَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
Dua wazir-ku dari (penduduk) bumi ini adalah Abu Bakar dan Umar.
Hadis ini telah digunakan oleh para fuqâha’ (ahli fikih) secara umum serta diterima oleh kebanyakan mereka (sebagai dalil). Status hadis ini adalah hasan. Hadis ini menjadi dalil syariah bahwa Khalifah berhak untuk mengangkat dua pembantunya.
Hadis di atas menggunakan kata wazîr dengan makna bahasa, yaitu mu’în (pembantu). Makna tersebut juga digunakan oleh al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي
Jadikanlah untukku seorang pembantu (wazîr) dari keluargaku (QS Thaha [20]: 29).
Makna wazîr dalam ayat tersebut adalah pembantu, yakni mu’în (Al-Andalusi, Tafsîr al-Bahrul Muhîth, VI/224), atau mu’âwin (Al-Alusi, Rûhul Ma’âni fi Tafsir al-Quran al-Azhim wa as-Sab’u al-Matsani, XVI/184).
Wizârah (para pembantu kepala
negara) ini sudah ada sejak masa Rasulullah saw. Hal ini dipahami dari
hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi di atas. Hanya saja,
Rasulullah saw. melakukan sendiri tugas-tugas pemerintahan, dan tidak
ada satu nas pun yang menunjukkan bahwa beliau menyerahkan urusan
pemerintahan kepada Abu Bakar ra. dan Umar ra. (yang menjadi pembantu
beliau ketika itu). Namun, dengan menjadikan keduanya sebagai wazir atau
mu‘âwin, maka itu sudah menunjukkan bahwa beliau telah
memberikan wewenang kepada keduanya untuk membantu beliau, yaitu
masing-masing memiliki wewenang untuk melakukan tugas dalam bidang
pemerintahan.
Sepeninggal Rasulullah saw., Umar ra. diangkat sebagai wazir atau mu‘âwin
Khalifah Abu Bakar ra. Ia melakukan tugas dalam pemerintahan
sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah. Bahkan Umar ra. tampak begitu
menonjol hingga ada sebagian orang yang berkata kepada Abu Bakar ra., “Demi Allah, kami tidak tahu, engkau Khalifahnya atau Umar.”
Setelah Umar ra. menjabat sebagai khalifah, Utsman bin Affan ra. dan Ali bin Abi Thalib kw. menjadi dua orang mu‘âwin-nya. Hanya saja, keduanya tidak tampak melakukan tugas-tugas sebagai mu‘âwin
terhadap Khalifah Umar ra. dalam berbagai urusan pemerintahan. Sebab,
kepribadian Umar ra. begitu kuat sehingga kedudukan keduanya adalah
seperti kedudukan Abu Bakar ra. dan Umar ra. bersama Rasulullah saw.
Pada masa Khalifah Utsman ra., Ali ra. dan Marwan bin al-Hakam ra. menjadi dua mu‘âwin
Utsman ra. Namun, Ali ra. agak menjauh karena ketidakridhaannya
terhadap beberapa kebijakan Khalifah Utsman ra. Akan tetapi, Marwan bin
al-Hakam ra. sangat menonjol perannya dalam membantu Khalifah Utsman ra.
dalam berbagai aktivitas pemerintahan (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 131; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilafah, hlm. 56).
Jelas bahwa Khalifah mengangkat wazir atau mu‘âwin
untuk membantu menjalankan tugas-tugas pemerintahan, seperti yang
terjadi pada Khulafah ar-Rasyidin, sekalipun dalam praktiknya berbeda
satu sama lain.
Dengan demikian, kata wazir itu bisa dipahami dari makna bahasa, yaitu mu’in al-khalifah
(pembantu khalifah), yang membantu tugas-tugas Kekhilafahan. Pemakaian
kata itu dalam bentuk mutlak, dan tidak dibatasi dengan konotasi
tertentu, juga mengandung makna bahwa ia merupakan pembantu Khalifah
dalam semua tugas-tugas Khilafah, tanpa dibatasi dengan tugas-tugas
tertentu. Untuk itu, kata tersebut memiliki makna syariah, yaitu mu’awin al-khalifah
(pembantu khalifah) dalam Kekhilafahan. Artinya, ia menjadi pembantu
khalifah dalam setiap tugas-tugas Khilafah. Inilah yang bisa dipahami
dari hadis di atas.
Kemudian pemahaman ini diperkuat oleh
praktik yang dilakukan Umar bin Khaththab ra. semasa Kekhilafahan Abu
Bakar ra. Dengan demikian makna kata wazir tersebut merupakan makna syariah, yaitu orang yang membantu Khalifah dalam melaksanakan tugas-tugas Kekhilafahan.
Mu’âwin memiliki wewenang
seperti wewenang Khalifah. Bedanya, dia memperoleh wewenang tersebut
tidak secara otomatis seperti Khalifah, melainkan karena adanya akad
menjadi wazir yang diberikan kepada dirinya oleh Khalifah. Misal, kalau Khalifah berkata, “Aku mengangkat si Fulan untuk menjadi wazirku, atau menjadi mu’âwinku, atau untuk mewakili diriku,” dan sebagainya. Dengan ini ia telah memiliki semua wewenang Khalifah, karena ia telah menjadi wakilnya (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 131; An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 174).
Mu’awin Berbeda dengan Kabinet dalam Sistem Demokrasi
Apa yang telah disebutkan di atas adalah fakta tentang mu’awin atau wazir secara syar’i. Fakta tersebut amat berbeda dengan wizârah
(kabinet atau dewan menteri) dalam sistem demokrasi. Sebabnya, kabinet
atau dewan menteri dalam sistem demokrasi merupakan pemerintahan.
Kabinet tersebut adalah kumpulan individu yang menjalankan pemerintahan
sebagai sebuah tim tertentu. Bagi mereka, pemerintahan itu merupakan
kekuasaan kolektif, bukan tunggal (personal). Artinya, yang memimpin
adalah tim (kolektif), bukan personal (tunggal). Oleh karena itu, yang
berkuasa dan yang memiliki wewenang untuk memerintah adalah dewan
menteri atau kabinet, yaitu kumpulan semua menteri, bukan satu menteri
saja. Masing-masing menteri tersebut tidak ada yang memiliki kekuasaan
(pemerintahan) secara mutlak. Semua wewenang pemerintahan tersebut hanya
dimiliki oleh dewan menteri atau kabinet secara kolektif. Adapun
seorang menteri hanya dikhususkan untuk mengurusi satu bidang
pemerintahan, yakni ia hanya memiliki wewenang yang telah ditentukan
untuk dirinya oleh dewan menteri atau kabinet secara tim (kolektif).
Karena itu bidang yang tidak ditetapkan pada dirinya tetap menjadi
wewenang kabinet atau dewan menteri, bukan dirinya.
Islam tidak mengenal dewan menteri atau
kabinet yang di tangannya ada kekuasaan secara kolektif (seperti dalam
sistem demokrasi). Kepemimpinan dalam sistem Islam hanya milik Khalifah
yang dibaiat oleh umat untuk menjalankan kekuasaannya berdasarkan
al-Quran dan as-Sunnah. Kemudian Khalifah mengangkat para mu’âwin (wuzâra’ tafwîdh)
dan memberi mereka wewenang secara umum dan posisi untuk mewakili
Khalifah guna bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan
kekuasaan. Mereka ini adalah para wazir dalam pengertian bahasa, yakni para pembantu Khalifah untuk bersama-sama mengemban tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan.
Dengan demikian, ada perbedaan yang amat tegas dan jelas antara konsep dan pemahaman kata wazir dalam sistem Islam dengan konsep dan pemahaman kata wazir dalam sistem demokrasi. Hanya saja, karena makna kata wazir
yang dijelaskan oleh konsep dan pemahaman demokrasi itulah yang
dipahami oleh banyak orang, maka saat kata tersebut digunakan pasti
mengarah pada konsep dan pemahaman demokrasi. Oleh karena itu, dalam
rangka menolak kontaminasi, serta untuk menentukan hanya makna syariah
saja—yang seharusnya digunakan—maka tidak dibolehkan menyebut pembantu
Khalifah dengan mempergunakan kata wazir atau wizârah (kabinet) secara mutlak tanpa disertai keterangan. Yang dibolehkan adalah menggunakan kata mu’âwin, karena kata itulah yang memiliki makna hakiki. Boleh memakai kata wazir atau wizârah
(kabinet), namun harus disertai dengan keterangan (ketentuan) yang bisa
memalingkannya dari makna dan pemahaman demokrasi, dan hanya mengarah
pada makna dan pemahaman Islam saja, seperti menyebutnya dengan “wazir tafwîdh” (Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 131; An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 175).
Pengangkatan dan Pemecatan Mu‘âwin
Karena Mu‘âwin diangkat dan
diberhetikan oleh Khalifah, maka pada saat Khalifah meninggal dunia,
masa jabatannya berakhir; tugas-tugasnya tidak berlanjut kecuali selama
masa amir sementara saja. Mu‘âwin memerlukan pengangkatan baru dari khalifah yang baru agar ia dapat melanjutkan tugas-tugasnya. Dalam kondisi tersebut, Mu‘âwin tidak memerlukan keputusan pemecatan dirinya. Ini karena jabatan mu‘âwin
dalam pemerintahan otomatis berakhir saat Khalifah—yang telah
menjadikan dirinya sebagai pembantu Khalifah—meninggal (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 175; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 63).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. []
Daftar Bacaan:
Al-Alusi, Syihabuddin Mahmud bin Abdullah al-Husaini, Rûhul Ma’âni fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa as-Sab’u al-Matsani (Bairut: Ihya’ at-Turats al-Arabi), tanpa tahun.
Al-Andalusi, Muhammad bin Yusuf Abu Hayyan, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), Cetakan I, 1993.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Al-Mawardi, Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Kitab al-Ahkâm as-Sulthâniyah (Beirut: Dar al-Fikr), Cetalakan I, 1960.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddin, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadimi, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.
sumber: hti press/syabab indonesia
0 komentar:
Posting Komentar