
(Tafsir QS al-A’la [87]: 14-19)
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى *
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى * بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا * وَالآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى * إِنَّ هَذَا لَفِي الصُّحُفِ
الأولَى * صُحُفِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى *
Sesungguhnya beruntunglah orang yang
membersihkan diri (dengan beriman) dan dia ingat nama Tuhannya, lalu
dia shalat. Namun, kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi,
sementara kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang terdahulu,
(yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa (QS al-A’la [87]: 14-19).
Dalam ayat sebelumnya, Rasulullah
saw. diperintahkan untuk memberikan peringatan. Kemudian diterangkan
mengenai respon manusia terhadap perintah tersebut. Ada orang-orang yang
mengambil peringatan tersebut sebagai pelajaran. Mereka adalah
orang-orang yang takut kepada Allah SWT. Ada juga yang bersikap
sebaliknya; mereka justru menjauhi peringatan tersebut. Mereka pun
menjadi orang-orang yang celaka. Mereka itu akan masuk neraka yang
siksanya amat dahsyat. Di dalamnya, mereka tidak mati dan tidak hidup
(ayat 9-13).
Kemudian dalam ayat ini Allah SWT
menjelaskan hasil yang dituai orang-orang yang mau menjadikan peringatan
Rasulullah saw. sebagai pelajaran. Mereka adalah orang-orang yang
membersihkan diri, mengingat nama Tuhannya dan mengerjakan shalat.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Qad aflaha man tazakkâ (Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri). Kata aflaha berasal dari kata al-falâh. Menurut Ibnu Manzhur, secara bahasa al-falâh berarti al-fawz wa an-najâh wa al-baqâ’ fî an-na’îm (kemenangan, keberhasilan dan kelanggengan dalam nikmat).1Syihabuddin al-Alusi mengartikan kata ini dengan najâ min al-makrûh wa zhafara bimâ yarjûhu (selamat
dari yang dari yang dibenci dan berhasil memperoleh apa yang
diharapkan).2 Dalam konteks ayat ini, al-Jazairi memaknai kata ini
sebagai fâza (berhasil), dengan selamat dari azab dan bahagia dengan surga.3
Ditegaskan dalam ayat ini, orang yang memperoleh kemenangan dan keberhasilan itu adalah orang yang tazakkâ. Kata tazakkâ berasal dari kata zakâ. Secara bahasa, kata az-zakâ’ berarti an-namû (tumbuh). Oleh karena itu, az-Zujjaj menafsirkan kata ini dengan memperbanyak takwa. Alasannya, kata zâkî berarti an-nâmî al-katsîr (yang tumbuh banyak).4
Abu Hayyan al-Andalusi memaknai tazakkâ dengan tathahhara (membersihkan diri).5 Dalam
beberapa ayat, kedua kata disebutkan bersama-sama (Lihat: QS al-Baqarah
[2]: 232) dan QS at-Taubah [9]: 103). Ibnu ‘Abbas memaknai kata ini
sebagai orang yang membersihkan diri dari syirik.6 Menurut
az-Zamakhsyari, selain membersihkan diri dari syirik, juga dari
maksiat.7 Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa orang yang
membersihkan diri adalah orang yang mengatakan kalimat Lâ ilâha illal-Lâh.8
Menurut Qatadah, membersihkan diri itu
adalah dengan amal shalih.9 Dalam al-Quran ada beberapa amal shalih yang
disebutkan berguna membersihkan manusia. Zakat, misalnya, dapat
membersihkan dan menyucikan pelakunya (lihat QS at-Taubah [9]: 103).
Menahan pandangan dan memelihara kemaluan dapat membuat pelakunya lebih
suci (lihat QS an-Nur [24]: 30).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang
tersebut adalah orang yang membersihkan dirinya dari akhlak yang buruk
dan mengikuti apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.10 Asy-Syaukani
juga menafsirkan ayat ini: orang yang membersihkan diri dari syirik
seraya mengimani Allah SWT dan mengamalkan syariah-Nya.11 Secara
keseluruhan, ayat ini menurut Ibnu Jarir ath-Thabari mengandung
pengertian, “Sungguh telah berhasil dan memperoleh apa yang
diinginkan, orang yang membersihkan diri dari kekufuran dan maksiat
kepada Allah, mengamalkan apa yang diperintahkan Allah dan menunaikan
berbagai kewajiban.”12
Semua penafsiran tersebut saling
melengkapi. Intinya, orang yang menuai kesuksesan dan kemenangan adalah
orang yang membersihkan diri kekufuran, kemusyrikan dan kemaksiatan;
seraya mengimani akidah Islam dan beramal shalih dengan menaati
syariah-Nya, menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua
larangan-Nya. Semua itu dilakukan dengan ikhlas semata-mata karena Allah
SWT.
Orang tersebut juga: Wa dzakara [i]sma Rabbihi fashallâ (dan
dia mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat). Dijelaskan al-Alusi,
al-Baidhawi, dan al-Biqa’i bahwa zikir atau ingat kepada Allah ini
meliputi hati dan lisan.13 Dikatakan Abu Hayyan, zikir tersebut hanya
kepada Allah satu-satunya, tidak disertai dengan mengingat yang lainnya
yang menjadi sekutu bagi-Nya.14 Menurut al-Jazairi, zikir kepada
Tuhannya itu dilakukan dalam seluruh kehidupannya, baik ketika makan dan
minum; tidur maupun bangun; dalam shalat maupun di luar shalat; berupa
tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir.15
Adapun yang dimaksud dengan shalat dalam frasa fashallâ adalah
shalat lima waktu sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir dan
lain-lain dari Ibnu ‘Abbas.16 Pendapat yang sama juga dikemukakan
az-Zamakhsyari.17 Menurut al-Jazairi, tidak hanya shalat wajib, namun
juga shalat-shalat nafilah, seperti rawatib dan lain-lain.18 Pendapat
tersebut sejalan dengan pendapat al-Biqa’i yang mengatakan bahwa shalat
tersebut meliputi semua shalat yang disyariatkan. Sebab, shalat
merupakan zikir yang paling agung. Shalat juga merupakan ibadah paling
agung, sebagaimana zakat yang merupakan ibadah harta paling
agung.19 Dalam QS al-Mukminun [23]: 1-2 diberitakan bahwa di antara
orang yang mendapatkan al-falâh adalah orang-orang yang khusuk shalatnya.
Penjelasan cukup menarik disampaikan
oleh Fakhruddin ar-Razi. Menurut ar-Razi, ada tiga tingkatan amal bagi
orang mukallaf. Ketiganya dijelaskan dalam ayat-ayat ini. Pertama: menghilangkan akidah yang rusak dari hati. Inilah yang dimaksudkan dengan at-tazkiyah (membersihkan diri) pada frasa man tazakkâ. Membersihkan
diri di sini adalah membersihkan dari apa yang disebutkan oleh ayat
sebelumnya, yakni membersihkan diri dari kekufuran. Kedua: menghadirkan ma’rifatul-Lâh beserta zat, sifat, dan asma’-Nya. Inilah yang dimaksudkan oleh frasa Wa dzakara [i]sma Rabbihi. Sebab, zikir dengan hati tidak bisa dilakukan kecuali dengan ma’rifah. Ketiga: menyibukkan diri dengan berkhidmat kepada Allah SWT. Ini ditunjukkan oleh frasa fashallâ. Shalat
merupakan manifestasi tawaduk dan khusyuk. Siapa saja yang hatinya
disinari dengan keagungan dan kebesaran Allah SWT, akan tampak pada
anggota badannya pengaruh khudhu’ dan khusyuk.20
Allah SWT berfirman: Bal tu’tsirûna al-hayâh al-dun-yâ (tetapi kalian [orang-orang kafir] memilih kehidupan duniawi). Kata bal berfungsi sebagai idrâb, yakni
memalingkan dari kalimat sebelumnya. Artinya, kalian tidak melakukan
tindakan yang dapat mengantarkan mereka pada kesuksesan itu. Namun
sebaliknya, justru tu’tsirûna dengan kehidupan dunia. Menurut as-Samarqandi, maksud frasa tersebut: Kalian lebih memilih beramal untuk dunia daripada beramal untuk akhirat.21 Al-Jazairi juga memaknai: Kalian lebih mendahulukan dan mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat.22 Al-Alusi menafsirkan ayat ini dengan: sikap ridha dan tenteram dengan kehidupan dunia serta berpaling dari akhirat secara keseluruhan (Lihat pula: QS Yunus [10]: 7).
Sikap lebih memilih dunia tersebut jelas
merupakan pilihan yang salah. Sebab, kehidupan akhirat jauh lebih baik
dan abadi. Allah SWT berfirman: Wa al-âkhirah khayr wa abqâ (sementara kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal). Menurut al-Qurthubi, kata khayr berarti afdhal (lebih utama), sedangkan abqâ berarti adwamu min ad-dun-yâ (lebih kekal daripada dunia).23
Menurut Ibn Katsir, maksud ayat ini
adalah pahala Allah di akhirat lebih baik dan lebih kekal. Kehidupun
dunia itu rendah dan fana, sementara akhirat mulia dan langgeng.
Bagaimana mungkin orang yang berakal lebih memilih yang fana daripada
yang kekal; mementingkan apa yang segera hilang daripada kehidupan yang
kekal dan langgeng?24 Oleh karena itu, ayat ini memberikan dorongan
kepada manusia agar lebih memilih dan mengutamakan akhirat daripada
dunia.
Kemudian Allah SWT berfirman: Inna hâdzâ lafî ash-shuhuf al-ûlâ (Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab terdahulu). Ada beberapa penjelasan tentang makna inna hâdzâ (sesungguhnya ini) dalam ayat ini. Menurut Qatadah dan Ibnu Zaid, yang dimaksudkan adalah Wa al-âkhirah khayr wa abqâ (sementara
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal). Menurut al-Kalbi
frasa tersebut menunjuk pada firman Allah SWT: qad aflaha man tazakkâ hingga akhir surat ini.25Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari dan dinilai paling tepat oleh ath-Thabari.26
Ditegaskan dalam ayat ini bahwa berita tersebut terdapat di dalam ash-shuhuf al-ûlâ. Kata ash-shuhufmerupakan bentuk jamak dari kata ash-shahîfah. Artinya, lembaran yang di dalamnya terdapat tulisan.27 Dijelaskan al-Hasan, as-shuhuf al-ûlâ adalah kitab-kitab Allah semuanya.28
Kemudian Allah SWT berfirman: Shuhuf Ibrâhîma wa Mûsâ ([yaitu] kitab-kitab Ibrahim dan Musa). Menurut ar-Razi, ayat ini bisa berkedudukan sebagai bayân (penjelasan) bagi ayat sebelumnya: lafî ash-shuhuf alûlâ; bisa juga berarti: semuanya telah diterangkan dalam seluruh shuhuf para nabi; di antaranya adalah shuhuf Ibrahim dan Musa. 29
Tampaknya, pendapat kedua lebih tepat.
Dijelaskan al-Qurthubi, bukan berarti kata-kata itu terdapat dalam
kitab-kitab tersebut, namun kandungan maknanya, yakni makna perkataan
itu terdapat dalam shuhuf-shuhut tersebut.30
Sikap Manusia dan Balasannya
Ada beberapa perkara yang patut digarisbawahi dari ayat-ayat ini. Pertama:
balasan bagi orang-orang yang menerima peringatan Rasulullah saw. dan
menjadikan peringatan itu sebagai pelajaran. Sebagaimana kita ketahui,
golongan manusia yang menolak dan menjauhi peringatan itu diancam dengan
siksaan yang amat dahsyat di neraka. Demikian dahsyatnya hingga dalam
ayat sebelumnya digambarkan bahwa di neraka tersebut mereka tidak mati
dan tidak hidup. Imbalan sebaliknya diterima oleh orang-orang yang
menerima peringatan tersebut. Dalam ayat ini, mereka disebut sebagai
orang-orang yang membersihkan diri, mengingat Allah SWT dan mengerjakan
shalat. Mereka disebutkan mendapatkan falâh (kemenangan, kesuksesan, selamat dari neraka dan masuk surga).
Penegasan yang sama juga disebutkan
dalam QS asy-Syams [91]: 9. Orang-orang yang memberikan hartanya untuk
menyucikan diri dan semata-mata mencari ridha Allah SWT juga dijanjikan
akan dijauhkan dari neraka yang menyala-nyala (lihat QS al-Lail [92]:
17-20). Mereka juga dijanjikan dengan surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya (lihat QS Thaha [20]: 76).
Pendek kata, mereka itu akan menuai imbalan dari jerih payah yang mereka
kerjakan (Lihat juga: QS Fathir [35]: 18).
Kedua: kerugian besar bagi
manusia yang mendahulukan kehidupan dunia. Sebagaimana diterangkan ayat
ini, ada sebagian manusia yang lebih memilih, mengutamakan dan terbuai
dengan kehidupan dunia seraya melupakan akhirat. Sikap ini tentu
mendatangkan kerugian bagi mereka. Sebab, mereka telah memilih kehidupan
yang amat singkat dengan kenikmatan sedikit.
Ketika manusia dibangkitkan di akhirat
kelak, manusia merasakan singkatnya hidup di dunia itu. Demikian
singkatnya hingga menurut mereka hidup di dunia itu hanya sehari atau
setengah hari (lihat QS al-Mukminun [23]: 113); hanya sesore atau sepagi
hari (lihat QS al-Nazi’at [79]: 46); atau bahkan hanya sesaat saja pada
siang hari (lihat QS Yunus [1]: 45). Oleh karena itu, sesungguhnya
kenikmatan di dunia amat sedikit.
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam
Muslim dan Imam at-Tirmidzi, Rasulullah saw. mengumpamakan kehidupan
dunia dibandingkan dengan akhirat seperti jari telunjuk yang dicelupkan
di laut, maka maka air yang melekat di jari itulah kenikmatan dunia.
Oleh Karena itu orang yang beruntung
adalah orang yang lebih memilih dan mengutamakan akhirat. Demikianlah
sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَحَبَّ دُنْيَاهُ أَضَرَّ بِآخِرَتِهِ وَمَنْ أَحَبَّ آخِرَتَهُ أَضَرَّ بِدُنْيَاهُ فَآثِرُوا مَا يَبْقَى عَلَى مَا يَفْنَى
Siapa saja yang mencintai dunianya,
dia telah mendatangkan kerugian bagi akhiratnya. Siapa saja yang
mencintai akhiratnya, dia telah mendatangkan kerugian bagi dunianya.
Karena itu, pilih dan utamakanlah yang kekal daripada yang fana (HR Ahmad, al-Baihaqi dan al-Hakim. Al-Hakim mengatakan hadis ini hasan-shahih).
Ketiga: kesamaan sebagian
isi al-Quran dengan kitab-kitab sebelumnya. Ini jelas diberitakan dalam
ayat ini. Selain ayat ini, ada juga beberapa ayat lainnya yang
memberitakannya, seperti QS an-Najm [53]: 36-41. Dalam ayat tersebut
disebutkan, dalam shuhuf Musa dan Ibrahim telah diberitakan
bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain; dia
tiada memperoleh selain apa yang telah dia usahakan dan usahanya itu
kelak akan diperlihatkan kepada dirinya; kemudian dia akan diberi
balasan dengan balasan yang paling sempurna; dan kepada Allah kesudahan
segala sesuatu.
Semoga kita termasuk orang yang beruntung di dunia dan akhirat. Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [] hti press
Catatan kaki:
1 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 2 (Beirut: Dar Shadir, tt), 547.
2 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 321.
3 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm, 2003), 558. Penjelasan yang sama juga disampaikan as-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 431.
4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 147.
5 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420), 458.
6 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 373. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 321; al-Khazin, Lubâb at-Tanzî fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 418; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiyy, 1420 H), 241.
7 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 740.
8 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15 (Kairo: Markaz Hijr, 2003), 369.
9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20 (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishriyyah, 1964), 21; as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 15, 369.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999), 373
11 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 506.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 24, 373.
13 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 532; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1998), 306; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 403; az-Zuhaili, Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Dar al-Fikr, 1996), 195.
14 Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 458.
15 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 558.
16 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 322.
17 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 740.
18 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 558. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 455.
19 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21, 403.
20 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 148.
21 As-Samarqandi, Bahr al-Ulûm, vol. 3, 471.
22 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 558.
23 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 24.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 8, 374.
25 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 24.
26 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 741; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24, 377.
27 Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 334.
28 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 24.
29 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), 137.
30 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 20, 24.
0 komentar:
Posting Komentar