
Oleh : Mohammad Galang Revolusi
(Pengamat Gerakan Islam Kontemporer)
Santernya opini media semisal dari media ROI (Republika Online) Jum’at, 16 Maret 2013, Jam 16:25 WIB tentang implikasi RUU Ormas yang sebentar lagi disahkan akan membubarkan Ormas yang menolak Pancasila sebagai azas (baca : HTI) menimbulkan reaksi pro kontra. Yang pro berpandangan bahwa pengesahan RUU Ormas justru memberikan ruang pengembangan ormas sesuai dengan koridor pilar-pilar negara diantaranya -Pancasila-. Yang kontra berpandangan bahwa pengesahan RUU Ormas justru akan mengembalikan rezim tiranik orde baru. Membungkam daya kritis kelompok-kelompok masyarakat terhadap penguasa.
Menarik untuk di kaji, kenapa HTI (baca: Hizbut Tahrir Indonesia) menjadi sampel jika RUU Ormas disahkan ? Dalam sebuah kesempatan saya tidak sengaja mendengar penjelasan adanya ormas tertentu yang menjadi prioritas bidikan dengan RUU ormas, selain FPI yang dipandang representasi “anarkis” maka HTI mewakili arus kelompok radikal yang kontra NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Mungkin HTI sendiri menyadari ganjalan yang akan muncul seperti ini, belajar dari negara lain larangan HT beroperasi oleh penguasa setempat. Sekalipun negeri-negeri Islam yang melarang HT tersebut mengadopsi demokrasi, namun tetap tidak rela munculnya entitas gerakan semacam HT yang dianggap berpotensi meruntuhkannya. Tidak terkecuali dengan Indonesia, HTI ditempatkan dalam posisi ancaman potensial ideologis. Maka bagi status quo, jalan elegan menurut demokrasi adalah “membungkam” dengan pendekatan legal frame (regulasi) produk parlemen. Karena ini cara satu-satunya yang legitimate untuk mempertahankan eksistensi Demokrasi.
Ada masa-masa gerakan semacam HTI akan masuk zona “turbulence” (baca = pergolakan), namun dengan profil HTI yang cukup dikenal dengan beberapa potensi:Pertama, dari sisi massa yang cukup mampu menggerakkan dalam jumlah besar di Indonesia untuk turun jalan setelah buruh adalah HTI. Kedua, HTI sebagai sebuah entitas “ormas” memiliki potensi menjadi sebuah entitas kekuatan politik dalam pengertian real. Menjadi pressure group terhadap penguasa dengan dukungan massa ideologis yang semakin meluas. Ketiga, HTI memiliki jaringan yang dikenal rapi dan tertutup tumbuh dari ujung Aceh hingga Papua, sekalipun juga tidak menutup kemungkinan telah tersusupi oleh pihak intelijen. Keempat, banyak kalangan kelas menengah (intelektual) yang terlibat dalam gerakan ini, disamping juga mulai merambah ke segment masyarakat secara umum. Ini indikator diterimanya gerakan semacam HTI di masyarakat Indonesia yang sedang galau mencari “obat” atas problem kompleknya. Maka akankah HTI mampu menghadapi zona ‘turbulence” yang akan menghadang cepat atau lambat ?
Sementara dinamika di parlemen cukup bernafsu mensahkan RUU Ormas, karena semua fraksi di parlemen sepakat kecuali 1 fraksi. Dan pengesahan ini didukung juga oleh kurang lebih 13 ormas Islam. Meski sebelumnya pada 28 Pebruari 2013 terdapat 96 Ormas di gedung PP Muhammadiyah menolak RUU Ormas ini. Maka saya memprediksi beberapa kemungkinan dengan asumsi jika RUU Ormas di sahkan dan HTI diputuskan oleh pemerintah melalui pengadilan sebagai ormas illegal dan harus di bubarkan dengan segala konsekuensi hukumnya.
Kemungkinan pertama; para petinggi HTI akan berusaha membangun argumentasi melalui jalan “legal” seperti judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi). HTI akan menggalang berbagai komponen ormas yang di identifikasi oleh HTI memiliki nasib yang sama. Sekalipun bisa saja masih terselip dalam proses perlawanan ini, HTI ingin didepan memimpin atas komponen yang lain. Dan bangunan argumentasinya seperti logika-logika yang sering disampaikan oleh Jubir HTI (Ismail Yusanto) dalam banyak retorikanya, misalkan (menyerap esensinya); “HTI bukan ancaman bagi NKRI, kalau mau obyektif, justru pelanggar dan pengkhianat terbesar terhadap Pancasila dan UUD 1945 adalah para penguasa negeri ini (legislatif, yudikatif dan eksekutif). Lihatlah UU Liberal yang lahir dari produk legislatif dan eksekutif seperti UU Migas, UU PMA, UU PT dan masih banyak produk UU di negeri ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ini menunjukkan bahwa nama “Pancasila” hanya sebagai stempel untuk membungkam bahkan membubarkan gerakan-gerakan dari berbagai kelompok masyarakat yang mengancam eksistensi rezim dan penguasa, etc”.Tapi langkah pertama ini nasibnya bergantung kepada keputusan MK, yang notabene MK dalam sistem demokrasi versi pandangan HTI adalah bonggolnya sistem kufur karena MK pemegang kedaulatan hukum.
Kemungkinan kedua; selain judicial review HTI akan melakukan tekanan publik melalui berbagai aksi (bahasa HTI; masiroh) dan opini, bila perlu menggerakkan jaringan tokoh dan ulama yang interest atas perjuangan HTI untuk mengeluarkan “fatwa”. Cuma dari pengamatan saya selama ini, langkah tekanan dengan aksi demonstrasi oleh HTI tidak signifikan memberikan pengaruh di kebijakan. Aksi yang dilakukan masih pada level membangun opini eksistensi HTI dan masih sebatas edukasi kepada khalayak.
Kemungkina ketiga; pendekatan-pendekatan formal maupun informal oleh petinggi HTI atau tokoh-tokoh masyarakat pendukungnya akan di lakukan kepada pihak pemegang kunci sebuah keputusan.Nah di sini saya juga belum menemukan banyak jejak yang signifikan bahwa HTI sudah menjadi dan memiliki kekuatan yang bisa memberikan pengaruh perubahan kebijakan produk rezim sekuler hari ini.
Kemungkinan keempat; ini adalah persoalan yang jauh lebih penting, sekiranya HTI gagal dengan beragam strateginya menghentikan langkah status quo untuk memberangusnya maka ini akan berimplikasi kepada internal gerakan HTI. Akankah HTI akan mengambil strategi politik abu-abu, dalam artian membangun retorika “hitam diatas putih” di AD-ART-nya yang bisa menjadi sebab legitimasi eksistensi HTI oleh status quo. Kalau ini yang diambil, sudah pasti PR besarnya bagi para petinggi HTI adalah menjelaskan kepada seluruh anggota dan simpatisannya agar mereka menerima, baik secara syar’i maupun rasionalitas. Dan kalau yang diambil adalah sikap “tawakkal” itu berarti ibarat pesawat, HTI harus segera menyiapkan seluruh kru awak pesawat dan penumpangnya untuk bersiap-siap sebelum benar-benar masuk zona “turbulence”.
Dan menjadi sunnatullah, sebuah tantangan bagi gerakan akan menjadi fase kristalisasi bagi gerakan itu sendiri. Apakah gerakan semacam HTI adalah benar-benar sebuah gerakan ideologis dengan para angotanya berkarakter ideologis, maka saat-saat goncangan dan goyangan menimpanya akan membuktikan kebenarannya.
Ibarat nelayan dengan sampannya, makin ketengah lautan maka sudah tobi’inya ia akan menghadapi terjangan gelombang dan bahkan badai yang tidak terduga. Kecuali jika nelayan itu melaut ditepi pantai dengan angin sepoi-sepoi. Zona aman dan minat selalu dalam sebuah zona aman dalam sebuah perjuangan ideologis tidak akan pernah bisa membuktikan kebenaran perjuangan. Kita semua akan melihat bagaimana HTI bertahan kedepan, mengingat masyarakat sebagian sudah terlanjur simpati dengan perjuangan non kekerasannya.() islampos.com, 25/03/2013
0 komentar:
Posting Komentar